JAKARTA, kiprahkita.com –Analis dari Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra mendukung langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa membersihkan internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal bea Cukai (DJBC) dari praktik mafia yang merugikan negara dalam jumlah super jumbo.
![]() |
Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk melakukan “bersih-bersih” di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) patut diapresiasi. Namun, apresiasi saja tidak cukup. Gerakan ini harus dibaca secara kritis sebagai ujian serius bagi integritas birokrasi fiskal Indonesia dan sekaligus cermin sejauh mana pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto berani menantang kekuatan ekonomi gelap yang sudah lama menjerat jantung negara.
Akar Masalah: Miss Invoicing dan Mafia Fiskal
Sejak lama, sektor pajak dan bea cukai dikenal sebagai “ladang basah” yang rentan terhadap korupsi sistemik. Data dan analisis dari Lingkar Studi Perjuangan yang disampaikan Gede Sandra memperlihatkan skala masalahnya: praktik miss invoicing diduga menyebabkan potensi kerugian negara hingga Rp1.000 triliun per tahun selama satu dekade pemerintahan sebelumnya. Angka ini bukan sekadar statistik; ia merepresentasikan kebocoran fiskal yang setara dengan hampir separuh APBN 2025.
Miss invoicing — baik dalam bentuk under invoicing maupun over invoicing — memungkinkan perusahaan, termasuk korporasi besar dan importir, untuk mengelabui nilai transaksi demi menghindari pajak, bea masuk, atau kewajiban PNBP. Artinya, uang yang seharusnya menjadi hak publik malah berputar di jaringan oknum birokrat dan pebisnis licik yang hidup dari skema kecurangan terstruktur.
Jika benar kebocoran ini mencapai Rp1.000 triliun per tahun, maka negara secara diam-diam sedang ditelanjangi dari dalam. Tak heran, meski target pajak pada 2025 mencapai Rp2.189,3 triliun, realisasinya hingga Oktober baru 62,4 persen, dan target bea cukai pun baru 73,4 persen. Ini bukan sekadar soal kinerja ekonomi, melainkan cermin dari moral fiskal yang rusak.
Dimensi Politik dan Risiko Struktural
Keberanian Menkeu Purbaya untuk menindak mafia pajak dan bea cukai harus dibaca sebagai langkah politik yang berisiko tinggi. Ia tidak hanya menghadapi oknum birokrat kecil, tetapi juga jaringan kekuasaan dan modal besar yang selama bertahun-tahun hidup dari kebocoran fiskal. Dalam konteks inilah, pernyataannya — “Di belakang saya Presiden” — menjadi sinyal kuat bahwa operasi bersih-bersih ini mendapat restu politik langsung dari pucuk kekuasaan.
Namun, tekad moral saja tidak cukup. Upaya reformasi fiskal sering kali kandas bukan karena kurangnya niat, tetapi karena lemahnya sistem pengawasan, dominasi kepentingan politik, dan resistensi internal dari aparat yang sudah nyaman dengan budaya rente. Selama mekanisme reward and punishment tidak berjalan tegas, dan selama posisi strategis di DJP maupun DJBC masih bisa “dibeli” melalui patronase politik, maka kebijakan bersih-bersih berpotensi berakhir sebagai retorika reformasi yang kosmetik.
Implikasi Ekonomi dan Sosial
Jika kebocoran akibat miss invoicing dapat ditekan bahkan 20 persen saja — seperti perhitungan Gede Sandra, sekitar Rp200 triliun per tahun — maka dampaknya akan luar biasa. Dana sebesar itu bisa menopang berbagai program sosial pemerintahan Prabowo, mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Sekolah Rakyat. Namun, kunci keberhasilannya bukan semata di jumlah uang yang diselamatkan, melainkan pada keberlanjutan institusional: apakah sistem yang kotor bisa benar-benar dibersihkan tanpa menciptakan “mafia baru” dengan wajah berbeda?
Sisi lain yang jarang disorot adalah bagaimana praktik mafia fiskal menciptakan ketimpangan struktural. Perusahaan besar yang lihai bermain invoicing akan selalu unggul dibanding UMKM yang jujur membayar pajak. Akibatnya, kebijakan ekonomi nasional justru memperkuat ketidakadilan: negara kehilangan pendapatan, rakyat kehilangan kepercayaan, dan pelaku curang tetap kaya.
Catatan Kritis: Reformasi Harus Sistemik, Bukan Sekadar Seremonial
Dukungan publik terhadap Purbaya memang penting, tetapi ia juga harus diiringi dengan reformasi kelembagaan yang konkret. Ada tiga langkah krusial yang perlu dilakukan:
Digitalisasi dan penggunaan AI secara menyeluruh untuk mendeteksi anomali transaksi lintas bea cukai dan pajak, seperti yang sudah direncanakan.
Transparansi data publik, termasuk keterbukaan transaksi ekspor-impor agar masyarakat sipil dan akademisi bisa ikut mengawasi.
Perombakan budaya birokrasi, dengan menegakkan etika integritas dan menghentikan politik jabatan dalam pengangkatan pejabat fiskal.
Tanpa langkah-langkah itu, “operasi bersih-bersih” hanya akan menjadi siklus tahunan — setiap menteri baru datang dengan semangat reformasi, namun meninggalkan lembaga yang tetap kotor.
Langkah Purbaya Yudhi Sadewa adalah momentum penting untuk menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah oleh mafia dalam tubuhnya sendiri. Tapi keberanian individual harus ditopang oleh transformasi sistemik. Korupsi di sektor pajak dan bea cukai bukan sekadar masalah moral pejabat, melainkan penyakit struktural dalam hubungan antara negara, modal, dan kekuasaan.
Bersih-bersih memang perlu, tetapi yang lebih mendesak adalah membangun ulang institusi fiskal yang berani, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik. Hanya dengan itu, slogan “Indonesia Emas” tidak akan menjadi sekadar mimpi yang bocor oleh invoice palsu.
Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, diduga, marak praktik miss invoicing yang nilainya diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun per tahun. Alhasil, negara kehilangan potensi penerimaan yang angkanya pastilah gede.
"Angka itu terjadi 2013-2024, atau dua periode pemerintahan Jokowi. Terjadi miss invoicing atau penyelewengan angka transaksi sebesar Rp1.000 triliun per tahun. Pantas saja, pada Desember 2016, Jokowi mengaku punya data simpanan duit orang Indonesia di luar negeri sebesar Rp11.000 triliun," kata Gede di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Gede menjelaskan, praktik invoicing terdiri dari dua jenis yakni under invoicing dan over invoicing. Kalau under itu, angka transaksinya dikecilin. Kalau over berarti digedein. Tujuannya sama, untuk menghindari pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), bea keluar dan lain-lain.
"Modus under invoice itu adalah mengakali laporan transaksi seolah-olah kecil. Sehingga tidak kena pajak. Atau pajaknya rendah. Demikian pula sebaliknya," ungkapnya.
Jika kebocoran sektor pajak dan bea cukai dari miss invoicing itu, bisa dicegah, tentunya sangat menguntungkan keuangan negara yang saat ini, benar-benar terbatas.
Misalnya bisa diselamatkan 20 persen, angkanya sekitar Rp200 triliun, sangat berguna untuk membiayai sejumlah program prioritas di pemerintahan Prabowo.
"Para menteri tak galau lagi soal pemangkasan anggaran, kepala daerah enggak mumet mikirin TKD berkurang. Program MBG, Kopdes dan Sekolah Rakyat berjalan lancar. Enggak perlu ribut soal anggaran, karena kas negara terisi penuh," kata Gede.
Untuk itu, lanjut ekonom yang mengidolakan Rizal Ramli ini, sudah tepat jika Menkeu Purbaya melakukan bersih-bersih di lingkungan DJP dan DJBC. perlu darah segar di kedua lembaga itu. "Makanya kita mendukung seribu persen langkah bersih-bersih dari Menkeu Purbaya. Meski itu tak mudah karena akan banyak dinamikanya," pungkasnya.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya menyebut rencana bersih-bersih di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Seluruh pegawai yang terbukti melanggar aturan yang berdampak kepada kerugian negara, bakal disikat.
“Kalau riil sektor dijaga, barang-barang selundupan saya tutup, yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden. Presiden itu paling tinggi, kan, di sini,” ujar Purbaya di Jakarta, dikutip Sabtu (16/10/2025).
Penghentian barang-barang selundupan di sejumlah industri tersebut akan meningkatkan ratio pajak dan pertumbuhan industri di dalam negeri. “Banyak barang selundupan ke sini, yang katanya, orang bea cukainya tidak benar kerjanya,” tutur dia.
Menkeu Purbaya mengaku pernah memanggil pegawai Ditjen Bea Cukai dan menerima informasi bahwa ada oknum yang ikut melindungi keluar-masuknya barang-barang selundupan. "Dirjen Bea Cukai saya kan (Jenderal) bintang tiga, kalau bintang empat (backing), kita lapor ke Presiden,” jelas dia.
Asal tahu saja, target setoran pajak pada tahun ini, dipatok mencapai Rp2.189,3 triliun. Namun, realisasi pajak hingga awal Oktober 2025, hanya 62,4 persen dari target. Bisa jadi banyak kebocoran di sektor ini sehingga perlu penanganan yang serius.
Demikian pula target penerimaan bea cukai pada 2025, ditetapkan sebesar Rp301,59 triliun. Hingga akhir September 2025, realisasinya sebesar 73,4 persen dari target. Memberantas maraknya peredaran rokok ilegal dan barang selundupan, menjadi pekerjaan utama san menteri.
Gede menjelaskan, praktik invoicing terdiri dari dua jenis yakni under invoicing dan over invoicing. Kalau under itu, angka transaksinya dikecilin. Kalau over berarti digedein. Tujuannya sama, untuk menghindari pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), bea keluar dan lain-lain.
"Modus under invoice itu adalah mengakali laporan transaksi seolah-olah kecil. Sehingga tidak kena pajak. Atau pajaknya rendah. Demikian pula sebaliknya," ungkapnya.
Jika kebocoran sektor pajak dan bea cukai dari miss invoicing itu, bisa dicegah, tentunya sangat menguntungkan keuangan negara yang saat ini, benar-benar terbatas.
Misalnya bisa diselamatkan 20 persen, angkanya sekitar Rp200 triliun, sangat berguna untuk membiayai sejumlah program prioritas di pemerintahan Prabowo.
"Para menteri tak galau lagi soal pemangkasan anggaran, kepala daerah enggak mumet mikirin TKD berkurang. Program MBG, Kopdes dan Sekolah Rakyat berjalan lancar. Enggak perlu ribut soal anggaran, karena kas negara terisi penuh," kata Gede.
Untuk itu, lanjut ekonom yang mengidolakan Rizal Ramli ini, sudah tepat jika Menkeu Purbaya melakukan bersih-bersih di lingkungan DJP dan DJBC. perlu darah segar di kedua lembaga itu. "Makanya kita mendukung seribu persen langkah bersih-bersih dari Menkeu Purbaya. Meski itu tak mudah karena akan banyak dinamikanya," pungkasnya.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya menyebut rencana bersih-bersih di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Seluruh pegawai yang terbukti melanggar aturan yang berdampak kepada kerugian negara, bakal disikat.
“Kalau riil sektor dijaga, barang-barang selundupan saya tutup, yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden. Presiden itu paling tinggi, kan, di sini,” ujar Purbaya di Jakarta, dikutip Sabtu (16/10/2025).
Penghentian barang-barang selundupan di sejumlah industri tersebut akan meningkatkan ratio pajak dan pertumbuhan industri di dalam negeri. “Banyak barang selundupan ke sini, yang katanya, orang bea cukainya tidak benar kerjanya,” tutur dia.(BS)*

0 Komentar