Perpres “Teman Ojol”: Antara Janji Keadilan dan Tantangan Struktural di Era Ekonomi Digital
JAKARTA, kiprahkita.com –Selama bertahun-tahun, jutaan pengemudi ojek online menjadi denyut nadi mobilitas masyarakat urban Indonesia. Mereka bukan sekadar pengantar makanan atau penumpang, melainkan aktor vital yang menjaga ritme kota dan menambal celah layanan publik yang sering tak memadai. Akibat mahal dan susahnya layanan transportasi kita.
Namun ironisnya, di balik layar aplikasi yang serba canggih itu, tersembunyi realitas getir: jam kerja panjang, pendapatan tak menentu, dan posisi tawar yang nyaris nihil di hadapan korporasi digital raksasa.
![]() |
1. Negara Harus Hadir di Ruang Digital
Inisiatif ini lahir dari arahan langsung Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya memberi kepastian hukum bagi pekerja informal seperti pengemudi ojol. Dalam konteks ekonomi digital, ini adalah bentuk konkret dari konsep keadilan sosial 5.0 — ketika negara tidak lagi berpangku tangan melihat relasi kuasa antara manusia dan teknologi yang timpang dan tidak berkeadilan.
Pengemudi ojol selama ini berada di zona abu-abu: bukan karyawan, tapi juga bukan sepenuhnya wirausaha. Mereka bekerja di bawah kendali sistem algoritmik — diatur oleh “aturan tak terlihat” yang menentukan siapa dapat order, berapa tarifnya, bahkan kapan mereka dianggap “tidak produktif”.
Dengan Perpres ini, pemerintah ingin menegaskan: kerja manusia tidak boleh sepenuhnya ditentukan oleh mesin.
2. Tarif, Keadilan, dan Potret Ketimpangan
Salah satu isu paling krusial adalah tarif. Di balik slogan “kebebasan memilih waktu kerja”, pengemudi justru sering terjebak dalam spiral eksploitasi digital. Tarif yang ditekan demi kompetisi aplikasi, potongan tinggi, serta kenaikan biaya operasional membuat banyak pengemudi bertahan di ambang subsistensi.
Perpres yang akan datang diharapkan mampu menetapkan mekanisme tarif yang adil dan berimbang — bukan hanya untuk menenangkan pasar, tapi untuk menegakkan martabat kerja. Sebab, harga perjalanan bukan sekadar angka ekonomi; ia mencerminkan seberapa jauh kita menghargai tenaga manusia di era otomatisasi.
3. Perlindungan Sosial: Dari Slogan ke Implementasi
Perpres ini juga menjanjikan jaminan sosial bagi pengemudi: perlindungan kecelakaan, kesehatan, dan kepastian hukum. Namun, janji itu akan berarti hanya jika negara berani menembus dinding kepentingan korporasi.
Sebab pengalaman menunjukkan, setiap regulasi yang menyentuh model bisnis digital selalu dihadang argumen klasik: “nanti investasi kabur.”
Padahal, negara yang kuat bukan yang takut pada perusahaan besar, melainkan yang mampu menyeimbangkan hak ekonomi rakyat dan kepentingan modal. Jika Perpres ini sungguh berpihak, ia bisa menjadi preseden bagi tata kelola ekonomi digital yang lebih berkeadilan — bukan hanya di sektor transportasi, tetapi juga di sektor gig economy lain seperti kurir, freelancer, dan pekerja platform.
4. Antara Regulasi dan Realitas
Namun, euforia tidak boleh membutakan. Tantangan terbesar bukan di atas kertas, melainkan di lapangan. Bagaimana memastikan aplikator tidak mencari celah baru untuk menghindari kewajiban? Bagaimana mekanisme pengawasan dijalankan tanpa birokrasi berbelit? Dan yang terpenting: bagaimana suara pengemudi benar-benar didengar dalam proses penyusunan aturan?
Tanpa kiprah dan partisipasi aktif dari mereka yang paling terdampak, Perpres ini berisiko menjadi dokumen elitis — manis di pidato, tapi hambar di realitasnya.
5. Menuju Ekosistem yang Manusiawi
Jika berjalan sesuai rencana, Perpres “Teman Ojol” bisa menjadi tonggak sejarah baru. Untuk pertama kalinya, negara hadir secara eksplisit di antara pengemudi, algoritma, dan perusahaan teknologi.
Rudi dan jutaan pengemudi lain yang selama ini hidup dalam ketidakpastian akhirnya bisa melihat cahaya harapan — bukan sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek ekonomi yang dihormati.
Lebih jauh, Perpres ini menandai transformasi penting dalam cara kita memandang kemajuan. Bahwa digitalisasi tidak boleh mematikan nilai kemanusiaan; bahwa di balik setiap notifikasi order, ada peluh, waktu, dan mimpi manusia yang tak bisa dikalkulasi dengan algoritma.
Keadilan di Era Aplikasi
Perpres ini adalah ujian moral bagi kiprah negara di era digital:
Apakah kemajuan akan tetap berpihak pada manusia, atau justru menindasnya dengan wajah teknologi?
Jika kiprah pemerintah berhasil menegakkan prinsip keadilan dan keberpihakan pada para pengemudi, maka sejarah akan mencatat: di tengah derasnya arus kapital digital, Indonesia memilih berdiri di sisi rakyatnya.
Namun jika tidak, maka yang tersisa hanyalah layar ponsel yang terus menyala — menampilkan peta perjalanan tanpa arah, dan pengemudi yang terus melaju di jalan panjang ketidakpastian. (O/YS/BS)*


0 Komentar