Marah Roesli

 


PADANG, kiprahkita.com Kisah roman Siti Nurbaya tentu sudah tak asing bagi masyarakat Padang. Kepopulerannya seakan tak lekang oleh zaman. Namun, belum banyak yang akrab dengan sosok pengarang roman tersebut, Marah Roesli.

Dalam momen peringatan Hari Jadi Kota (HJK) Padang ke-355, Pemerintah Kota Padang mengabadikan nama Marah Roesli sebagai ruas jalan di Kelurahan Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat. Peresmiannya berlangsung pada Senin (5/8/2024) pagi.

Mengutip buku Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang, Marah Roesli lahir di Padang pada 7 Agustus 1889 dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Sutan Abu Bakar, seorang demang, yang masih keturunan Raja Pagaruyung. 

Adapun ibunya berdarah Jawa, keturunan Sentot Alibasya, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.

Meskipun lebih dikenal sebagai sastrawan, sesungguhnya Marah Roesli adalah seorang dokter hewan. Ia masuk Sekolah Dokter Hewan di Bogor dan tamat pada tahun 1915.

Minat Marah Roesli terhadap sastra sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Selain gemar membaca buku, ia juga senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba yang berkeliling kampung. Romannya Siti Nurbaya yang melegenda sebenarnya berlatar pengalamannya.

Pada 1911, ketika masih bersekolah di Bogor, Marah Roesli menikah dengan seorang gadis Sunda kelahiran Bogor, Nyai Raden Ratna Kencana Wati. 

Perkawinan tersebut tidak diketahui oleh keluarga, sehingga menyebabkan orangtuanya meminta dia kembali ke Padang.


Saat di Padang, Marah Roesli dinikahkan orangtuanya dengan wanita Minang. Sebagai anak, ia tidak dapat mengelak rencana tersebut. Pernikahan akhirnya berlangsung. 

Namun, begitu acara pernikahan selesai, ia langsung menjatuhkan talak tiga dan meninggalkan Padang. Hal tersebut membuat orangtuanya marah.

Di Jawa, Marah Roesli kembali menekuni profesinya sebagai dokter hewan. Semula, ia bertugas di Sumbawa Besar. Ia pernah menjadi Kepala Perhewanan di Bima tahun 1916. 

Tahun 1918, ia pindah ke Bandung untuk menjabat Kepala Peternakan Hewan Kecil. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Blitar dan menjadi Kepala Perhewanan Daerah. Tahun 1920, ia kembali ke Bogor karena diangkat menjadi asisten leraar (dosen) pada Sekolah Kedokteran Hewan, almamaternya.

Pada tahun 1921, ia menjadi dokter hewan di Jakarta. Empat tahun kemudian ia pindah ke Balige, Tapanuli, Sumatra Utara. Kariernya terus berlanjut hingga pasca-kemerdekaan, sembari tetap menulis.

Selain Siti Nurbaya, karya Marah Rusli yang terkenal di antaranya La Hami (Balai Pustaka, 1924), Anak dan Kemenakan (Balai Pustaka, 1956), Memang Jodoh (naskah), dan Tesna Zahera (naskah). Ia juga menerjemahkan novel karya Charles Dickens, Gadis yang Malang (1922).

Marah Roesli meninggal di Bandung pada 17 Januari 1968 dalam usia 79 tahun. Dari pernikahannya dengan Nyai Raden Ratna Kencana Wati, Marah Roesli memperoleh tiga orang anak, yakni Safhan Roesli, Roeshan Roesli, dan Nani Roesli.

Tokoh rekaan yang diciptakannya, Siti Nurbaya, telah menjelma legenda. 

Di Padang, banyak yang meyakini bahwa Siti Nurbaya bukanlah tokoh fiktif dan berupaya membuktikan keberadaannya, dengan meyakini sebuah makam keramat di sela batu karang bukit Gunung Padang sebagai tempat berkuburnya Siti Nurbaya.

Sementara itu, Pemerintah Kota Padang menjadikan Siti Nurbaya sebagai nama taman, jembatan, dan festival tahunan, termasuk pada momen HJK Padang ke-355 tahun ini.(charlie/kominfo pdg)

Posting Komentar

0 Komentar