Murid SD ini 24 orang. Enam orang berjalan kaki sejauh 3,5 kilometer melintasi jalan tanah, dan dipastikan berlumpur kalau selesai hujan, Jalan itu di kiri-kanannya hutan belantara. Satu kelas ada enam orang, ada juga yang hanya tiga orang. Yang kelas VI tamat tahun ini tiga orang sekelas.
TANAH DATAR, kiprahkita.com -- Beberapa kelompok pemukiman rakyat di pedalaman Lintau Buo Utara, terlihat lengang, Rabu (15/6), pagi menjelang siang. Seakan-akan tak berpenghuni.
![]() |
jalan menuju pamusihan |
Pemukiman itu sebagian ada di pinggir Batang Sinamar yang membelah negeri Tuanku Lintau tersebut. Hutan lebat masih membeluti di kiri, kanan, muka dan belakang. Kampung itu bernama Jorong Pamusihan Nagari Tanjung Bonai.
Jaraknya dari pusat pemerintahan nagari terbilang cukup jauh, Sekitar 15 atau 20 kilometer. Kalau dari jalan provinsi Payakumbuh-Sijunjung, di sekitar Jorong Duek, hingga ke pedalaman itu sekitar 15 kilometer, tapi bila masuk dari Nagari Lubuk Jantan, jaraknya sekitar30 kilometer.
Bagi warga yang biasa tinggal di perkotaan atau negeri dengan jalan beraspal mulus, tentu jarak segitu terlalu pendek. Dari Batusangkar atau Padang Panjang saja, ada yang bolak-balik setiap hari untuk pulang dan pergi bekerja ke Padang sejauh seratusan kilometer.
Untuk sampai Pamusihan? “Harus siap mental. Jalan mulusnya hanya sedikit. Selebihnya adalah jalan tanah dan batuan. Ada sedikit yang beraspal mulus. Turunannya curam. Tanjakannya minta ampun tingginya. Di kiri kanan hutan belantara atau kebun karet,” sebut Pak Is, seorang guru di SD Negeri 28 Tanjung Bonai.
Ya, sekolah inilah yang ingin kita ceritakan. Letaknya persis di tepi Batang SInamar. Di sekitar sekolah terdapat beberapa rumah penduduk. Selebihnya adalah hutan belantara dan sedikit kebun karet.
Kalau untuk menjadi guru di sekolah ini, kebutuhan utamanya adalah kemauan dan semangat juang. Ada kemauan, tapi semangat juang lemah, tak jadi juga. Bersemangat tapi tak mau, ujung-ujungnya hanya berkoar-koar dari negeri di luar dengan akses mudah.
Pak Is bercerita, dia memang tidak tinggal di Pamusihan, tapi setiap hari berulang dari ‘luar’. Begitu mereka menyebut kampung yang ada di dekat pusat pemerintahan nagari dan dilintasi jalan provinsi. Enak? “Kami pakai motor trabas pulang dan pergi,” sebutnya singkat.
Kalau guru-guru perempuan, ada yang merupakan warga setempat, atau tinggal di rumah yang disiapkan pemerintah di komplek sekolah. Kalau pakai sepeda motor ‘rancak-rancak dan matic’ janganlah di bawa ke sana.
“Tiga bulan sudah hancur,” ujar Titi, seorang guru seni budaya yang datang ke sekolah itu untuk kedua kalinya, menyiapkan program pembelajaran para murid dalam agenda Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS)
![]() |
Kepala sekolah menyeberangkan muridnya melintasi Batang Sinamar menggunakan rakit kayu. |
Kepala Sekolah Herdison Dt. Mangkuto Rajo menyebut, di sekolah yang dipimpinnya itu terdapat enam kelas atau rombongan belajar. Tapi tidak seperti sekolah lainnya yang ada di perkampungan ramai atau perkotaan. Di sini, total muridnya 24 orang. Tiga orang sudah tamat beberapa hari lalu.
“Murid kita di sini 24 orang. Ada enam orang berjalan kaki sejauh 3,5 kilometer melintasi jalan tanah, dan dipastikan berlumpur kalau selesai hujan, Jalan itu di kiri-kanannya hutan belantara. Satu kelas ada enam orang, ada juga yang hanya tiga orang. Yang kelas VI tamat tahun ini tiga orang sekelas,” jelasnya.
Kepala sekolah yang tak sungkan-sungkan bergelut dengan muridnya itu bercerita, selain yang berjalan kaki 3,5 kilometer itu, ada juga yang harus jalan melingkar cukup jauh, kendati sesungguhnya rumahnya hanya terpaut 500 meter dari sekolah, tapi terhalang Batang Sinamar.
Sang kepsek pun tak hilang akal meringankan murinya, Kendati menggunakan kayu dan dua lembar kawat ukuran kecil, tapi dia berhasil membuat rakit kayu. Dengan rakit itulah, setiap pagi dijemputnya muridnya itu ke seberang menuju sekolah, lalu menyeberangkan kembali ketika pulang sekolah, melintasi Batang Sinamar selebar 80 hingga seratus meter dan berarus cukup deras.
Sedangkan anak-anak yang berjalan kaki sekitar 3,5 kilometer, mereka selalu kompak. Kalau ada yang pulang duluan, maka akan ditunggu teman yang masih belajar. Begitu juga ketika akan pergi sekolah, saling menyinggahi, karena jarak antar rumah juga cukup jauh.
“Saya sudah tiga kali ke sini, dengan kapasitas berbeda. Kali ini dalam rangka survey sebagai persiapan memulai GSMS. Tapi berinteraksi langsung dengan murid-murid kita, ini pertama kali,” kata Ariswandi, kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas Dikbud) Kabupaten Tanah Datar.
![]() |
Ariswandi di SDN 28 Pamusihan |
Kedatangan Ariswandi didampingi beberapa pelatih dan praktisi seni, lalu disambut para murid yang tinggal 21 orang itu dengan tari pasambahan dan petatah-petitih, menjadi kisah lain yang membuat air mata menetes ke dalam.
Rencana semula adalah survey dan pesiapan GSMS, malah membuat rombongan betah berlama-lama, setelah berinteraksi langsung dengan para murid dan gurunya. Masing-masing anggota rombongan sesuai bidang keahliannya, asyik dengan anak-anak itu, sehingga tak terasa senja pun menjelang.
Ariswandi dan Titi yang ahli di bidang tari, spontan langsung melatih anak-anak itu menari. Sebagian murid dan guru bersama dengan bimbingan Uda Nazif, asik pula belajar gendang dan talempong pacik. Ya, kebetulan untuk mendukung latihan-latihan ketika GSMS nanti, rombongan juga membawa peralatan musik berupa satu unit gendang dan satu set talempong pacik.
Ariswandi menyebut, GSMS telah berjalan sejak 2018 dan terhenti selama pandemi Covid-19, tahun ini sasarannya adalah sekolah-sekolah terluar. Pilihan pertama jatuh ke SDN 28 Tanjung Bonai yang terletak di Pamusihan itu.
“Anak-anak kita di sekolah ini hebat-hebat. Dengan latihan kurang dari satu jam, mereka sudah pandai memainkan beberapa gerak dasar tari-tarian Minang, bisa pula memainkan gendang dan talampong pacik. Ini yang membuat kaki kita berat meninggalkan sekolah ini, tapi karena khawatir dengan kondisi cuaca dan jalan yang akan dilalui, kita harus meninggalkan sekolah ini saat senja menjelang, dan bertekad akan kembali lagi ke sini,” ucapnya.
Seiring dengan putaran roda kendaraan dipenuhi lumpur yang membawa meninggalkan Pamusihan, anak-anak hebat itu pun kembali ke rumah masing-masing. Sore itu, mereka pulang dengan orangtua yang sejak siang juga tak beranjak dari lingkungan sekolah, ikut menyaksikan anak-anak mereka berlatih dan bercengkrama dengan pelatih dari ibukota kabupaten; Batusangkar.(musriadi musanif)
0 Komentar