"Baruak Gadang Amak Paja Sia Tu”: Alarm Krisis Karakter di Tengah Lapangan Sekolah

Baruak Gadang Amak Paja Sia Tu”: Alarm Krisis Karakter di Tengah Lapangan Sekolah

NASIONAL, kiprahkita.com Pagi itu matahari belum terlalu tinggi. Barisan siswa-siswi berdiri di lapangan sekolah, mengikuti apel pagi yang rutin digelar setiap hari Senin. Seperti biasa, ada sesi tadarus atau murajaah sebelum amanat dari guru pelaksana.

Guru pun harus sabar 

Hari itu, enam siswa tampil membaca Surah Ar-Rahman. Sayangnya, banyak kesalahan terjadi. Beberapa lafaz terdengar terbata, tajwid terpeleset, intonasi terganggu, dan ada ayat yang tertinggal. Ketika mengecek lapangan tikar berlebih pun berserakan. 

Ketika guru pelaksana mengevaluasi keadaan siswa cewek bersorak-sorak seperti spoter pertandingan bola. Tak jelas apa yang mereka sorakkan. Bahkan kejadian yang mencengangkan terjadi. Seorang siswi, entah tergelitik atau kesal—atau mungkin terbiasa melontarkan komentar nyinyir di dunia maya—tiba-tiba menyeletuk dengan keras, “Baruak gadang amak paja sia tu!”

Sontak suasana menjadi tegang. Beberapa siswa terkekeh, beberapa guru terperangah sebagai pembina saat itu, tercekat. Ungkapan itu ditujukan kepada gurunya sendiri—yang saat itu sedang memberikan amanat dan membina semangat berkarya.

Kalimat kasar dalam bahasa Minang itu bukan sekadar lelucon. Ia menyiratkan krisis yang lebih dalam: hilangnya rasa hormat kepada guru, melemahnya kontrol diri, dan gagalnya siswa membedakan ruang publik dari tongkrongan pribadi.

Tiba - tiba saya teringat masa kecil di kampung. Di sana dulu saya sering mendengar seorang ibu yang memarahi anaknya dengan mengabsen isi kebun binatang. Anjing, kurang ajar, baruak, babi, babiat (harimau) dan lain-lain.

Namun sejak saya pindah ke Kota Padang Panjang ini tak pernah lagi mendengar kata - kata kasar seperti itu. Barulah kali ini. Di kota ini anak - anak sering menyebut kata carut berawal P mengacu kepada alat reproduksi wanita.

🧭 Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Sebagian besar siswa saat ini tumbuh dalam budaya digital yang cepat, instan, dan penuh hiburan. Bercanda jadi panglima, kata-kata kasar dianggap ekspresi, dan batas antara "humor" dan "hinaan" semakin kabur. Mereka bisa menyebut guru "Baruak" dengan tawa, tanpa sadar bahwa di baliknya ada luka yang menganga: pada etika, pada adab, pada jati diri.

Fenomena seperti ini bukan hanya tentang satu anak, tetapi gejala umum di banyak sekolah. Kita sebagai pendidik harus jujur mengakui: ada yang salah dalam pola pembinaan karakter mereka.

🧠 Gagal Murajaah = Gagal Didik?

Tidak. Ketika enam siswa tampil membaca Surah Ar-Rahman dan banyak melakukan kesalahan, itu bukan semata kegagalan hafalan mereka, melainkan momen pembelajaran untuk dibina.

Mereka sudah berani tampil. Mereka mau mengambil peran. Sudah seharusnya mereka diapresiasi dan dibina, bukan dimarahi. Mereka sedang dibina dan diingatkan agar memilih surah yang sudah hafal dan latihan sebelum tampil. 'Tampil tanpa persiapan, turun tanpa harga diri."

Namun respons negatif dari teman ceweknya—apalagi dengan kata-kata kasar—mampu membunuh semangat mendidik guru kala itu. Entah apa sebab si cewek kesal, mengira guru marah. Dalam suasana seperti ini, yang paling terluka bukan hanya guru yang tampil, tetapi juga nilai-nilai kerja sama, saling dukung, dan empati di kalangan guru dan pelajar.

Ada apa sebenarnya? Apakah siswa ini naksir kepada salah satu dari siswa yang murajaah? Mengapa sampai sekesal itu? Cinta memang buta!

🌱 Solusi Pendidikan Karakter: Dari Lapangan ke Hati

1. Restorative Talk: Menyembuhkan, Bukan Menghukum

Setelah kejadian itu, siswa pelaku perlu dipanggil secara personal. Bukan untuk dimarahi habis-habisan, tetapi untuk diajak bicara dari hati ke hati. Tanyakan, "Apa yang kamu rasakan saat itu? Apa yang kamu pikirkan saat melontarkan kalimat itu?"

Apalagi ada pernyataan, "Amak paja sia tu?" (Ibu siapa itu?) Karena guru tersebut punya anak seusianya sekolah di Sana. Maka guru perlu membantunya memahami bahwa kata-kata punya dampak kepada temannya, dan guru. Apalagi guru adalah figur yang harus dihormati.

Sebagai sanksi siswa tersebut diminta menulis surat kepada Allah SWT berisi runtutan kegiatan siswa dari bangun tidur hingga mengeluarkan kata kasar. Diharapkan dengan menulis surat kepada Allah, siswa akan jujur dan bertaubat.

2. Revitalisasi Kegiatan OSIS dan Apel

Apel pagi jangan hanya jadi rutinitas, tapi momentum pendidikan karakter. OSIS bisa dilibatkan dalam membuat tema pekanan, seperti: pekan santun berbahasa, pekan saling menghargai, atau pekan apresiasi teman. Gunakan apel sebagai sarana membentuk budaya saling menghormati.

3. Pembelajaran Adab di Era Digital

Sekolah perlu menyisipkan pendidikan etika dan adab di setiap lini—baik dalam pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, bahkan saat jam istirahat. Bahas bagaimana bersikap di ruang publik, bagaimana berbicara sopan, dan bagaimana menanggapi kesalahan orang lain dengan empati.

4. Kolaborasi dengan Orang Tua

Sikap anak tidak terlepas dari nilai-nilai di rumah. Bahasa menunjukkan bangsa. Orang tua perlu diajak berdialog: apa batasan kata-kata yang boleh diucapkan di rumah? Apakah mereka mengajarkan bagaimana berbicara sopan kepada orang yang lebih tua?

Saya sempat bertanya kepada siswa?

"Di mana kampungnya?" Batu Sangkar.

"Di mana orang tuanya bekerja?" Dinas Pertanian.

Saya pun mencandai, "Hahhh harusnya yang kamu sebut sama guru, nak,  tomat, bayam, cabai..."

❤️ Menjadi Guru yang Tak Mudah Terluka

Merujuk pada pengalaman kecil saya di kampung, sudah pernah mendengarkan ibu-ibu berkata-kata kasar kepada anak-anak mereka tak terlalu kaget ketika ada siswa berkata kasar. Sebagai guru, saya belajar untuk tidak membawa pulang luka itu. Saya mencoba memahami: mungkin ia hanya meniru bahasa yang sering ia dengar. 

Mungkin ia belum pernah diajarkan bahwa kata-kata bisa membunuh semangat. Mulutmu harimaumu! Namun saya juga punya tanggung jawab untuk menegakkan marwah guru. Karena kalau kita biarkan, anak-anak akan tumbuh tanpa pagar. Pagar itu adalah sopan santun, rasa hormat, dan tanggung jawab.

🥰 Konflik Batin Seumur Hidupnya 

Mulutmu harimaumu! Menjadi sanksi moral terberat untuk siswa yang berkata kasar kepada gurunya. Ketika siswa berkata kasar di depan publik, otomatis menjadi studi kasus di sekolah. Tentu guru Bimbingan Konseling (BK), Wali Kelas, Wakil Kepala, dan guru-guru yang mendengar tak akan tinggal diam. Semua memproses dan memberi nasihat.

Perasaan bersalah selamanya akan bercokol di alam bawah sadarnya. Rasa bersalah ini akan terus menggerogoti jiwanya. Sejatinya manusia itu selalu berlari menuju kepada kebenaran. Maka lambat laun rasa bersalah mendera. Karena itu sangat disayangkan ketika anak mengeluarkan kata - kata kasar. Ia akan menderita konflik batin seumur hidupnya.

Konflik batin tak bisa dihindari oleh individu. Ini merupakan konsekuensi dari pernyataan siswa tersebut. Seumur hidup Sampuraga bergelar anak durhaka dari Sumatera Utara, Malin Kundang dari Sumatera Barat, peristiwa Tangkuban Perahu dari Bandung.

Hidup memang butuh korban. Mereka harus menjadi korban menjadi anak durhaka sebagai contoh pembelajaran. Begitupun siswa ini berperan antagonis untuk menjadi contoh sebagai siswa yang berkata kasar kepada gurunya. Guru pun menjadi korban sebagai sasarannya.

Apalagi guru Bahasa Indonesia, momen ini menjadi model untuk "Bahasa menunjukkan bangsa" dan peribahasa " Mulutmu harimaumu!"

Dengan adanya kasus ini menjadi model pembelajaran tentang budi pekerti di sekolah. 

🕊️ Penutup: Pendidikan Karakter Harus Menyentuh Hati

Mendidik karakter bukan soal memberi sanksi, tapi menanamkan nilai yang berakar. Butuh keteladanan, konsistensi, dan kasih sayang yang mendalam. Ketika siswa berkata kasar, kita jangan ikut kasar. Ketika mereka tergelincir, kita tarik mereka dengan empati—bukan dorong mereka makin jatuh.

Mari jadikan setiap insiden sebagai ladang pendidikan. Karena guru bukan hanya pengajar, tetapi penjaga peradaban. Sudah cukup konflik batin akan menderanya. Mudah-mudahan ke depan tak ada siswa yang meniru. Jangan jatuh lagi di lubang yang sama. (Yus MM/*)

Posting Komentar

0 Komentar