Mengubah Teks Prosedur Menjadi Cerpen: "Bun, Aku Kangen Rendang Ayam Kampung!"

Apa Itu Teks Prosedur?

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Teks prosedur adalah teks yang berisi langkah-langkah atau tahapan untuk melakukan atau membuat sesuatu, misalnya:

Cara memasak rendang

Cara menanam bunga

Cara mengaktifkan akun belajar.id, dll.

Apa Itu Cerpen?

Cerpen (cerita pendek) adalah karya fiksi yang punya alur, tokoh, latar, konflik, dan penyelesaian. Cerpen bersifat naratif, bukan instruktif.

Cara Mengubah Teks Prosedur Menjadi Cerpen

1. Pilih Teks Prosedur

Contoh: Cara Membuat Rendang Ayam Kampung

2. Ciptakan Tokoh

Contoh: Seorang anak yang merindukan masakan Bunda di kampung.

3. Bangun Latar dan Suasana

Misalnya: Musim hujan di kampung halaman, dapur yang hangat, suara sendok di piring.

4. Sisipkan Langkah-Langkah Secara Alami

Boleh juga tugas prakarya

“Potong ayam, lalu tumis bumbu halus.”

Ubah jadi:

“Bunda mengambil ayam kampung yang sudah dipotong delapan, membersihkannya dengan jeruk nipis. Sementara itu, aku menumis cabai merah, bawang, dan kunyit di atas api kecil.”

5. Gunakan Dialog dan Emosi

“Nak, kalau bumbunya belum harum, rendangnya belum jadi,” ujar Bunda sambil mengaduk santan.

6. Beri Penutup yang Menyentuh

Bisa berupa:

Tokoh berhasil memasak

Masakan jadi penghubung keluarga

Ada kejutan di akhir, dll.

Contoh Mini – Mengubah Prosedur Jadi Cerpen
Teks Prosedur (Singkat)

Potong ayam jadi 8 bagian

Haluskan cabai, bawang, jahe, kunyit

Tumis bumbu

Masukkan ayam

Tambahkan santan

Masak hingga kuah kering dan berminyak

Versi Cerpen

Senja itu, dapur rumah kami harum oleh bumbu yang sedang ditumis. Mama berdiri di dekat kompor, keringatnya mengalir tapi wajahnya damai.

“Bantu Bunda, ya. Haluskan cabainya,” ujarnya.

Aku pun mengulek cabai merah, bawang merah, bawang putih, dan kunyit. Warnanya mencolok, aromanya tajam. Bunda sudah menyiapkan ayam kampung yang dipotong jadi delapan bagian.

“Masukkan ayamnya sekarang,” kata Bunda

Bunyi desis terdengar saat ayam menyatu dengan bumbu. Lalu, santan encer mengalir masuk, membuat kuah jadi kaya dan harum. Butuh waktu lama. Tapi kami sabar.

Menjelang maghrib, aroma rendang memenuhi rumah. “Sudah kering dan berminyak, Bun,” seruku.

Bunda tersenyum. “Rendang kita siap, Nak.”

🎉 Kesimpulan

Mengubah teks prosedur jadi cerpen itu tentang:

Mengganti perintah menjadi cerita

Menyisipkan emosi, dialog, dan suasana

Mengalirkan langkah-langkah sebagai bagian alami cerita: Ini Cerpennya.

Bun, Aku Kangen Rendang Ayam Kampung!

Senja mulai turun, menebarkan warna merah lembut di langit biru Kota Lubuk Sikaping. Pertanda Maghrib segera akan datang. Angin sore pun sejuk berhembus perlahan, membawa aroma khas daun-daun yang basah setelah hujan. Kota ini memang sangat akrab dengan hujan. Syukurlah, jelang Teguh turun dari bus hujan sudah reda.
Teguh pun mendarat di Terminal Kota Sejuk Berjuluk Serambi Mekah itu. Ia melempar pandangan ke sekeliling, mencari mobil Avanza hitam milik ayahnya. Nampak mobil hitam itu parkir di bawah pohon mahoni berdaun rindang.

Ayahnya terlihat sedang mendengar radio. Wajar saja beliau tak melihat Teguh yang baru saja menginjak aspal terminal Lubuk Sikaping itu. Ya, ia baru saja menempuh perjalanan dua hari dua malam dari Kota Semarang ke Jakarta lalu ke kampung halaman via darat.

"Ayah sehat?" sapa Teguh sambil meraih tangan kanan Ayahnya.

"Alhamdulillah sehat, Nak! Sudah sampai rupanya." Ayah menyambutnya hangat, menepuk bahu putranya. Mereka saling memeluk, melepas rindu yang menahun.

"Cuma dua tas ini?"

"Iya, Yah. Cukup itu saja."

Mereka masuk ke mobil. Teguh duduk di jok depan. Saat mesin dihidupkan, suara alarm seatbelt berbunyi. Ayah menyodorkan sabuk pengganti. Sabuk palsu.

Teguh pun bersandar, matanya perlahan terpejam, pikirannya melayang.

Ia membayangkan Bundanya dan dua adiknya, Anggia dan Yola, sedang apa di rumah. Pasti sedang masak. Benar saja—rasa rindunya mengarah pada satu hal: Rendang Ayam Kampung buatan Bundanya.

Rendang itu bukan sembarang rendang. Ayam kampung pilihan. Bumbu yang dibuat Bunda dengan cinta, dari bahan-bahan segar. Ia ingat bagaimana mereka menyiapkan rendang bersama dulu.

Ayam dipotong delapan, dibersihkan, dan dilumuri jeruk nipis serta sedikit garam. Bumbu halusnya—cabai merah keriting, bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit bakar, ketumbar dan lada—dibuat Bunda dengan lesung batu.

“Haluskan sampai minyak cabainya keluar, Nak, baru bumbu itu sempurna,” kata Bunda dulu.

Serai, daun jeruk, daun kunyit, dan lengkuas ikut dimasukkan dalam wajan saat menumis. Semua ditumis dengan minyak kelapa asli, yang aromanya bisa membuat siapa pun pulang kampung.

Setelah bumbu harum, ayam dimasukkan. Diaduk hingga berubah warna. Lalu santan encer dituangkan. Masak dengan sabar, api kecil. Hingga daging empuk. Barulah santan kental ditambahkan. Diaduk perlahan agar tak pecah. Garam dan sedikit gula merah sebagai penyeimbang rasa.

“Kalau kuah mulai menyusut dan minyak naik ke atas, berarti rendangmu sudah jadi, Teguh,” kata Bunda.

"Bunda dan Anggia sedang masak Rendang Ayam Kampung favoritmu. Makanya mereka tak ikut menjemput!" kata Ayah, seolah membaca pikiran Teguh.

"Siapa yang belanja bahan-bahannya, Yah?" Teguh tersenyum.

Ia teringat saat SMA, sering ke pasar beli ayam ke warung Bu Siti. Satu waktu, terjadi salah paham. Bu Siti sempat bilang Teguh belum bayar, padahal uangnya—uang yang sempat dicoret adiknya Yola—sudah masuk ke saku celemek Bu Siti. Teguh nyaris malu, hingga akhirnya Teguh ingat. Uangnya bercret Yola. Bu Siti merogoh saku celemeknya. Bu Siti mengakui, dan mereka pun tertawa.

Sampai di rumah, rumah yang penuh aroma santan dan rempah, Teguh memeluk Bunda. “Assalamu’alaikum, Bun. Sehat, Bun?”

“Wa’alaikumussalam, Nak. Alhamdulillah. Bunda, Ayah, dan adik-adikmu sehat. Kamu gimana, betah kuliahnya di sana?”

Sebelum makan, mereka salat Maghrib berjamaah. Lalu berkumpul di meja makan. Di sana, rendang ayam kampung buatan Bunda tersaji sempurna. Gelap, pekat, menggoda. Bumbunya menempel sempurna di setiap serat ayam.

Saat Teguh menyuap rendang itu, seluruh kenangan, cinta, dan rindu seolah meleleh bersama kuahnya yang gurih.

"Bun, aku kangen makan rendang ini bareng Bang Afif," gumam Teguh.

Tiba-tiba suara terdengar dari pintu.

"Bun, aku kangen rendang juga. Ada jatah abang, kan?"

Teguh terlonjak. “Bang Afif?!”

"Bang baru pulang dari kerjaan luar kota, Dek. Dapat proyek di Padang dua minggu. Mampir dulu ke rumah, dong."

Tawa pecah. Mereka makan ramai-ramai. Piring demi piring bersih. Satu yang tak habis—rasa syukur dan cinta.

Rendang Ayam Kampung malam itu bukan sekadar hidangan. Tapi simbol rumah, cinta, dan kenangan yang tak pernah hilang hingga saat ini.

Posting Komentar

0 Komentar