WTP yang Rapuh dan Aroma Korupsi: Menelisik Kontras Tata Kelola Keuangan Sumatera Barat
SUMBAR, kiprahkita.com –Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2024. Ini adalah predikat WTP ke-13 yang diterima secara berturut-turut—sebuah prestasi administratif yang membanggakan, setidaknya di atas kertas.
![]() |
Meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) |
Namun, di balik kilau predikat WTP ini, tersimpan kenyataan pahit: penegak hukum sedang menyelidiki lima kasus dugaan korupsi besar yang terjadi di wilayah Sumatera Barat. Kejaksaan Tinggi Sumbar, Mabes Polri, dan bahkan Intelijen Mabes TNI kini turun tangan. Kontras yang mencolok ini mengundang pertanyaan: sejauh mana WTP mencerminkan kenyataan di lapangan?
WTP: Antara Simbol dan Substansi
Dalam rapat paripurna DPRD Sumbar pada Jumat, 23 Mei 2025, BPK RI kembali mengganjar Pemprov Sumbar dengan opini WTP. Namun, Kepala BPK Perwakilan Sumbar, Sudarminto Eka Putra, menegaskan bahwa opini WTP bukan berarti tanpa catatan. Justru ada sejumlah masalah kronis yang terus muncul dari tahun ke tahun, di antaranya: Penganggaran, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak rasional, Manajemen kas yang belum tertib, termasuk di dua OPD. Penataan aset tetap Pemprov yang masih amburadul.
Ironisnya, ketiga catatan ini juga telah berulang kali direkomendasikan oleh BPK dalam laporan tahun-tahun sebelumnya, namun belum sepenuhnya ditindaklanjuti. Artinya, perbaikan berjalan lambat, jika tidak dikatakan stagnan.
Ketika Penegak Hukum Turun Gunung
Di saat euforia WTP bergema di Gedung DPRD, di tempat lain para aparat penegak hukum sedang bekerja dalam diam. Kejati Sumbar, Mabes Polri, dan Intelijen TNI tengah menyelidiki lima kasus besar dugaan korupsi yang diduga melibatkan oknum pejabat daerah dan pengusaha:
1. Mafia tanah adat Kaum Maboet di Padang
2. Korupsi di Perumda Mentawai
3. Perusakan lingkungan dan eksploitasi liar di Mentawai
4. Penyalahgunaan BBM subsidi dan indikasi TPPU di Padang
5. Tambang emas ilegal di Pasaman Barat dan Pasaman Timur
Tim supervisi dan penyelidik sudah diterjunkan untuk mengumpulkan bukti serta menelusuri keterlibatan oknum aparat yang diduga melakukan pembiaran. Ketua Umum BPI KPNPA RI, Tubagus Rahmad Sukendar, menyebutkan bahwa laporan dan data awal sudah diserahkan ke penyidik Mabes Polri dan TNI.
WTP Tak Selalu Bebas dari Korupsi
Penting dipahami bahwa opini WTP dari BPK bersifat administratif. Ia menunjukkan bahwa laporan keuangan disusun sesuai standar akuntansi pemerintahan. Tapi WTP bukan jaminan bahwa keuangan dikelola dengan baik, apalagi bebas dari korupsi.
Fakta ini diperkuat oleh adanya pola penataan aset dan kas yang tidak tertib, sebagaimana disebut dalam laporan BPK. Lemahnya pengelolaan aset daerah bisa menjadi pintu masuk bagi praktik mafia tanah, sebagaimana yang terjadi pada kasus Kaum Maboet. Begitu juga dengan manajemen PAD yang tidak rasional—bisa membuka ruang permainan anggaran.
Tambang emas ilegal yang marak di Pasaman, serta korupsi BBM subsidi, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap potensi ekonomi daerah. Semua ini merupakan refleksi dari lemahnya tata kelola pemerintahan, yang jika dibiarkan akan menjauhkan APBD dari tujuan utamanya: mensejahterakan rakyat.
Perlu Perbaikan yang Lebih dari Sekadar Opini
Wakil Gubernur Sumbar, Vasko Ruseimy, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur atas raihan WTP ke-13. Ia berjanji akan menindaklanjuti seluruh rekomendasi BPK. Namun, janji seperti ini juga sudah diucapkan tahun-tahun sebelumnya.Yang dibutuhkan kini adalah keseriusan konkret, bukan basa-basi administratif. Reformasi tata kelola aset harus dilaksanakan dengan teknologi dan transparansi. OPD yang tidak tertib kas harus mendapat sanksi jelas. Aparat penegak hukum harus diberi ruang penuh untuk menindak siapa pun yang terlibat dalam praktik korupsi, tanpa pandang jabatan atau koneksi politik.
Masyarakat Harus Mengawal
Di tengah kondisi ini, masyarakat sipil, jurnalis, dan organisasi pengawas harus tetap kritis. WTP yang tidak diiringi tata kelola yang bersih bisa menjadi "tameng semu" bagi penyalahgunaan kekuasaan. Justru ketika aparat penegak hukum mulai bergerak, kita perlu memberi dukungan moral agar investigasi berjalan tuntas dan transparan.
Kilas Balik
Sumatera Barat pantas meraih penghargaan, tapi lebih pantas lagi jika tata kelola keuangannya benar-benar bersih dan berdampak pada rakyat. WTP adalah awal yang baik, tapi bukan akhir dari segalanya.
Kasus sengketa tanah adat Kaum Maboet di Padang merupakan salah satu contoh nyata konflik agraria yang kompleks di Indonesia, yang melibatkan aspek sejarah, hukum adat, dan dugaan praktik mafia tanah.
Latar Belakang Sengketa
Tanah seluas 765 hektar di Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, telah lama diklaim sebagai milik Kaum Maboet, sebuah komunitas adat Minangkabau. Klaim ini didasarkan pada berbagai dokumen hukum, termasuk putusan Landraad Nomor 90 Tahun 1931 yang memenangkan Kaum Maboet atas gugatan perusahaan Belanda, serta surat sita dari Pengadilan Negeri Padang pada tahun 1982.
Tuduhan Mafia Tanah dan Penahanan
Pada tahun 2020, Mamak Kepala Waris (MKW) Kaum Maboet, Lehar, bersama beberapa anggota keluarganya, ditangkap oleh Polda Sumbar atas tuduhan pemalsuan surat dan praktik mafia tanah. Penahanan ini berlangsung selama 78 hari, dan Lehar meninggal dunia saat masih dalam tahanan. Namun, pada Agustus 2022, Polda Sumbar mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tidak cukup bukti untuk mendukung tuduhan tersebut.
Meskipun tuduhan terhadap Kaum Maboet dihentikan, muncul dugaan bahwa tanah adat mereka telah disertifikasi secara ilegal atas nama pihak ketiga tanpa persetujuan dari pemangku adat atau ahli waris sah. Laporan masyarakat adat menyebutkan bahwa sertifikat tanah dikeluarkan melalui skema pungutan liar dan pemalsuan dokumen, yang kemudian dialihkan ke perusahaan properti yang diduga terkait dengan jaringan mafia tanah.
Langkah Hukum dan Harapan Masyarakat Adat
Merasa dirugikan, Kaum Maboet melalui MKW M. Yusuf melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan kriminalisasi oleh penyidik Polda Sumbar ke Mabes Polri. Mereka juga meminta intervensi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa Agung, dan Kapolri untuk mengusut tuntas kasus ini. Kejaksaan Agung telah memberikan mandat kepada Kejaksaan Tinggi Sumbar untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Kesimpulan
Kasus Kaum Maboet mencerminkan tantangan besar dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, terutama terkait dengan pengakuan dan perlindungan tanah ulayat. Diperlukan upaya serius dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk memastikan keadilan dan mencegah praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat adat. (Sumber Antara, Harian Singgalang, Harian Haluan/Yus MM)*
0 Komentar