Harimau Nan Salapan: Penjaga Akidah dan Pemurni Islam di Ranah Minangkabau
SUMBAR, kiprahkita.com –Pada awal abad ke-19, Ranah Minangkabau berada dalam masa yang penuh kegelisahan moral dan sosial. Masyarakat adat kala itu banyak terjerumus dalam berbagai penyakit masyarakat—berjudi, menyabung ayam, mengadu balam, bahkan meminum arak.
Praktik-praktik tersebut telah mengakar sebagai bentuk budaya hiburan dan pelarian, tetapi secara perlahan menggerus nilai-nilai moral serta mengacaukan tatanan sosial di Minangkabau. Dalam suasana itulah muncul sekelompok ulama reformis yang kelak dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan, merekalah para pembaharu yang menyalakan api gerakan pemurnian Islam di tanah kelahirannya.
![]() |
| Harimau Nan Salapan |
Asal Usul Gerakan
Benih kebangkitan itu bermula dari kepulangan tiga ulama muda dari Mekkah pada tahun 1802: Haji Miskin dari Pandai Sikek, Haji Abdurrahman Piobang dari Limapuluh Kota, dan Haji Muhammad Arif Tuanku Sumanik dari Tanah Datar. Ketiganya membawa semangat pembaruan Islam yang terinspirasi dari ajaran Wahhabi—gerakan yang menyerukan kembalinya umat Islam kepada tauhid murni dan pelaksanaan syariat secara menyeluruh.
Kedatangan mereka di Minangkabau tidak disambut dengan tangan terbuka. Kaum adat, yang merasa ajaran baru ini mengancam kebiasaan dan status sosial mereka, memberikan perlawanan keras. Namun, perlawanan itu tidak membuat semangat para ulama muda ini padam. Mereka justru bersekutu dengan tokoh-tokoh agama lain yang memiliki semangat serupa, di antaranya Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Lua, Tuanku Galung, Tuanku Koto Ambalau, dan Tuanku Lubuk Aur.
Delapan tokoh inilah yang kemudian dikenal dengan julukan Harimau Nan Salapan—delapan “harimau” penjaga syariat yang bertekad menegakkan Islam di Minangkabau, meski harus menghunus pedang.
![]() |
| Tuanku Nan Renceh di Kamang |
![]() |
| Cagar Budaya Makam Tuanku Nan Renceh |
Perjuangan dan Perlawanan
Gerakan Harimau Nan Salapan tidak hanya bernuansa keagamaan, tetapi juga politik dan sosial. Mereka berusaha menegakkan hukum Islam dan menertibkan masyarakat dari kebiasaan buruk yang bertentangan dengan syariat.
Di setiap nagari yang berhasil mereka “taklukkan”, didirikan sistem pemerintahan religius dengan Tuan Kadhi sebagai penegak hukum dan Tuan Imam sebagai pemimpin ibadah. Segala bentuk perjudian, minuman keras, dan hiburan maksiat diberantas. Bahkan, kebersihan ibadah menjadi simbol utama—setiap rumah wajib memiliki batu hampar di halaman, untuk membasuh kaki sebelum shalat.
Namun perjuangan mereka tidak mudah. Kaum adat menolak keras intervensi kaum ulama, sehingga konflik ideologis berubah menjadi peperangan terbuka. Perang inilah yang kemudian dikenal sebagai bagian dari Perang Padri—salah satu konflik besar dalam sejarah Minangkabau yang juga beririsan dengan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Cita-Cita Besar dan Jejak yang Meluas
Tuanku Nan Renceh, pemimpin Harimau Nan Salapan, dikenal sebagai sosok keras dan berprinsip. Bersama rekan-rekannya, ia ingin membebaskan Minangkabau dan seluruh Tanah Jawi dari “kegelapan” moral dan penjajahan spiritual. Cita-cita itu bahkan meluas hingga ke Tapanuli Selatan, di mana pengaruh gerakan ini melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, dan Tuanku Asahan—para pejuang Islam yang turut menyebarkan dakwah ke wilayah Mandailing dan Angkola.
Struktur perjuangan mereka terorganisir dengan baik. Tentara Padri yang mereka bentuk bukan sekadar milisi kampung, tetapi pasukan terlatih dengan sistem komando yang rapi. Dalam pelaksanaannya, mereka bahkan mengawasi kehidupan beragama masyarakat secara ketat, hingga ke urusan wudhu dan shalat subuh—sebuah cerminan kesungguhan menegakkan disiplin iman, meski dengan pendekatan keras yang kini mungkin sulit diterima.
Rekonsiliasi dan Warisan Abadi
Perjalanan panjang ini akhirnya mencapai titik damai pada 1834, ketika kaum adat dan kaum ulama bersepakat untuk menghentikan pertikaian. Dari perdamaian itulah lahir falsafah luhur yang menjadi jati diri orang Minangkabau hingga kini:
“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”
Artinya, adat bersendi pada agama, dan agama bersendi pada Al-Qur’an.
Falsafah ini merupakan hasil sintesis antara nilai-nilai Islam dan budaya Minangkabau—buah dari konflik dan perjuangan panjang yang dirintis oleh Harimau Nan Salapan.
Refleksi Kita
Kini, lebih dua abad telah berlalu sejak derap langkah kuda prajurit Tuanku Nan Renceh menggema di Kamang. Batu-batu tapakan yang dulu menjadi tanda ketaatan kini hanya tinggal simbol sejarah. Namun semangat Harimau Nan Salapan tetap hidup: semangat untuk menjaga kemurnian iman, memperjuangkan moral masyarakat, dan menegakkan kebenaran meski harus berhadapan dengan arus besar zaman.
Harimau Nan Salapan bukan hanya kisah perjuangan fisik, tetapi juga kisah perjuangan nilai — tentang bagaimana agama, adat, dan akhlak saling berpadu dalam membentuk identitas Minangkabau yang kokoh: Islam sebagai dasar, adat sebagai cermin, dan perjuangan sebagai napas kehidupan.
“Jika dulu Harimau Nan Salapan menjaga batu tapakan, kini kita yang harus menjaga iman dan nilai agar tak terhapus oleh waktu.” (FB/BS)*



0 Komentar