Penerapan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia: Tantangan Teoritis dan Praktis
JAKARTA, kiprahkita.com –Penerapan hukum internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia menjadi wujud nyata komitmen negara dalam menjaga hubungan harmonis antara norma global dan hukum nasional. Salah satu contoh pentingnya adalah proses ratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Hal ini menandai langkah strategis Indonesia dalam memperkuat kedudukan hukum laut dan kedaulatan maritim sebagai negara kepulauan. Ratifikasi ini disahkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, yang tidak hanya memberikan legitimasi hukum bagi Indonesia di tingkat internasional, tetapi juga menjadi dasar pengaturan dan pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan.
![]() |
| Indonesia mengadopsi konsep negara kepulauan |
![]() |
| Koordinasi lintas lembaga,TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perhubungan |
Tahap terakhir dari penerapan hukum internasional adalah implementasi operasional. Implementasi operasional memastikan bahwa harmonisasi hukum tidak berhenti pada tataran regulasi semata, melainkan juga diwujudkan secara nyata di lapangan. Koordinasi lintas lembaga seperti TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan menjadi kunci dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut.
Pembentukan Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) merupakan bukti komitmen Indonesia dalam menjamin keamanan maritim dan penegakan hukum di wilayah perairan nasional. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, modernisasi alat pengawasan, serta pembangunan infrastruktur pendukung menjadi langkah penting untuk memastikan efektivitas pelaksanaan ketentuan UNCLOS di Indonesia.
![]() |
| Ssialisasi Maritim Indonesia oleh BAKAMLA |
Peran UNCLOS 1982 dalam Memperkuat Kedaulatan Maritim Indonesia
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982 memiliki peran fundamental dalam memperkuat kedaulatan maritim Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebelum disahkannya konvensi ini, laut di antara pulau-pulau Indonesia dianggap sebagai laut lepas, sehingga kapal asing bebas melintas tanpa kendali negara.
Melalui UNCLOS 1982, khususnya Pasal 46 hingga 54, Indonesia memperoleh pengakuan internasional atas konsep “archipelagic state”, yang menetapkan bahwa seluruh perairan antar dan dalam pulau adalah perairan kepulauan (archipelagic waters) di bawah kedaulatan penuh Indonesia. Pengakuan ini tidak hanya mempertegas kesatuan wilayah Indonesia, tetapi juga memperkuat dasar hukum bagi pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut.
UNCLOS 1982 juga memberikan hak-hak khusus kepada Indonesia sebagai negara kepulauan, termasuk kewenangan menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang berfungsi mengatur lintas kapal dan pesawat asing secara terkontrol. Mekanisme ini memperkuat kemampuan Indonesia dalam mengawasi jalur pelayaran internasional sekaligus menjaga keamanan dan ketertiban laut nasional. Selain itu, UNCLOS menegaskan hak berdaulat Indonesia atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Dengan demikian, konvensi ini memberikan legitimasi hukum yang kokoh bagi Indonesia dalam mempertahankan dan memanfaatkan potensi maritimnya untuk kepentingan nasional secara berkelanjutan.
Tantangan dan Hambatan Implementasi UNCLOS di Indonesia
Meski telah memberikan banyak manfaat, implementasi UNCLOS di Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik secara teoritis maupun praktis. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah perairan lebih dari 6,4 juta km², yang menyebabkan kesulitan dalam pengawasan dan penegakan hukum di seluruh wilayah laut.
Salah satu tantangan utama adalah praktik illegal fishing yang menimbulkan kerugian ekonomi besar dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut. Selain itu, pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing tanpa izin kerap terjadi akibat lemahnya pengawasan di wilayah perbatasan maritim. Hambatan lain muncul dari keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi maritim, yang berdampak pada efektivitas penegakan hukum laut.
Dari sisi lingkungan, tekanan terhadap kelestarian ekosistem laut meningkat akibat penangkapan ikan berlebihan, pencemaran laut, dan dampak perubahan iklim. Sementara itu, tantangan kelembagaan muncul karena ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah, serta belum lengkapnya peraturan turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Indonesia melakukan berbagai upaya seperti penguatan armada patroli, modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista), serta penggunaan teknologi pemantauan kapal ilegal. Penegakan hukum juga dilakukan secara tegas melalui penahanan dan penenggelaman kapal pelaku illegal fishing.
Upaya lain yang tak kalah penting adalah budaya peningkatan kapasitas SDM maritim, baik dalam aspek teknis maupun diplomasi hukum laut, serta budaya perluasan kerja sama internasional di bidang keamanan, budaya penelitian, dan budaya perlindungan lingkungan laut.
Di sisi kebijakan, Indonesia mulai menerapkan paradigma “blue economy” sebagai arah baru pembangunan kelautan yang berkelanjutan, dengan memperkuat budaya pengawasan, budaya rehabilitasi ekosistem laut, dan harmonisasi regulasi antarwilayah. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia menunjukkan budaya komitmen kuat untuk mewujudkan implementasi UNCLOS 1982 secara efektif, sekaligus memperkuat kedaulatan maritim dan pengelolaan laut yang berkelanjutan sesuai prinsip hukum internasional kita. (AKS/YS/BS)*



0 Komentar