Jalan Multatuli di Kota Natal


Oleh Musriadi Musanif

(Wartawan Utama)

OPINI, kiprahkita.com - Saya sangat terkesan dengan nama Multatuli. Seorang Belanda yang kala itu sedang menjajah, lalu kemudian memihak kepada perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Multatuli. Itulah nama yang dituliskan Eduard Douwes Dekker untuk dirinya sebagai nama pena. Nama yang dipakai ketika dia menulis yang kemudian diterbitkan, lalu beredar luas di pasaran.

Asal kata Multatuli adalah Bahasa Latin. Bila diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia, mengutip berbagai referensi, maknanya adalah: Aku sudah banyak menderita. Penderitaan yang disaksikannya itu, khususnya di Lebak, saat ia ditugaskan sebagai asisten residen.

Eduard Douwes Dekker pernah bertugas di Minangkabau, lalu kemudian dipindahkan ke Natal, sebuah kota pelabuhan di bibir pantai barat Samudera Indonesia. Jejaknya hingga kini masih bisa ditemui di kota kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Mandailing Natal tersebut.

Beberapa jejaknya yang hingga kini masih bisa ditemukan adalah Sumur Multatuli. Gedung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Natal yang berdiri megah saat ini, merupakan bekas gedung tempat tinggal dan kantor Multatuli. Ruas jalan di depan RSUD itu, diberi nama Jalan Multatuli.

Menurut beberapa referensi yang bisa ditelusuri melalui mesin pencari google, Douwis Dekker alias Multatuli itu tiba di Padang awal abad 18, namun kemudian Gubernur Sumbar Kolonel Andreas Victor Michiels mengirimnya ke Natal menjadi seorang kontroleur.

Dia dikirim ke kota kecil itu karena dikenal memiliki reputasi buruk, yakni suka berjudi dan menempeleng orang.

Di Natal itulah, Eduard Douwes Dekker menunjukkan keberpihakannya terhadap pribumi dalam melawan penjajahan Belanda. Padahal pada waktu itu, dia masih berstatus sebagai pejabat kolonial Hindia Belanda.

Saat bertugas di Natal, dia sempat menulis sebuah buku terkenal berjudul Losse Bladen uit het Dogbck van een ud Man (Halaman-halaman lepas dari buku harian seorang lelaki tua).

Mengutip referensi wikipedia.org, Multatuli diperkirakan bertugas di Natal pada tahun 1840-an. Bila ketika bertugas di Padang disebut-sebut dia sering resah, maka saat berada di Natal dia malah menemukan ketenangan.

Kendati tenang karena merasa berkuasa di kota kecil, namun Multatuli sering mengabaikan instruksi atasannya dari Padang. Akibatnya, dia diberhentikan dari jabatannya dan ditarik ke Padang, seterusnya diizinkan pulang ke Batavia pada September 1844.

Nama besar yang juga terpaut dengan Natal, ada pula Sutan Syahrir. Dia adalah pahlawan nasional Indonesia, Perdana Menteri merangkap Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pertama.

Sutan Syahrir di lahirkan di Padang Panjang pada Maret 1909. Ayahnya bernama Mohammad Rasyad Maharajo Sutan berasal dari Kotogadang, tetapi ibunya asli puteri Natal, bernama Siti Rabiah.

Kendati saat ini terasa sepi, karena aktivitas pelabuhan di Natal hanya perikanan dan tidak ada lagi ekspor hasil hutan dan pertanian sebagaimana zaman penjajahan dulu, namun Natal tetap kokoh dengan kebesaran masa lalunya.

Dahulu, untuk sampai ke Natal hanya ada dua jalan: menggunakan jalur laut atau jalan sempit, berliku, dan berbatu menelusuri Bukit Barisan dari Jembatan Merah, dekat Panyabungan.

Kini, ada akses baru yang kondisi jalannya jauh lebih bagus, yakni dari arah Pasaman Barat dan Batang Toru. Jalan baru dari kedua arah itu, lebar dan mulus.

Masyarakat Natal kini bisa tiap hari berkunjung ke Padang dan Bukittinggi, seiring dengan terbukanya jalan mulus di pantai barat tersebut. Warga Natal juga sudah bisa setiap hari berkunjung ke Sibolga dengan melintasi jalan mulus dan baru saja selesai dibangun.

Dari Natal ke Sibolga terpaut jarak kurang 300 kilometer dengan waktu tempuh 5-6 jam. Entah kenapa, jalan lintas barat itu dibelokkan ke pedalaman Tapanuli Selatan hingga sampai di Batangtoru. Padahal bila dibuka jalan baru melewati Batumundom, tentu jarak Natal-Sibolga bisa lebih diperpendek lagi.

Kendati sepi, tapi banyak pesona alam bisa dinikmati sepanjang jalan. Ada perkebunan kelapa sawit dan karet, ada pula panorama belantara rawa-rawa, air terjun tiga tingkat setinggi 200-an meter bernama Simatutung, dan klimaksnya adalah pesona Danau Siais yang masih perawan.

Berkunjunglah ke Natal, menapaktilasi jejak Multatuli, sang penulis belasan buku terkenal. Penjajah yang kemudian memihak perjuangan kemerdekaan republik ini.

Di sini, ada sedikit hotel kecil tapi terbilang cukup nyaman. Ada juga mess Pemkab Madina dan Pemprov Sumut yang juga menerima tamu umum.

“Penginapan di sini umumnya penuh pada Senin malam, karena Selasa adalah hari pasar di Natal. Banyak pedagang yang berdatangan dari pedalaman Sumatera ke sini. Ada yang menjual dagangan, ada pula yang ingin membeli produksi laut dan hutan daerah sekitar Natal,” kata seorang anggota polisi yang ditemui di Mapolsek setempat.

Natal adalah kota kecamatan. Aktifitas nelayan terbilang tinggi di sini. Banyak kapal-kapal nelayan yang berlabuh untuk menjual hasil tangkapan mereka. Ada juga yang menjual ikan yang sudah dikeringkan.

Ada pendapat, Natal adalah bagian dari daerah Rantau Minangkabau, tapi SK-nya digantung oleh pemimpin Pagaruyuang, lantaran raja yang menjabat itu tidak memenuhi syarat. Entah iya, entah tidak, tentu butuh kajian lebih mendalam lagi.(*)

Posting Komentar

0 Komentar