Saat Solidaritas Mengalir, Jangan Biarkan Sistem Tetap Mandek
AGAM, SUMBAR, kiprahkita.com –Kunjungan Nusron Wahid ke posko-posko bencana di Sumatera Barat mungkin tampak seperti rutinitas pejabat dalam masa tanggap darurat. Namun jika diperhatikan lebih saksama, peristiwa ini memotret dua sisi wajah penanggulangan bencana di Indonesia: solidaritas masyarakat yang deras dan sistem negara yang masih rapuh.
![]() |
| Nusron datang membawa sembako, selimut, alat kebersihan hingga tabung gas |
MUI, sebuah lembaga keagamaan, kembali menjadi poros distribusi bantuan. Nusron datang membawa sembako, selimut, alat kebersihan hingga tabung gas—bantuan nyata yang memang dibutuhkan. Donasi dari Pertamina, BRI, Asian Agri, hingga para donatur anonim mengalir melalui jalur non-pemerintah, seolah mempertegas bahwa ketika negara tersendat, masyarakat sipil sigap mengambil alih.
Namun di balik kegiatan seremonial itu, Nusron mengungkapkan fakta yang jauh lebih gawat: obat-obatan minim, vitamin kurang, dan bahkan jembatan—satu-satunya jalur distribusi bantuan—hilang diterjang banjir. Situasinya begitu ironis: posko yang seharusnya menjadi titik aman justru terisolasi. Sampai-sampai MUI harus mencari jembatan tambang sepanjang lebih dari 50 meter agar 100 pengungsi di seberang sungai tetap dapat makan.
Jika jembatan saja tidak siap, bagaimana dengan skema mitigasi? Jika kebutuhan dasar saja kedodoran, bagaimana dengan rencana jangka panjang?
Nusron mengisyaratkan betapa rumitnya relokasi korban bencana. Bukan sekadar memindahkan manusia dari satu titik ke titik lain; ini menyangkut ikatan batin, sejarah hidup, dan identitas. Namun pernyataan itu justru menegaskan apa yang selama ini menjadi masalah klasik: kita menunggu bencana datang, baru panik mencari solusi. Relokasi baru dipikirkan setelah banjir menghantam, padahal wilayah rawan sudah dikenal sejak lama.
Di tengah semua itu, kolaborasi lintas ormas Islam—Muhammadiyah, NU, jaringan surau, dan lainnya—menjadi satu-satunya kekuatan yang benar-benar bergerak cepat. MUI membuka posko tidak hanya di Sumbar, tetapi juga Sumut dan Aceh, menegaskan bahwa solidaritas masyarakat kerap bekerja lebih lincah dibanding mekanisme negara yang bertingkat-tingkat.
Inilah realitas pahit penanggulangan bencana kita: aksi cepat datang dari empati, bukan dari sistem.
Kunjungan Nusron seharusnya menjadi alarm keras, bukan sekadar headline. Bencana di Sumatera Barat menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar sumbangan: kita butuh transformasi cara kerja, dari reaktif menjadi preventif, dari seremonial menjadi struktural, dari kebergantungan kepada donatur menjadi kemandirian daerah.
Selama sistem masih menunggu relawan datang sebelum bertindak, solidaritas akan terus menutup celah yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Pada titik ini, pertanyaan terbesarnya adalah: berapa banyak bencana lagi yang harus menjadi guru, sebelum kebijakan benar-benar belajar? (Muhammadiyah.or.id/BS)*

0 Komentar