![]() |
Aceh setelah dilanda tsunami pada 26 Desember 2004.(kemenkeu.go.id) |
JAKARTA, kiprahkita.com - Belakangan ini, sebuah unggahan di media sosial menjadi viral, setelah menyebutkan Sumatra akan dilanda gempa yang berpotensi tsunami pada 2024.
Unggahan tersebut mengklaim, informasi ini bersumber dari Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Rahmat Triyono.
Namun, klaim tersebut ternyata keliru. Menurut Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG (yang saat ini menjabat) Dr. Daryono, unggahan yang menyatakan, gempa di Pulau Sumatra akan menimbulkan tsunami pada tahun 2024 adalah tidak sepenuhnya benar.
Daryono menjelaskan, informasi yang tersebar di media sosial tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
"Sumber gempa sesar Sumatra di darat tidak ada hubungannya dengan tsunami yang dikatakan akan terjadi pada tahun 2024," ungkap Daryono, dikutip dari laman tribratanews.polri.go.id, diakses Senin (6/5).
Hal ini sekaligus menegaskan, ujarnya, prediksi mengenai gempa bumi dan tsunami bukanlah informasi yang dapat diprediksi secara pasti.
BMKG meminta masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang belum terkonfirmasi. Lembaga tersebut mengingatkan agar publik tetap tenang, dan selalu mengikuti informasi resmi dari BMKG terkait potensi bencana alam di Indonesia.
Mereka juga menekankan pentingnya langkah mitigasi dan kesiapsiagaan untuk menghadapi potensi bencana alam.
Kabar yang tidak akurat seperti ini dapat menimbulkan kepanikan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk memverifikasi informasi dari sumber yang terpercaya dan tidak menyebarkan berita tanpa dasar yang jelas.
Sebagai langkah antisipasi, masyarakat disarankan untuk selalu mengikuti perkembangan informasi dari BMKG melalui kanal resmi dan menjaga kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan gempa bumi atau tsunami.
POTENSI SESAR SEMANGKO
Adalah benar, ada dua potensi bencana yang mengintai masyarakat di Sumatera, terutama Provinsi Sumatera Barat: Zona Megathrust di sepanjang pantai barat, dan Patahan Semangko yang membelah daratan Sumatera.
Potensi ancaman tsunami dari Megathrust dan Patahan Semangko di Sumbar, memang harus segera disikapi dengan bijak oleh pemerintah daerah, jika tidak ingin korban banyak yang berjatuhan.
Mengutip informasi dari wikipedia.org diketahui, Sesar Besar Sumatera (bahasa Inggris: Great Sumatran Fault) atau Patahan Semangko adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung.
Patahan inilah membentuk Pegunungan Bukit Barisan, suatu rangkaian dataran tinggi di sisi barat pulau ini. Patahan Semangko berusia relatif muda dan paling mudah terlihat di daerah Ngarai Sianok dan Lembah Anai di dekat Kota Bukittinggi.
Sumatera juga mempunyai sesar strike-slip yang besar, yang biasa disebut Sesar Sumatera besar (Great sumatran fault), yang menggerakkan sepanjang pulau.
Zona sesar ini mengakomodir sebagian besar gerakan strike-slip yang berasosiasi dengan konvergen oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.
Sesar tersebut berakhir di utara, tepat di bawah Kota Banda Aceh, yang pernah porak-poranda pada gempa bumi Samudra Hindia pada tahun 2004 lalu.
Semenjak gempa tersebut, tekanan pada Sesar Sumatra meningkat secara signifikan, terutama di wilayah utara. Patahan ini merupakan patahan geser, seperti patahan San Andreas di California.
Patahan Semangko terletak di antara Zona Semangko patahan Lampung. Bagian selatan dari blok Semangko terbagi menjadi bentang alam menjadi seperti pegunungan Semangko, Depresi Ulehbeluh dan Walima, Horst Ratai dan Depresi Teluk Belitung.
Terbentuknya Patahan Semangko bermula sejak jutaan tahun lampau saat Lempeng (Samudra) Hindia-Australia, menabrak secara menyerong bagian barat Sumatera yang menjadi bagian dari Lempeng (Benua) Eurasia. Tabrakan menyerong ini memicu munculnya dua komponen gaya.
Komponen pertama bersifat tegak lurus, menyeret ujung Lempeng Hindia masuk ke bawah Lempeng Sumatera. Batas kedua lempeng ini sampai kedalaman 40 kilometer, umumnya mempunyai sifat regas dan di beberapa tempat terekat erat.
Suatu saat, tekanan yang terhimpun tidak sanggup lagi ditahan, sehingga menghasilkan gempa bumi yang berpusat di sekitar zona penunjaman atau zona subduksi. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi sampai suatu saat nanti kembali terjadi gempa bumi besar.
Gempa di zona inilah yang sering memicu terjadinya tsunami, sebagaimana terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004.
Komponen kedua berupa gaya horizontal yang sejajar arah palung dan menyeret bagian barat pulau ini ke arah barat laut. Gaya inilah yang menciptakan retakan memanjang sejajar batas lempeng, yang kemudian dikenal sebagai Patahan Besar Sumatra.
Geolog Katili dalam The Great Sumatran Fault (1967) menyebutkan, retakan ini terbentuk pada periode Miosen Tengah atau sekitar 13 juta tahun lalu.
Lempeng Bumi di bagian barat Patahan Sumatera ini, senantiasa bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan 10 milimeter per tahun sampai 30 mm per tahun relatif terhadap bagian di timurnya.
Sebagaimana di zona subduksi, bidang Patahan Sumatera ini sampai kedalaman 10 - 20 km terkunci erat, sehingga terjadi akumulasi tekanan. Suatu saat, tekanan yang terkumpul sudah demikian besar, sehingga bidang kontak di zona patahan tidak kuat lagi menahan dan kemudian pecah.
Batuan di kanan-kirinya melenting tiba-tiba dengan kuat, sehingga terjadilah gempa bumi besar. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci lagi dan mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi gempa bumi besar lagi.
Pusat gempa di Patahan Sumatera, pada umumnya dangkal dan dekat dengan permukiman. Dampak energi yang dilepas, dirasakan sangat keras dan biasanya sangat merusak.
Apalagi gempa bumi di zona patahan selalu disertai gerakan horizontal yang menyebabkan retaknya tanah yang akan merobohkan bangunan di atasnya. Topografi di sepanjang zona patahan yang dikepung Bukit Barisan juga bisa memicu tanah longsor.
Adapun lapisan tanah yang dilapisi abu vulkanik semakin memperkuat efek guncangan gempa. Beberapa tempat di Patahan Semangko merupakan pula zona lemah yang ditembus magma dari dalam bumi.
Getaran gempa bumi bisa menyebabkan air permukaan bersentuhan dengan magma. Karena itu, pada saat gempa bumi, kerap terjadi letupan uap (letupan freatik) yang dapat diikuti munculnya gas beracun, sebagaimana terjadi di Suoh, Lampung, pada 1933.(MUS; dari berbagai sumber)
0 Komentar