Sepuluh Tahun Lalu Saya ke Sitapuang Gadang

 

Warga dijepret di Tugu Sitapuang Gadang sepuluh tahun lalu.(dok)

OPINI, kiprahkita.com - Sepuluh tahun lalu, saya sudah ke Sitapuang Gadang. Waktu itu, jalan ke sana masih aspal tipis. Kiri kanan jalan masih dipenuhi semak belukar.

Jaringan teslekomunikasi seluler belum ada di situ. Masyarakatnya juga masih sangat bersahaja. Ramah dan mudah akrab.

Ada apa dengan Sitapuang Gadang? Kampung ini terletak di Nagari Lawang Mandahiling, Kecamatan Salimpaung. Tercatat dalam sejarah, pernah memiliki peran besar dalam mempertahankan keberadaan Kabupaten Tanah Datar.

Sitapuang Gadang. Nama itu mungkin tidak ada dalam peta Kabupaten Tanah Datar, apalagi Provinsi Sumatra Barat. 

Posisinya tidak terlalu jauh dari jalan kabupaten yang menghubungkan Sumaniak dengan Tabek Patah. Hanya sekitar tiga kilometer. Tapi, kondisi medan jalan yang penuh tanjakan dan turunan tajam, jarak sependek itu terasa demikian jauh.

Dahulu untuk sampai ke sini harus berjalan kaki. Jalan setapak. Beberapa tahun lalu, ada kegiatan Manunggal ABRI Masuk Desa, jalan tanah pun berhasil dibuat. 

Pada pertengahan 2013 silam, jalan ini diaspal kasar. Tak apalah, kendaraan roda empat akhirnya sampai juga ke kampung ini. Kini kondisinya tidak tahu persis, karena penulis ke sana sudah sepuluh tahun lalu.

Masyarakat setempat menyebut kampung mereka dengan dusun tuo Sitapuang Gadang. Disebut sebagai dusun tuo, karena dari situlah asal mula warga yang kini bermukim di Mandailing.

Pada masa lalu, keterisolasian, sulitnya hidup, dan beratnya medan yang harus dilalui, membuat banyak warga tak betah tinggal di dusun tuo ini. 

Mereka membeli tanah perumahan di luar –menyebut kampung Mandailing yang dilewati jalan raya— dan pindah ke sana. 

Yang muda-muda cenderung untuk pergi merantau. Setidak-tidaknya, mereka pindah ke kampung terdekat dari jalan raya. Sitapuang Gadang cukup lama terlupakan.

Berbicara soal potensi alam, kalau areal persawahan cukup luas di Sitapuang Gadang. Lahan yang umumnya terdiri dari perbukitan, juga terbilang subur. Artinya, tanaman perkebunan dan hortikultura bisa membuahkan hasil yang amat menggembirakan.

Bupati pertama, Sidi Bakaruddin yang kemudian dikenal sebagai bupati militer, pernah berkantor dan memusatkan aktifitasnya di sini. Dari kampung inilah pemerintahan Tanah Datar dikendalikan lebih dari delapan bulan pada tahun 1948.

Kala itu, Republik Indonesia baru seumur jagung. Agresi yang dilancarkan penjajah Belanda untuk merebut kembali daerah jajahannya, membuat Pemkab Tanah Datar tidak bisa berjalan normal. Pengungsian menjadi pilihan terbaik. Sitapuang Gadang pun jadi pilihan.

“Bupati Bakaruddin itu berkantor dan tinggal di sini. Sebuah surau yang kini dikenal dengan Mushalla Nurul Huda, merupakan tempat rapat-rapat dilakukan,” terang Khaidir dan Anwar, dua warga yang kini telah berusia di atas 70 saat diwawancara beberapa tahun silam, dan menjadi saksi dalam peristiwa sejarah itu,

Apa yang diutarakan keduanya, diamini pula warga lainnya; Syamsir Alam dan Syafril. Fakta Sitapuang Gadang memiliki peranan besar dalam mempertahankan pemerintahan Tanah Datar, tak bisa dibantah begitu saja.

Kendati bukti fisik rumah yang ditempati Bupati Bakaruddin tak bisa ditemukan lagi, namun surau dan beberapa rumah yang pernah digunakan, kini masih berdiri dengan baik. Bahkan di halaman surau yang dijadikan tempat rapat-rapat bupati bersama jajaran, sudah berdiri sebuah monumen sederhana.

 Monumen itu dibangun saat kegiatan Manunggal ABRI Masuk Desa beberapa tahun silam. 

Komplek pusat kegiatan Pemkab Tanah Datar dalam pengungsian itu, kini disebut warga sebagai lakuak. Karena itu merupakan fakta sejarah, warga berharap rumah-rumah yang kini sudah tak ada lagi tapi pernah digunakan jajaran pemerintahan, bisa dibangun kembali.(Musriadi Musanif)

Posting Komentar

0 Komentar