Memulai dari Mana Memperbaiki Bangsa?

Oleh: Kasman Sulaiman Katik

(Pengurus Persyarikatan Muhammadiyah Kota Sungai Penuh)

KERINCI, kiprahkita.com Pertanyaan itu terdengar sederhana, bahkan nyaris putus asa. Muncul dalam diskusi lepas di warung kopi: “Kalau keadaan bangsa sudah carut-marut seperti ini, sebenarnya dari mana kita harus mulai memperbaikinya?”

Pertanyaan itu tentu mewakili kegelisahan banyak warga negara yang setiap hari disuguhi kabar buruk tentang demokrasi dan kepemimpinan hari ini. Tentu terepas dari benar tidaknya kabar tersebut.

Kasman Sulaiman Katik

Hampir setiap pekan, publik membaca berita operasi tangkap tangan KPK terhadap kepala daerah, pejabat, atau elite politik. Pilkada dan pemilu yang seharusnya menjadi sarana menghadirkan pemimpin amanah justru kerap menghasilkan figur yang terseret korupsi.

Dengan demikian demokrasi terasa mahal, bising, dan melelahkan, tetapi miskin teladan. Tidak mengherankan jika muncul kesimpulan sinis bahwa demokrasi Indonesia sedang runtuh.

Namun, menyederhanakan persoalan dengan menyalahkan demokrasi semata adalah kekeliruan. Demokrasi memang bermasalah, tetapi yang lebih parah adalah rusaknya etika kekuasaan. Korupsi yang merajalela bukan semata-mata lahir dari sistem pemilu, melainkan dari cara pandang terhadap kekuasaan itu sendiri.

Ketika jabatan dipahami sebagai investasi politik yang harus kembali modal, maka korupsi pasca-terpilih hampir tak terelakkan.

Lalu, dari mana seharusnya perbaikan dimulai?

Jawaban paling mendasar adalah: dari manusia dan nilai yang menggerakkan kekuasaan. Sistem, sebaik apa pun, akan lumpuh jika dijalankan oleh aktor yang kehilangan integritas. Demokrasi tidak hidup hanya dari aturan, tetapi dari karakter pelaku dan kesadaran moral warga negaranya.

Pertama, perbaikan harus dimulai dari pembenahan etika politik dan kepemimpinan. Politik uang, mahar pencalonan, dan transaksi jabatan telah menjadi penyakit kronis. Selama praktik ini dianggap lumrah dan ditoleransi, pemilu hanya akan menjadi ritual prosedural yang mahal. Pendidikan politik tidak cukup mengajarkan cara memilih, tetapi harus menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan rasa malu terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua, partai politik harus direformasi secara serius. Partai adalah pintu utama lahirnya pemimpin publik. Ketika proses kaderisasi diabaikan dan pencalonan ditentukan oleh modal finansial atau kedekatan elite, maka pemilu kehilangan makna substantifnya. Demokrasi tidak mungkin sehat jika partai politik gagal menjadi sekolah kepemimpinan yang berintegritas.

Ketiga, penegakan hukum harus konsisten dan berwibawa. Maraknya OTT KPK menunjukkan keberanian penindakan, tetapi sekaligus mengungkap lemahnya pencegahan. Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada sensasi penangkapan, melainkan harus diikuti pembenahan sistem, hukuman yang adil, dan efek jera yang nyata. Hukum harus menjadi panglima, bukan alat tawar-menawar politik.

Keempat, masyarakat sipil tidak boleh menyerah pada kelelahan demokrasi. Demokrasi tanpa kontrol publik akan berubah menjadi oligarki. Sikap permisif terhadap politik uang, korupsi kecil, dan penyalahgunaan wewenang adalah pintu masuk kehancuran yang sering tidak disadari. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari warga yang kritis, konsisten, dan berani bersuara.

Dalam perspektif moral dan keagamaan, krisis kebangsaan tidak pernah lepas dari krisis nilai. Al-Qur’an mengingatkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. ar-Ra’d: 11).

Ayat itu bukan ajakan pasrah, melainkan penegasan tanggung jawab kolektif bahwa perubahan sistem harus berjalan seiring dengan perubahan mental dan etika.

Demokrasi Indonesia boleh jadi sedang sakit, tetapi belum mati. Ia masih menyediakan ruang koreksi, pergantian kepemimpinan secara damai, dan partisipasi rakyat. Yang dibutuhkan bukan meninggalkannya, melainkan memulihkan ruhnya. Demokrasi tanpa akhlak akan melahirkan kekuasaan yang rakus; sebaliknya, moral tanpa sistem yang adil akan mudah disingkirkan.

Maka, menjawab pertanyaan di warung kopi itu, perbaikan bangsa tidak dimulai dari mengganti sistem secara serampangan, melainkan dari mengembalikan politik pada nilai, kekuasaan pada amanah, dan demokrasi.

Tujuannya: keadilan dan kesejahteraan rakyat. Perubahan memang tidak instan, tetapi bangsa yang masih mau berbenah adalah bangsa yang belum kehilangan harapan. (*)

Posting Komentar

0 Komentar