Muhammadiyah Pernah Terbelah Empat

 


BANTUL, kiprahkita.com - Persyarikatan Muhammadiyah pernah terbelah empat. Masing-masing wilayah beroperasi secara independen, tanpa adanya hubungan struktural dan instruksional antara satu dengan lainnya.

Perpecahan ini terjadi selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, ketika Muhammadiyah merasakan dampak signifikan dari situasi politik dan militer yang berkembang. 

Meskipun masih bisa bergerak, aktivitas Muhammadiyah tetap terbatas, dan organisasi ini sempat dibagi menjadi empat wilayah kepemimpinan, sesuai dengan pembagian daerah operasional militer yang ditetapkan oleh Jepang. 

Pembagian ini meliputi Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang kemudian disesuaikan oleh Muhammadiyah, sebagaimana diputuskan dalam Sidang Tanwir 1941 di Surabaya.

"Dalam Sidang Tanwir di Surabaya pada 1941, Muhammadiyah memutuskan untuk memecah wilayahnya menjadi empat bagian. Jika kita perhatikan, struktur dan kewenangan masing-masing wilayah ini berbeda dengan struktur Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah,” ungkap Sejarawan Muhammadiyah sekaligus anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Mu’arif, dalam Pengajian Kader di PRM Tamantirto Selatan, Bantul, Kamis malam (29/8).

Pasca Sidang Tanwir 1941, ujarnyam Muhammadiyah membentuk konsep dairatul kubra, yang dapat diartikan sebagai lingkaran atau ikatan besar. 

Pada masa itu, dairatul kubra Muhammadiyah di Sumatra dipimpin oleh Buya AR. Sutan Mansur, di Kalimantan oleh Haji Hasan Corong, dan di Sulawesi oleh Haji Andi Sewang Daeng Muntu.

Namun, hubungan antara wilayah Muhammadiyah yang terpisah ini berbeda dengan jaringan dalam satu struktur organisasi yang utuh. 

Hubungan antara Muhammadiyah di Jawa dan Sumatra, misalnya, tidak memiliki hubungan instruksional yang jelas.

Mu’arif menjelaskan, pada saat itu, Muhammadiyah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi tidak berfungsi sebagai konsul atau perwakilan Muhammadiyah, karena adanya kebijakan daerah operasional militer yang diberlakukan oleh Jepang. Meskipun demikian, mereka tetap terikat dalam satu sistem yang disebut dairatul kubra.

"Struktur dairatul kubra ini berbeda dengan Hoofdbestuur Muhammadiyah, yang pada struktur pusatnya ada konsul-konsul yang membawahi wilayah-wilayah tertentu,” tambah Mu’arif.

Meskipun demikian, dairatul kubra ini tetap memiliki tanggung jawab untuk mengelola konsul-konsul Muhammadiyah di masing-masing wilayah. 

Akibat dari kebijakan ini, Kongres Muhammadiyah pada tahun 1944 dan 1946 hanya dihadiri oleh cabang dan ranting yang berada di Jawa dan Madura.

Kongres yang diselenggarakan pada tahun 1944 dan 1946 ini disebut sebagai Congres Dharurot, atau Kongres Darurat, yang diadakan untuk cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa dan diselenggarakan oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah.

Dalam konsep dairatul kubra, Hoofdbestuur Muhammadiyah hanya membawahi wilayah Jawa dan Madura, dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan instruksi kepada dairatul kubra Muhammadiyah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Meskipun terpaksa berpisah karena keadaan, para ketua dairatul kubra Muhammadiyah di masing-masing wilayah tetap memiliki semangat, visi, dan misi yang sama. 

Akhirnya, pada Muktamar 1950 di Yogyakarta, semua ketua wilayah ini dipertemukan kembali. dan Muhammadiyah bersatu setelah sebelumnya terpecah akibat kebijakan Jepang.(muhammadiyah.or.id)

Posting Komentar

0 Komentar