Cerpen Politik: Kursi yang Tak Pernah Dimenangkan
JAKARTA, kiprahkita.com –Namaku Arya. Dulu, di masa muda, aku pernah menjadi suara lantang di jalanan. Membawa spanduk protes, menulis artikel kritik di media kampus, menggelegarkan orasi di depan gedung-gedung pemerintahan. Semua orang berkata, aku adalah "suara rakyat".
![]() |
Orasi |
Hari pelantikanku tiba, aku bersumpah dalam hati: 'Aku tidak akan jadi politisi biasa. Aku akan menjadi perubahan yang kumimpikan.'
Tapi semua berubah ketika aku duduk di kursi itu.
Berhadapan Restu Fraksi
Aku pikir, begitu menjadi anggota dewan, aku bisa langsung mengusulkan suara rakyat. Salah. Ternyata seperti di birokrasi lain, setiap usul harus melewati persetujuan fraksi. Aku membawa draf Perlindungan Petani, catat, penuh semangat. Namun jawaban kuterima,"Nanti kita bicarakan."
Ketua Fraksi hanya tersenyum tipis. "Nanti kita lihat," katanya.
Bulan berlalu. Tidak ada kabar. Aku datang lagi, membawa data, membawa suara rakyat dari desa-desa. Tapi jawabannya sama: "Belum prioritas saat ini."
Aku mulai mengerti. Tanpa restu mereka, aku hanyalah suara di ruang kosong. Duhhh...
Badan Legislasi
Akhirnya, dengan lobi kecil dan rayuan panjang, usulku dibawa ke Badan Legislasi. Tapi di sana, drafku bersaing dengan ratusan naskah lain—banyak di antaranya bertuliskan kepentingan korporasi besar.
Aku menyaksikan usul-usul aneh yang lebih cepat melaju: draf tentang kemudahan investasi, draf tentang perlindungan aset asing. Draf-ku? "Nanti dibahas lagi." He he he.
Prolegnas
Aku belajar istilah baru: 'Prolegnas'—Program Legislasi Nasional. Jika draf tidak masuk ke daftar ini, ia mati sebelum dilahirkan.
Aku bermain lobi lagi. Aku kirim surat. Aku bicara di forum-forum. Tapi draf-ku tetap tidak muncul di daftar resmi. Seperti tanaman yang tak sempat bertunas, ia gugur di awal musim.
Tahap Pembahasan Teknis
Di suatu malam, aku mendengar ada kesempatan memperjuangkan pasal kecil di Panitia Kerja. Aku hadir. Aku berdebat. Tapi ruangan itu bukan tempat ide bersaing, melainkan tempat barter kepentingan.
"Kalau kamu dukung draf kami, kami dukung draf kamu," bisik seorang kolega.
Aku diam. Ini bukan tentang rakyat lagi. Ini tentang transaksi.
Rapat Paripurna
Akhirnya aku berdiri di mimbar paripurna, membawa pidato yang kususun dengan darah dan air mata perjuangan.
Aku bicara. Aku meneriakkan kegelisahan petani, nelayan, buruh. Tapi kulihat mata-mata di depanku kosong, beberapa mengantuk, sebagian sibuk dengan ponsel.
Voting berlangsung cepat. Seperti sudah diatur. Seperti pertunjukan teater yang naskahnya sudah ditulis.
Aku kalah. Bukan karena ideku salah. Tapi karena aku tidak cukup kuat.
Tahap Rakyat Dilupakan
Di luar gedung, rakyat masih berdemonstrasi. Di dalam, kami sibuk membicarakan paket-paket undang-undang baru. Rakyat? Mereka hanya disebut dalam pidato, tapi tak pernah benar-benar diundang masuk.
Dokumen-dokumen sulit diakses. Proses-proses penuh istilah hukum yang asing bagi rakyat kecil. Aku merasa pengkhianatan itu bukan hanya pada mereka, tapi pada diriku sendiri.
Tahap Tanda Tangan Presiden
Suatu malam, aku mendapatkan kabar: satu draf yang aku dukung lolos paripurna. Aku hampir menangis.Tapi euforia itu hilang secepat datang.
Draf ditolak ditandatangani. Draf itu mengendap, tanpa aturan turunan, tanpa anggaran, tanpa pelaksanaan.
Seperti naskah usang yang dikunci di dalam lemari, dilupakan oleh negara yang pernah kujanjikan untuk diubah.
Refleksi Hatiku
Aku duduk di ruang kerjaku, memandang foto-foto lama: saat aku berdiri di atas mobil komando, saat aku berteriak di bawah terik matahari.
"Apa aku kalah?" tanyaku dalam hati.
Mungkin. Tapi aku tahu satu hal: kekalahan ini bukan akhir. Ini adalah pengingat bahwa sistem memang dirancang agar suara rakyat sulit menang.
Aku tidak menyesal pernah bertarung. Yang kusesali hanyalah, aku dulu terlalu naif mengira kemenangan bisa diraih hanya dengan niat baik.
Aku masih percaya, hukum manusia penuh cela. Aku masih yakin, keadilan sejati hanya milik Allah. Tapi aku juga tahu: selama dunia masih berputar, perjuangan tidak boleh berhenti.
Bahkan jika aku hanya setitik suara yang tenggelam di lautan bisu, aku harus tetap bersuara.
Mungkin bukan aku yang akan memenangkan perang ini. Tapi suaraku—sekecil apa pun—akan jadi batu kecil di jalan perubahan.
Suatu hari nanti, ada yang memungut batu kecil itu, dan membangun dunia yang lebih adil bagi generasi selanjutnya. (Yus/M/*)
0 Komentar