Cerpen: Rencana Besar di Hari Rabu: Aku Menyesal Cabut, Ayah!

Rencana Besar di Hari Rabu

PASAMAN, kiprahkita.com Aku bangun pagi-pagi dengan mata setengah lengket dan rambut acak-acakan kayak sapu ijuk abis dipake bersihin kebon. Jam di dinding belum nyampe tujuh, tapi suara ayam tetangga udah kayak alarm darurat. Hari itu bukan hari libur. Bukan juga hari istimewa. Tapi buat aku dan geng Sungai Kecil, itu hari besar: hari kami rencanain untuk… cabut. Soalnya nanti sore ada sekolah Arab.

Anak-anak ini Hebat Bahasa Arab 

Bukan cabut dari rumah, tentu aja. Kami masih bocah SD kelas dua, yang kalau ketinggalan botol minum aja bisa nangis kayak kehilangan uang lima ratus rupiah. Tapi rencana hari itu: cabut sekolah Arab. Demi satu tujuan sakral—main sore berburu buah-buahan.

Sungai itu bukan cuma tempat kami mandi dan lomba siapa yang bisa tahan napas paling lama di air. Itu markas. Tempat segala rencana gila lahir. Termasuk pagi itu.

Setelah nyeker lari-lari kecil ke sungai, aku ketemu Raya—pemilik suara cempreng dan ide paling absurd se-SD kami. Dia udah duluan nyemplung, mukanya basah tapi matanya bersinar penuh semangat revolusioner.

"Fix ya, kita cabut hari ini," katanya sambil menyipratin air ke arahku.

"Oke udah siap," jawabku sambil ganti baju di balik pohon jambu. Memakai seragam sekolah. Pagi ini kami sekolah SD dulu.

Kami berdua saja: aku dan Raya. Kami anak perempuan yang lebih jago manjat pohon daripada teman lain. Di bawah pohon pisang, kami nyusun strategi.

Waktu itu kami tentu gak tau apa itu resiko, gak mikir apa itu konsekuensi. Yang kami tau cuma satu hal: hari itu dunia milik kami. Semua dimulai dari satu pagi, di sungai kecil, dengan celana setengah basah dan mimpi besar buat ngerasain kebebasan.

37 Tahun Kemudian 

Cabut Pertama dan Terakhir

"Bunda! Adek gak ngerti Bahasa Arab ini!"

Begitu pekikan si kecil yang sedang duduk di kelas lima Madrasah Ibtidaiyah. Seketika pikiranku melayang ke kenangan di atas, membuka kotak kenangan dari masa lalu—saat aku masih belum seusianya. Aku juga pernah duduk di kelas lima SD, dan di waktu yang sama, sekolah di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).

Waktu itu, Ayah rutin mengantarku ke madrasah di dekat masjid Taqwa Muhammadiyah. Jaraknya tak jauh, mungkin cuma sepelemparan batu dari rumah kami. Kami menyebutnya "sekolah Arab", karena di sana kami hanya belajar dasar-dasar Bahasa Arab dan membaca Al-Qur’an sesuai Tajwid.

Ingatanku masih jelas. Saat itu, hampir 37 tahun lalu, aku berdiri di depan cermin kecil, mengikat rambut ekor kuda, membubuhkan bedak tipis, lalu mengenakan baju kurung dengan selendang segitiga di kepala. Seperti anak-anak perempuan pada umumnya, berusaha tampil rapi di hari sekolah. Saat itu belum ada jilbab.

Sayangnya, masa rajinku di madrasah hanya bertahan seminggu. Otakku waktu itu belum mampu mencerna kalimat-kalimat Arab yang rumit. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan Raya, teman sepermainanku. Kami sebaya, meski bersekolah di MDA yang berbeda. Aku di Taqwa Muhammadiyah, Raya di MDA Nahdhatul Ulama.

Lalu tibalah hari itu—hari pertama kami benar-benar nekad cabut dari madrasah. Saat musim buah datang, dan pohon-pohon langsat, rambutan, dan jeruk mulai menjatuhkan isi perutnya ke tanah.

Kami berdua diam-diam sepakat: tidak masuk madrasah. Langkah kaki kecil kami menyusuri jalan menuju kebun buah, sambil berceloteh riang. Jarak 1 kilometer dari MDA kami.

Begitu sampai di bawah pohon langsat, kami bersorak senang. Buah-buah kuning kecil berserakan di tanah. Kami makan sepuasnya, tak peduli rasa masam yang mengigit lidah. Kami bahkan jadikan baju kami sebagai keranjang darurat, menampung sebanyak mungkin.

Setelah puas, kami lanjut menuju kebun rambutan. Sekitar setengah kilometer lagi. Langsat sudah habis dikunyah sepanjang jalan. Raya bersorak kegirangan saat menemukan satu buah rambutan, memamerkannya padaku.

"Aku belum nemu satupun," gerutuku. " Aku cemberut karena merasa kalah hari ini. "Ayo kita cari jeruk ke kebun jeruk aja!"

Langkah kami lanjut lagi, melintasi tiga kampung, melintasi sawah dan sungai. Kami sempat mampir minum di sumur dangkal di pinggir aliran air sungai yang mulai mengering karena batu-batunya sudah diambil truk bangunan.

Setelah menyeberang, kebun jeruk itu akhirnya terlihat. Pohon-pohonnya rimbun, daunnya hijau, dan sarat buah. Kami terpukau. Ingin rasanya langsung memetik satu, dua, tiga. Tapi tak ada satu pun buah jatuh di bawahnya. Maka Raya pun, iseng, mencoba menyentuh satu buah jeruk yang menggantung rendah.

Tiba-tiba, terdengar suara keras di samping telingaku:

"Hei! Kalian nyolong, ya?"

Deg! Jantungku berhenti sepersekian detik. Untung aku tidak ada riwayat sakit jantung. Seorang pria dewasa, pemilik kebun, muncul entah dari mana. Wajahnya tegas dan sorot matanya menusuk. Kulihat Raya langsung pucat, menangis, dan aku pun ikut tersedu. Laki-laki itu tanpa banyak bicara menyeret kami berdua. Tangannya yang besar kasar.

Beliau mengeluarkan tali rafia dari kantongnya dan… mengikat tangan kami berdua.

Kami terus diseret ke jalan setapak, lalu diikat di bawah pohon petai cina dekat sawah ayahkku. Seketika aku menyesal manakala teringat ayah. Terbayang wajah marahnya.

“Kecil-kecil udah maling! Di sini aja sampai orang tua kalian datang!” Kami berdua ditinggal dalam kondisi terikat.

Kami berdua hanya bisa menangis. Rasa malu dan takut bercampur jadi satu. Tak lama kemudian, aku melihat sosok pemilik kebun jeruk dan seseorang yang familiar dari kejauhan—Ayah. Ia menuntun sepedanya pelan ke arah kebun. Rasanya seluruh tubuhku melemas. Tak bisa kuukur seberapa besar rasa bersalah dan takutku saat itu.

Ayah sempat berbicara dengan pemilik kebun. Mereka tampak saling mengenal. Setelah beberapa menit, Ayah menghampiri kami. Tanpa berkata apa-apa, ia membuka tali rafia yang melilit tangan kami. Kami digiring pulang tanpa sepatah kata pun. Diamnya Ayah lebih menakutkan dari teriakan marah mana pun. Serasa sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Sepanjang perjalanan pulang, hanya bunyi rantai sepeda yang terdengar. Aku menunduk sepanjang jalan, menahan tangis dan rasa sesal yang menggunung.

Hari ini, ketika anakku mengeluh soal Bahasa Arab yang sulit, aku hanya bisa menatap matanya dan tersenyum getir.

"Nak, Ibumu dulu juga pernah merasa itu sulit. Bahkan lebih dari itu, pernah cabut sekolah Arab demi buah jeruk... dan diikat di bawah pohon."

Les Bahasa Arab demi Si Dedek 

Hari ini, setelah puluhan tahun sejak hari itu—hari di mana aku dan Raya diikat di bawah pohon petai cina karena mencari jeruk saat cabut sekolah Arab—aku duduk kembali di samping anakku, menatap buku Bahasa Arab di tangannya yang ia keluhkan sulit.

Rasanya seperti dipertemukan kembali dengan versi kecil diriku yang dulu: bingung, enggan, dan ingin lari. Tapi kini aku tak ingin lagi lari. Aku ingin menebus semua cabut itu, walau hanya lewat lembar demi lembar buku bahasa yang dulu aku tinggalkan.

Aku mulai membaca ulang, belajar dari nol, bahkan kadang ikut les daring diam-diam saat anak-anak tidur. Aku bukan sekadar ingin bisa, aku ingin hadir—jadi ibu yang bisa menjelaskan, bukan cuma menyuruh belajar.

Dulu aku kabur dari pelajaran karena tak mengerti. Sekarang, aku belajar agar anakku tak perlu merasa sendiri saat ia tak mengerti. Dulu aku pilih buah langsat daripada bait Arab. Kini aku petik ilmu, agar anakku punya akar yang lebih kuat dari yang kupunya.

Sungguh, walau jalan memutar ini panjang dan lambat, tapi tiap huruf yang kupahami hari ini terasa seperti langkah kecil menuju maaf—untuk Ayah, untuk madrasah, dan untuk diriku yang dulu sempat kabur dari hal paling berharga: ilmu.***

Posting Komentar

0 Komentar