Jejak Kearifan Lokal dalam Kepemimpinan Tanah Datar: Prosesi Adat “Datang Dianta Pai Balapeh”

“Datang Dianta Pai Balapeh”: Jejak Kearifan Lokal dalam Kepemimpinan Tanah Datar

TANAH DATAR, kiprahkita.com –Rabu pagi, 16 April 2025, Balai Adat Tantejo Gurhano di jantung kota Batusangkar kembali menjadi saksi sebuah peristiwa sakral dan sarat makna: Prosesi Adat Datang Dianta Pai Balapeh bagi Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar. Agenda ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah wujud penghormatan terhadap kearifan lokal Minangkabau yang tetap hidup dan bermakna dalam tata pemerintahan modern.

Prosesi ini merupakan bentuk penghantaran secara adat terhadap kepala daerah—Bupati dan Wakil Bupati—dalam memulai atau mengakhiri masa baktinya. Bila “datang dianta” merujuk pada prosesi penyambutan yang penuh penghormatan ketika pemimpin baru akan memulai tugasnya, maka “pai balapeh” adalah simbol pelepasan yang dihiasi doa restu dan harapan, ketika masa jabatan hampir usai atau ketika terjadi rotasi kepemimpinan.

Sejarah dan Nilai Adat dalam Prosesi

Tradisi ini berakar kuat dalam adat Minangkabau yang menjunjung tinggi prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Dalam struktur sosial yang menganut sistem nagari dan kepemimpinan kolektif, pemimpin tidak semata-mata duduk karena kekuasaan, tetapi karena amanah dan restu masyarakat.

Balai Adat Tantejo Gurhano sendiri bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah pusat pengambilan keputusan adat dan tempat berlangsungnya berbagai ritual penting yang mengikat hubungan antara pemimpin dan masyarakat. Nama Tantejo Gurhano bahkan merujuk pada seorang tokoh berpengaruh dalam sejarah Tanah Datar yang dikenal bijaksana dan teguh dalam menegakkan hukum adat.

Prosesi ini mempertemukan elemen-elemen utama dalam tatanan sosial Minangkabau: ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang. Mereka semua hadir dalam satu ikatan, memperkuat legitimasi kepemimpinan yang bukan hanya administratif, tetapi juga spiritual dan kultural.

Simbolisme dan Harapan

Dalam prosesi ini, sering kali disampaikan pidato adat atau patah-patah kato dari para tokoh masyarakat. Simbol-simbol seperti siriah dalam carano, kain adat, hingga bunyi saluang dan gandang tasa, semua memiliki makna filosofis. Mereka menggambarkan harapan agar pemimpin mampu bersikap adil, bijak, serta menjaga kehormatan dan marwah daerah.

“Datang dianta” adalah bentuk penyambutan dengan harapan. Sedangkan “pai balapeh” adalah bentuk pelepasan dengan keikhlasan dan penghargaan. Kedua momen ini menjadi cermin bahwa kepemimpinan bukan sekadar kekuasaan, tetapi sebuah amanah yang lahir dan kembali ke pangkuan rakyat.

Menjaga Warisan, Menguatkan Identitas

Dalam era modern yang ditandai dengan globalisasi dan percepatan teknologi, pelestarian prosesi adat seperti ini menjadi sangat penting. Ia bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga mempertegas identitas lokal dalam bingkai kebangsaan. Tanah Datar, sebagai Luhak Nan Tuo, punya tanggung jawab moral untuk menjadi contoh pelestarian nilai adat dalam bingkai pemerintahan yang demokratis.

Dengan tetap menyelenggarakan prosesi seperti Datang Dianta Pai Balapeh, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar mengurus administrasi, tetapi juga menjaga ruh kebudayaan. Sebab, seperti kata pepatah Minang, adat jo limbago indak dapek dipisah jo batang tubuh masyarakatnyo.

Susunan Acara Prosesi Adat Datang Dianta Pai Balapeh

1. Penyambutan Tamu dan Tokoh Adat

   Para tamu undangan, termasuk tokoh adat, alim ulama, dan cadiak pandai, disambut dengan penuh hormat di Balai Adat.

2. Pembukaan Acara  

   Acara dibuka dengan pembacaan doa dan sambutan dari panitia pelaksana.

3. Prosesi Adat 

   Prosesi inti dilakukan dengan mengantar atau melepas Bupati dan Wakil Bupati, yang melibatkan penyerahan simbol-simbol adat dan penyampaian petatah-petitih oleh ninik mamak.

4. Sambutan Resmi 

   Sambutan dari Bupati dan Wakil Bupati, serta tokoh masyarakat lainnya.

5. Penampilan Seni Budaya  

   Pertunjukan seni tradisional seperti tari piring, saluang, atau randai untuk memeriahkan acara.

6. Penutupan dan Doa 

   Acara ditutup dengan doa bersama untuk keselamatan dan keberkahan.

Makanan Khas dalam Prosesi Adat

Dalam prosesi adat ini, disajikan berbagai makanan tradisional Minangkabau yang memiliki makna simbolis dan nilai budaya:

- Rendang 

  Hidangan daging sapi yang dimasak dengan rempah-rempah khas, melambangkan kesabaran dan ketekunan.

- Lamang Tapai 

  Beras ketan yang dimasak dalam bambu dan disajikan dengan tape ketan hitam, melambangkan kebersamaan dan keharmonisan.

- Lapek Bugih  

  Kue tradisional dari tepung ketan yang dibungkus daun pisang, sering disajikan dalam acara adat sebagai simbol rasa syukur.

- Pinyaram 

  Kue goreng berbentuk bulat dari tepung beras dan gula merah, melambangkan kebahagiaan dan keberkahan.

- Dadiah  

  Susu kerbau fermentasi yang disajikan dengan gula merah atau tape, mencerminkan kesederhanaan dan kearifan lokal.

- Nasi Kunyit  

  Nasi berwarna kuning yang melambangkan kemuliaan dan kehormatan, biasanya disajikan dalam acara syukuran.

Hidangan-hidangan ini tidak hanya sebagai pelengkap acara, tetapi juga sebagai bagian dari ritual yang memperkuat nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau. (Y/*)

Randang Baluik Ciri Khas Adat Tanah Datar



Posting Komentar

0 Komentar