Perolehan Harta Kita Sudah Sesuaikah dengan Semangat Ramadhan dan Redha Allah SWT?

Dr. Suhardin, S. Ag., M. Pd. (Dosen UIC Jakarta)

OPINI, kiprahkita.com Harta menjadi simbol dari status sosial seseorang. Seorang dipandang, dihormati, dihargai, diposisikan dan diberikan kedudukan, sering dilihat dari perolehan dan kepemilikannya terhadap harta benda. Penguasaan harta menjadi sesuatu hal yang sangat didambakan oleh individu dalam sebuah komunitas sosial. Dengan mengedepankan penguasaan terhadap harta terkadang orang abai dengan tata cara dan teknik perolehannya. Tujuan utama penguasaan, cara menyesuaikan, terkadang ada pameo yang miris, mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.

Pada zaman jahiliyah kehidupan masyarakat berlomba mencari harta benda, sehingga masing-masing suku berusaha memperkuat sukunya, untuk dapat bersaing dengan suku lain dalam penguasaan harta benda. Kelompok dagang berusaha memperbesar kabilahnya untuk dapat memperlancar perdagangan. Eksistensi individu dilihat dari penguasaan terhadap harta benda.

Individu yang tidak berharta, tergantung dengan individu yang memiliki harta, sehingga ketiadaan membuat individu tersandra menjadi budak individu yang berharta. Perbudakan menjadi sesuatu yang legal dalam masyarakat jahiliyah. Budak dapat diperjual belikan dan dipertukarkan oleh para pemilik modal, sehingga ada pasar budak.

Dalam dunia modern dewasa ini, orientasi terhadap harta tetapklah menjadi arus utama kehidupan manusia. Agama juga memberikan motivasi yang tinggi kepada segenap individu, komunitas, institusi, organisasi dan negara untuk berlomba mendapatkan harta, asset, modal dan uang. Ibadah tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan terhadap harta. Ibadah Shalat akan dapat dilakukan dengan khusu’ tatkala kita tengah punya uang. Zakat dapat ditunaikan jika seseorang memiliki kadar keuangan sampai pada nisab yang telah digariskan secara syar’i. Haji dan umrah akan dapat dilaksanakan tatkala kita punya uang.

Penguasaan terhadap harta di dalam Islam dibarengi dengan tatacara perolehan yang digariskan oleh syariah:

Pertama, dilakukan dengan imbalan terhadap jasa, profesi yang dimiliki dan mendapatkan hak sesuai dengan profesi yang tengah dikerjakan. Pekerja mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukan, professional; dokter, insinyur, dosen, guru mendapatkan hak berdasarkan profesi yang ditekuninya. 

Kedua, perolehan dari harta pusaka yang diwariskan oleh orang tua, saudara, anak, sesui dengan garis turunan yang melekat secara biologis.

Ketiga, hibah yang diberikan oleh seseorang atas kebaikan dan kedekatan dengan personal dalam hubungan sosial.

Keempat, perdagangan yang dilakukan sehingga mendapatkan keuntungan yang berkesinambungan. 

Kelima, investasi dalam bentuk saham, kontrakan, sewaan, rental, yang menghasilkan pendapatan dari perjalanan usaha tersebut.

Semua jenis usaha yang disebutkan di atas berjalan berdasarkan proses, sehingga perlu ditekuni dengan kesabaran. Tetapi dalam kenyataan banyak diantara manusia yang memiliki mentalitas instatif, ingin menpadatkan hasil dengan proses cepat. Penguasaan kekayaan lebih cendrung mengabaikan perolehan yang halal dan benar, tetapi ingin cepat menguasai harta yang banyak dengan proses pendek, cepat dan instan.

Lahirlah berbagai macam perolehan harta:

Pertama ribawi, sistem bunga pada pinjaman bank konvensional, kartu kredit, atau pinjaman online. Islam mengharamkan riba karena menindas pihak yang lemah. (Al-Baqarah: 275–279).

Kedua Judi (Maisir), semua bentuk perjudian online, termasuk game online berhadiah uang, taruhan bola, kasino digital, dan aplikasi berbasis keberuntungan. Perjudian jelas dan terang merusak mental, akhlak, dan ekonomi, serta menghasilkan harta tanpa usaha nyata. (Al-Ma'idah: 90).

Ketiga, korupsi dan suap (riswah), menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri atau mempercepat urusan dengan cara menyogok. Merusak sistem sosial, menzalimi rakyat, dan mendatangkan murka Allah. “Pemberi dan penerima suap akan masuk neraka.” (HR. Thabrani).

Keempat, penipuan bisnis dan manipulasi keuangan, termasuk skema ponzi, investasi bodong, rekayasa laporan keuangan, dan memanipulasi harga. Penjual yang curang dalam menimbang atau menyembunyikan cacat produk juga termasuk. (Al-Muthaffifin: 1-3).

Kelima, perdagangan barang haram, narkoba, minuman keras, produk pornografi, babi, atau alat praktik sihir. Meski menghasilkan keuntungan besar, tetap haram menurut syariat.

Keenam, sumbangan atau iuran zalim, menarik uang dari masyarakat secara tidak adil atau tanpa transparansi penggunaan. Islam mengatur zakat, infak, waqaf, sadaqah, dan pungutan berdasarkan keadilan dan kepentingan umum, bukan untuk memperkaya golongan tertentu.

Ketujuh, eksploitasi melalui dunia digital, termasuk menjual data pribadi tanpa izin, konten eksploitasi tubuh, atau "flexing culture" yang memanipulasi orang agar konsumtif, menjual follower palsu, akun bodong, dan penipuan digital.

Kedelapan, pemerasan dan perdagangan manusia, termasuk menjual jasa dengan ancaman, eksploitasi anak, dan menjadikan orang sebagai komoditas (misalnya "open BO"). Islam sangat menjaga kehormatan dan harga diri manusia.

Kesembilan, transaksi curang di pasar modal/kripto, insider trading, manipulasi pasar, dan skema rug pull yang sering terjadi dalam dunia saham dan crypto. Harta yang diperoleh secara tidak adil dan mengorbankan pihak lain masuk kategori batil.

Ibadah puasa yang telah kita lakukan semenjak satu Ramadhan sampai dengan tiga puluh, sebulan penuh itu, yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul-Nya semenjak Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Muhammad SAW hendaknya membuat individu bisa menahan diri dari perolehan harta haram. Sebab puasa salah satu ibadah khusus yang diturunkan pada Nabi Muhammad, Allah menyuruh menyempurnakan puasa sebulan penuh, jika ada halangan dalam beberapa hari pada bulan Ramadhan tersebut diganti pada bulan yang lain sekaligus puasa sebagai benteng  hawa nafsu buruk. 

Puasa satu bulan diakhiri dengan membesarkan Allah SWT dengan takbir, tahmid dan tahlil semenjak dari belahan bumi yang berada di timur terus dalam putaran dua puluh empat jam dengan merasakan kebesaran, keagungan, kekuasaan Allah dan kesyukuran terhadap nikmat dan syariah yang telah ditetapkan Allah kepada manusia, sehingga membuat manusia selamat dalam menjalankan kehidupan. Namun, tetap ada perolehan harta yang tak sesuai semangat Ramadhan dan redha Allah SWT. 

Seharusnya setelah dalam bentuk kesempurnaan itu, kita melengkapi ibadah puasa dengan menjalin silaturahmi terhadap karib kerabat, hantai taulan, teman dan saudara yang lain, agar terjalin silaturahmi, kasih sayang dan saling menyapa, memperhatikan dan bertolong-tolongan dalam bingkai kemanusiaan dan kesemestaan.

Dengan demikian puasa jelas dan terang memberikan kecerahan terhadap spiritualisasi individual harusnya untuk tidak memakan hal-hal yang dilarang Allah SWT. Karena Allah SWT melarang makan, minum dan reproduksi semenjak dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan segala keihsanan, manusia beriman merasakan kawalan Allah dalam kehidupan dirinya, sehingga ia tidak melaksanakan perbuatan konsumtif dan reproduktif, karena Allah ada dalam kehidupan dirinya.

Atmosfir spiritualisasi inilah yang harus dibawa dalam bulan di luar Ramadhan sekarang, agar manusia yang beriman tidak terjebak dalam kehidupan menghalalkan segala  cara dalam perolehan harta benda seperti uraian di atas. Harta benda perlu dimiliki dan dikuasai tetapi dengan jalan yang diredhai Allah SWT. Bukan menghalalkan segala cara dalam perolehannya. (Suhardin/*)

 

 

 

 

          

Posting Komentar

0 Komentar