Berhentilah Mengemis: Saatnya Mengubah Mentalitas Pengemis
BUDAYA, kiprahkita.com –Dalam kehidupan sosial, kita dituntun untuk saling membantu satu sama lain. Namun, ada garis halus antara meminta bantuan dalam keadaan mendesak dan membangun kebiasaan bergantung kepada orang lain.
![]() |
Foto Tribunnews |
"Assalamualaikum, Wrwb. Bu. Lai sehat Ibu sekeluarga? Lai ado rasaki untuk awak agak saketek, Bu? Iko anak sakit atau saya...ibu saya..."
Begitu santun pesan itu. Bagi kita yang belum tahu kebiasaan si pengirim pesan akan melambung tersanjang ditanyai kabar seperti itu. Bulan berganti bulan, ternyata pesan itu berkelanjutan dengan keluhan-keluhan berbeda tentunya.
Mirisnya, setelah aku ceritakan di tempat kerja, semua teman mengaku dapat pesan sama. Bayangkan ada 80 orang ASN di tempatku kerja. 50.000 X 8= 800.000. Rp.800.000 sekali mengemis.
Begitupun pesan dari seseorang yang mengaku ingin meminjam uang dengan dalih anak sekolah, anak sakit, saya sakit, dan sebagainya. 100 kontak di HP-nya. Minjam 100 ribu sudah berapa juta bisa meraup uang lewat perpesanan ini.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ini bukan lagi tentang kebutuhan mendesak, melainkan tentang pola pikir yang salah: mental mengemis.
Mental mengemis adalah keadaan seseorang terbiasa menggantungkan kebutuhannya pada belas kasihan orang lain, tanpa rasa malu atau usaha berarti untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya. Ia bukan hanya meminta pada satu atau dua teman dekat di saat krisis, melainkan membangun kebiasaan sistematis: satu persatu, semua kontak disisir dan dimintai.
Awalnya, mungkin permintaan itu dibungkus dengan kata-kata manis. Lama-kelamaan, orang-orang di sekitarnya merasa dimanfaatkan. Rahasia akan terbongkar. Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Hubungan yang harusnya dilandasi saling menghargai berubah menjadi hubungan transaksional yang berat sebelah.
Kebiasaan ini menunjukkan beberapa hal yang perlu direnungkan:
Pertama, Hilangnya rasa harga diri: Ketika seseorang merasa tidak apa-apa terus-menerus bergantung pada orang lain. Ia perlahan kehilangan rasa bangga terhadap dirinya sendiri.
Kedua, Ketidakmampuan mengelola hidup: Selalu meminta tanpa berusaha mencari solusi lain menunjukkan kurangnya kemandirian dan kedewasaan dalam menghadapi masalah.
Ketiga, Mengganggu hubungan sosial: Permintaan terus-menerus membuat orang lain merasa tidak nyaman, bahkan perlahan menjauh dan memblokir nomor kontak karena meresahkan.
Seharusnya, ketika mengalami kesulitan, seseorang berusaha terlebih dahulu: bekerja apa saja, menghemat sekuat mungkin, menjual barang yang tak terpakai, atau mencari pinjaman resmi dengan tanggung jawab jelas. Meminta kepada teman atau keluarga adalah jalan terakhir, bukan jalan utama. Apalagi memanfaatkan mereka. Merekapun punya beban dan tanggung jawab yang harus mereka selesaikan.
Kita semua punya harga diri yang mesti dijaga. Hidup ini berat, memang, tapi justru dengan berjuang, kita membangun diri menjadi lebih kuat dan layak dihormati. Tidak ada yang salah dengan meminta bantuan di saat genting, tetapi ada yang salah ketika itu menjadi gaya hidup dan terus menerus.
Berhentilah mengemis. Bangkitlah. Belajarlah mengandalkan diri sendiri. Dunia ini tidak kejam; ia hanya menuntut kita untuk belajar menjadi lebih tangguh. Percayalah, rasa hormat yang kita bangun dari kemandirian jauh lebih berharga daripada belas kasihan yang kita dapatkan dari mengemis.
Solusi Menghadapi Teman/Saudara yang Suka Mengemis
Menghadapi teman seperti ini memang penuh dilema. Kita ingin tetap menjaga hubungan baik, tetapi juga harus menjaga diri dari dimanfaatkan.
Berikut beberapa solusi yang bisa diterapkan:
Tetapkan Batasan yang Tegas
Jangan ragu untuk mengatakan "tidak" dengan sopan namun tegas. Menolong sekali dua kali itu wajar, tetapi ketika menjadi kebiasaan, kamu perlu menetapkan batas jelas. Kamu bisa berkata, “Maaf, aku juga punya banyak kebutuhan yang harus aku urus.”
Jelaskan Kondisi Keuanganmu Secara Jujur
Tak perlu merasa bersalah. Katakan dengan jujur bahwa kamu sendiri sedang berjuang, seperti membayar utang 625 juta dengan cicilan besar setiap bulan. Kejujuran ini sekaligus menjadi isyarat bahwa kamu bukan tempat bergantung yang bebas dan tepat.
Jangan Memberi Uang, Tawarkan Solusi Nyata
Alih-alih memberi uang, kamu bisa menawarkan saran: pekerjaan kecil-kecilan, peluang usaha sederhana, atau bahkan menyarankan tempat pinjaman resmi. Ini menunjukkan bahwa kamu peduli, tetapi tidak mau dimanfaatkan.
Jaga Jarak Secara Elegan
Bila ia tetap bersikap sama setelah semua upaya baikmu, jangan ragu menjaga jarak. Fokuslah pada orang-orang yang saling menghargai hubungan, bukan sekadar mencari manfaat.
Latih Ketegasan Tanpa Merasa Bersalah
Ingat, menolak dimanfaatkan bukan berarti kamu egois. Itu bentuk menjaga harga dirimu sendiri. Belajarlah berkata “tidak” tanpa perlu panjang lebar menjelaskan, apalagi merasa bersalah.
Sanksi Bagi Peminta-Minta
Sanksi bagi para peminta-minta di akhirat, dalam ajaran Islam, disebutkan dalam beberapa hadist dan keterangan ulama. Secara umum, ada beberapa hal penting:
1. Jika meminta tanpa kebutuhan yang syar'i, maka ia akan mendapat celaan dan hukuman.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barang siapa meminta-minta kepada manusia tanpa ada kebutuhan, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan wajah yang tidak ada sepotong daging pun." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, wajahnya rusak, hina, dan memalukan di hadapan manusia dan Allah kelak di akhirat.
2. Meminta menjadi kebiasaan bisa menyebabkan dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain sampai pada hari kiamat ia datang dengan wajah tanpa daging." (HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 1040)
3. Namun, jika seseorang meminta karena benar-benar darurat (sangat miskin, musibah besar, atau kelaparan parah), maka tidak berdosa. Hadis yang membolehkan minta dalam tiga keadaan:
- Orang yang benar-benar fakir
- Orang yang terlilit utang berat
- Orang yang tertimpa musibah yang menghancurkan hartanya (HR. Muslim no. 1044).
Jadi, sanksinya di akhirat bagi peminta-minta yang tidak butuh sebenarnya sangat berat: kehinaan di hadapan Allah, datang dalam keadaan wajah tercabik, menunjukkan aib besar di hadapan seluruh makhluk.
Kewajiban Menafkahkan Harta: Prioritas kepada Orang Tua dan Saudara Kandung
Dalam perjalanan hidup, harta yang kita miliki bukan hanya ujian, tetapi juga amanah. Allah SWT melalui Al-Qur'an dengan jelas mengajarkan kepada kita bagaimana menggunakan harta dengan benar, termasuk kepada siapa kita harus memprioritaskan pemberian kita. Bukan kepada peminta-minta kita prioritas memberi.
Salah satu ayat yang berbicara tentang hal ini adalah Al-Baqarah ayat 215:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan.' Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya." (QS. Al-Baqarah: 215)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika seorang Muslim ingin menafkahkan hartanya, berinfaq, bersedeqah, dan memberi, prioritas utamanya adalah orang tua (Ibu Bapak), kaum kerabat (Saudara Kandung, Saudara Suami, Saudara Istri), terutama saudara kandung. Mengapa demikian? Karena keluarga adalah lingkaran kasih sayang yang pertama kali Allah bentuk untuk setiap manusia. Orang tua adalah sebab keberadaan kita di dunia. Saudara kandung adalah bagian dari darah daging kita, yang memiliki hak lebih kuat atas kebaikan kita dibandingkan orang lain.
Menafkahkan harta kepada orang tua bukan hanya bentuk bakti, tetapi juga wujud syukur atas segala jasa mereka. Sedangkan kepada saudara kandung, nafkah adalah ikatan yang mempererat persaudaraan, menghapus kecemburuan, dan menumbuhkan kasih sayang di antara anggota keluarga.
Dalam praktiknya, ketika kita memiliki rezeki lebih, hendaknya kita tidak melewati keluarga dekat dalam berderma. Jangan sampai kita sibuk bersedekah jauh-jauh, sementara orang tua atau saudara kita sendiri hidup dalam kekurangan. Kebaikan yang dimulai dari keluarga akan membawa keberkahan yang lebih luas. Bahkan, dalam hadis disebutkan:
"Sedekah kepada orang miskin berpahala satu, sedangkan kepada kerabat berpahala dua: pahala sedekah dan pahala menyambung silaturahmi." (HR. Tirmidzi)
Melalui Al-Baqarah ayat 215 ini, Allah menuntun kita untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam penggunaan harta. Bahwa menafkahkan bukan sekadar tindakan mulia, tetapi juga harus disertai dengan prioritas yang benar. Dimulai dari orang tua, berlanjut kepada saudara kandung, lalu meluas kepada anak yatim, orang miskin, dan musafir yang membutuhkan.
Akhirnya, kita semua harus memahami bahwa menafkahkan harta bukan hanya amal sosial, tetapi juga ibadah personal yang memperkuat hubungan kekeluargaan dan mempererat ikatan iman dalam kehidupan. Jadi tidak ada pengemis online dalam surat Al-Baqarah ayat 215. Semoga ke depannya, pengemis online berubah dan mampu pula bersedeqah. Semoga kita termasuk orang-orang yang menafkahkan harta di jalan yang diridhai Allah, dengan memprioritaskan mereka yang paling berhak.
Saatnya Mengubah Mentalitas Pengemis karena Meresahkan Masyarakat. Mari amalkan Al-Baqarah ayat 215. (Yus/M/*)
0 Komentar