Urgensi Revisi UU Statistik: Menyesuaikan Data dengan Zaman Digital
JAKARTA, kiprahkita.com –Di tengah era transformasi digital dan perkembangan kecerdasan buatan yang pesat, data telah menjadi “minyak baru” dunia. Kecepatan, ketepatan, dan integritas data menjadi fondasi dalam pengambilan kebijakan publik yang efektif. Di Indonesia, payung hukum utama yang mengatur penyelenggaraan statistik adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Namun, setelah lebih dari dua dekade, muncul kebutuhan mendesak untuk merevisi UU itu agar relevan dengan dinamika zaman digital saat ini.
![]() |
Revisi UU Statistik urgen |
Ini beberapa alasan mengapa Indonesia urgen merevisi UU Statistik tersebut:
1. Konteks Zaman Sudah Berubah
UU Statistik 1997 lahir di masa pengumpulan data masih bergantung pada metode konvensional seperti sensus lapangan, wawancara langsung, dan kuesioner fisik. Hari ini, data bergerak real-time melalui berbagai kanal digital—media sosial, transaksi digital, aplikasi pemerintah, dan sistem informasi kependudukan. Tanpa regulasi yang adaptif, negara akan tertinggal dalam mengelola data secara efisien dan berkelanjutan.
2. Penguatan Peran BPS dan Kolaborasi Lintas Instansi
Revisi UU diperlukan untuk memperkuat posisi Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai otoritas statistik nasional. Dalam ekosistem data yang makin kompleks, BPS perlu diberi mandat yang lebih kuat untuk: Mengkoordinasikan statistik sektoral dari kementerian dan lembaga lain, Menstandarkan metodologi pengumpulan data, dan Menjamin keterpaduan sistem statistik nasional.
Saat ini, banyak data pemerintah yang tumpang tindih atau bahkan kontradiktif antar lembaga. Revisi UU bisa mendorong kolaborasi dan integrasi, bukan monopoli data.
3. Menjamin Keamanan dan Etika Penggunaan Data
Di era digital, isu keamanan data dan privasi menjadi sorotan penting. Revisi UU Statistik harus merangkul prinsip perlindungan data pribadi, mengatur dengan jelas: Batas-batas pemanfaatan data statistik, Hak masyarakat atas datanya sendiri, dan Larangan penyalahgunaan data oleh pihak manapun.
UU 1997 belum mengenal konsep perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) yang baru disahkan. Maka, harmonisasi antar regulasi menjadi keniscayaan.
4. Mendorong Akses Data untuk Publik dan Peneliti
Masyarakat akademik, pelaku usaha, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil membutuhkan akses data yang terbuka dan dapat dipercaya. Revisi UU Statistik perlu mengatur prinsip open data, dengan tetap menjaga aspek keamanan. Semakin terbuka dan akurat data yang tersedia, semakin besar peluang munculnya inovasi berbasis data.
5. Menyesuaikan dengan Standar Internasional
Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia perlu menyelaraskan pengelolaan statistik dengan standar internasional, seperti yang ditetapkan oleh PBB, IMF, dan Bank Dunia. Revisi UU dapat membuka jalan bagi BPS untuk mengikuti praktik terbaik global dalam hal: Big data analysis, Statistik gender, Statistik lingkungan hidup, dan Statistik pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Menuju Indonesia yang Berbasis Data
Revisi UU Statistik bukan semata soal mengganti pasal-pasal lama, tapi soal menyiapkan fondasi hukum yang kokoh bagi Indonesia di era data. Negara yang gagal mengelola datanya sendiri akan kesulitan merumuskan kebijakan yang adil, tepat sasaran, dan berpihak pada rakyat. Dengan undang-undang yang mutakhir dan berpandangan jauh ke depan, kita bisa membangun pemerintahan yang lebih cerdas, transparan, dan partisipatif—karena segala keputusan dimulai dari data yang benar.
Mengapa UU Statistik 1997 Perlu Direvisi?
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik merupakan regulasi yang saat ini masih berlaku di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak pihak menilai undang-undang ini sudah tidak memadai untuk menjawab tantangan pengelolaan data di era digital. Berikut beberapa alasannya lebih kompleks dari keterangan di atas:
1. UU Statistik 1997 Lahir Sebelum Era Digital
UU ini disahkan saat internet belum masif digunakan. Pada masa itu, pengumpulan data masih dilakukan secara manual, dengan kuesioner cetak dan wawancara langsung. Saat ini, teknologi telah berubah drastis: data bisa dikumpulkan secara real-time melalui aplikasi, sensor, transaksi digital, media sosial, dan berbagai platform daring lainnya. Sayangnya, UU 1997 belum mengatur metode modern tersebut.
2. Belum Mengakomodasi Big Data dan Kecerdasan Buatan
Saat ini, big data dan artificial intelligence (AI) menjadi bagian penting dalam analisis kebijakan. Namun, UU Statistik belum memberikan dasar hukum yang jelas bagi pemanfaatan data besar secara etis dan efisien. Revisi dibutuhkan agar negara bisa memanfaatkan data yang sangat besar untuk perencanaan pembangunan, tanpa melanggar hak-hak individu.
3. Perlindungan Data Pribadi Masih Lemah
UU 1997 memang menjamin kerahasiaan data individu, tetapi belum mengatur hak pemilik data dan mekanisme perlindungan digital. Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), sehingga revisi UU Statistik harus diselaraskan dengan aturan tersebut. Tujuannya adalah agar data yang dikumpulkan untuk statistik tidak bocor atau disalahgunakan.
4. Koordinasi Data Antarinstansi Belum Efektif
UU Statistik membagi statistik menjadi statistik dasar (oleh BPS), statistik sektoral (oleh kementerian/lembaga), dan statistik khusus (oleh swasta atau masyarakat). Namun, di lapangan sering terjadi tumpang tindih atau perbedaan angka antarinstansi. Hal ini menyebabkan kebingungan dan melemahkan kredibilitas data pemerintah. Revisi UU diperlukan agar koordinasi dan standarisasi pengelolaan data bisa berjalan lebih baik.
5. Akses Publik terhadap Data Masih Terbatas
Di era keterbukaan informasi, masyarakat, peneliti, pelaku usaha, dan media membutuhkan akses terhadap data yang akurat dan cepat. Namun, dalam praktiknya, banyak data statistik yang belum tersedia secara terbuka. Revisi UU dapat mendorong prinsip open data—yakni data yang dapat diakses publik secara gratis, mudah dipahami, dan sahih, tanpa mengorbankan aspek keamanan dan privasi.
6. Tidak Ada Ketentuan Khusus tentang Sanksi dan Etika Data
UU Statistik 1997 belum secara eksplisit mengatur sanksi jika ada pihak yang menyalahgunakan data atau menghambat proses pengumpulan data statistik. Padahal di era digital, potensi penyalahgunaan data sangat besar. Revisi UU penting untuk memberi kepastian hukum, termasuk etika pemanfaatan data dan sanksi administratif atau pidana bila ada pelanggaran.
Revisi UU Statistik adalah langkah strategis menuju tata kelola data yang modern, aman, dan berdaya guna. Di era ketika data menjadi dasar kebijakan, pembangunan, dan pelayanan publik, Indonesia membutuhkan undang-undang statistik yang lebih kuat, mutakhir, dan terintegrasi. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil perlu terlibat aktif dalam proses revisi ini agar hasilnya berpihak pada kepentingan publik dan kemajuan bangsa.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik
UU ini menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan statistik di Indonesia, termasuk tugas dan wewenang Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penyelenggara utama statistik nasional.
Pokok-pokok isi UU Statistik 1997:
Jenis Statistik: Statistik Dasar (diselenggarakan oleh BPS, mencakup seluruh wilayah dan penduduk Indonesia), Statistik Sektoral (diselenggarakan oleh kementerian/lembaga), dan Statistik Khusus (diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintah untuk kepentingan internal).
Penyelenggara Statistik: BPS sebagai lembaga pusat, Kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pihak swasta bisa menyelenggarakan statistik sektoral atau khusus.
Kerahasiaan Data:
Data individu (perorangan atau badan) yang dikumpulkan BPS dijamin kerahasiaannya dan tidak boleh digunakan untuk tujuan selain statistik.
Kewajiban Masyarakat:
Wajib memberikan data kepada penyelenggara statistik ketika diminta secara resmi.
Mengapa Perlu Direvisi?
UU ini dibuat sebelum era digital dan big data. Saat itu belum ada isu krusial seperti: Big Data dan kecerdasan buatan, Perlindungan data pribadi, Digitalisasi layanan publik, Integrasi data antarinstansi.
Revisi diperlukan agar hukum statistik di Indonesia mampu mengakomodasi tantangan zaman modern, termasuk kolaborasi data lintas lembaga, keterbukaan informasi, dan keamanan data. (Yus/M/*)
0 Komentar