Warga Berhamburan Keluar Rumah: Gempa Magnitudo 4,6 Guncang Padang Panjang

Gempa Magnitudo 4,6 Guncang Padang Panjang, Warga Berhamburan Keluar Rumah

PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Gempa Magnitudo 4,6 Guncang Padang Panjang. Gempa bumi berkekuatan magnitudo 4,6 pada Sabtu malam, 19 April 2025 itu, terjadi sekitar pukul 20.47 WIB membuat warga berhamburan keluar rumah.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa pusat gempa berada di darat, sekitar 6 kilometer timur laut Padang Panjang, dengan kedalaman 10 kilometer.

Getaran gempa dirasakan cukup kuat di sejumlah wilayah sekitarnya, termasuk Bukittinggi, Agam, Tanah Datar, dan Sawahlunto. Akibatnya, banyak warga panik dan berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri.

Menurut Kepala Stasiun Geofisika Padang Panjang, Suaidi Ahadi, gempa ini merupakan jenis gempa dangkal yang dipicu oleh aktivitas Sesar Sianok, salah satu sesar aktif di wilayah Sumatera Barat.

Hingga saat berita ini diturunkan, tidak ada laporan mengenai kerusakan bangunan atau korban jiwa akibat gempa tersebut. Namun, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap kemungkinan gempa susulan.

Padang Panjang di Atas Sesar: Sejarah dan Ancaman Gempa yang Terus Mengintai

Padang Panjang, kota kecil yang dijuluki Serambi Mekkah di jantung Sumatera Barat, bukan hanya dikenal karena keindahan alam dan sejarah pendidikannya. Kota ini juga menyimpan cerita kelam yang berulang: guncangan gempa bumi. Letaknya yang berada tepat di jalur Sesar Semangko, khususnya segmen Sesar Sianok, menjadikan Padang Panjang sebagai salah satu wilayah dengan risiko gempa paling tinggi di Indonesia.

Sesar Sianok: Urat Luka Geologis di Tanah Minang

Sesar Sianok merupakan bagian dari sistem patahan besar yang membelah Pulau Sumatera dari utara ke selatan. Segmen ini memanjang dari Danau Singkarak hingga ke Ngarai Sianok di Bukittinggi, melewati langsung Kota Padang Panjang. Aktivitas tektonik di zona ini sangat dinamis, dan sejak zaman kolonial Belanda telah dicatat sebagai sumber gempa merusak.

Gempa Dahsyat 1926: Tragedi Besar yang Terlupakan

Salah satu gempa paling mematikan terjadi pada 28 Juni 1926. Dengan kekuatan diperkirakan mencapai magnitudo 7,6, gempa ini meluluhlantakkan Padang Panjang, Bukittinggi, dan sebagian Agam. Catatan Belanda menyebutkan, ribuan rumah hancur, ratusan jiwa tewas, dan jalur kereta api yang kala itu menjadi tulang punggung transportasi Sumatera Barat rusak parah. Banyak bangunan bersejarah runtuh dalam sekejap.

Gempa ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya membangun konstruksi tahan gempa. Sayangnya, pengetahuan tersebut sering hilang ditelan waktu dan regenerasi.

Serangkaian Guncangan di Era Modern

Setelah 1926, gempa-gempa dengan intensitas sedang hingga kuat terus terjadi, meski tak selalu menyebabkan kerusakan besar. Di antaranya:

6 Maret 2007: Gempa berkekuatan M 6,4 berpusat di Solok terasa kuat di Padang Panjang. Puluhan rumah mengalami retak dan warga panik berhamburan.

September 2009 : Gempa besar di Pariaman (M 7,6) turut mengguncang wilayah Padang Panjang dan menyebabkan ketakutan masif.

19 April 2025: Gempa terbaru dengan kekuatan M 4,6, berpusat hanya 6 km dari pusat kota, kembali membangunkan memori kolektif akan ancaman laten yang selalu mengintai.

Meski gempa April 2025 ini tak menimbulkan korban jiwa, warga berhamburan keluar rumah. Ini menandakan bahwa trauma atas sejarah panjang gempa belum pernah benar-benar sembuh.

Mitigasi dan Kesadaran: Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai

BMKG dan ahli geologi telah lama mengingatkan bahwa aktivitas Sesar Sianok masih sangat aktif. Oleh sebab itu, mitigasi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah, sekolah-sekolah, dan warga harus bersinergi:

- Simulasi rutin evakuasi gempa harus dilakukan di semua institusi publik.

- Bangunan baru harus mengikuti standar tahan gempa, terutama gedung sekolah dan rumah sakit.

- Pendidikan kebencanaan perlu dimasukkan ke dalam kurikulum lokal.

Padang Panjang adalah kota yang tangguh, namun hidup di atas sesar aktif memerlukan lebih dari sekadar keberanian. Ia menuntut kewaspadaan, literasi kebencanaan, dan kesiapsiagaan kolektif. Sejarah telah berbicara—dan bila kita lalai, ia akan berbicara kembali dengan cara yang lebih menyakitkan. (Yusriana Siregar/*) 

Posting Komentar

0 Komentar