Darurat Infrastruktur di Sumatera Barat: Puncak Anai dan Bukit Surungan Butuh Penanganan Serius
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Kawasan Puncak Anai selama ini dikenal sebagai salah satu jalur strategis penghubung antarwilayah di Sumatera Barat. Namun kini, kondisi infrastruktur di kawasan tersebut memprihatinkan. Jalan utama yang membelah kawasan wisata ini nyaris terputus, menghadirkan keresahan yang kian dalam di tengah masyarakat, serta menciptakan ancaman nyata bagi keselamatan pengguna jalan.
![]() |
Jalan Puncak Anai di Ambang Bahaya |
Bukan hanya jalan retak atau berlubang, tapi kerusakan itu kini telah mengarah pada potensi bencana. Dengan kontur jalan yang sempit, rawan longsor, dan volume lalu lintas tinggi, setiap hari ribuan kendaraan pribadi, angkutan umum, hingga logistik melintasi jalur ini. Bila tidak segera ditangani, potensi kecelakaan bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian yang menunggu waktu.
Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat, Nanda Satria, mengungkapkan keprihatinannya secara terbuka. Ia menyebut kondisi ini sebagai darurat dan mendesak agar pemerintah tidak lagi memandang sebelah mata kerusakan jalan di Puncak Anai. Menurutnya, ini bukan sekadar urusan tambal-menambal jalan yang rusak, tetapi menyangkut keselamatan jiwa. Kita tidak bisa lagi membiarkan pembangunan dan pemeliharaan jalan bergantung pada reaksi setelah kecelakaan atau protes warga.
Kebutuhan Penanganan Menyeluruh dan Jangka Panjang
Nanda menyampaikan bahwa pendekatan tambal sulam telah gagal menjawab akar persoalan. Ia menekankan perlunya perencanaan jangka panjang yang mencakup konstruksi yang kuat, perbaikan sistem drainase, serta mitigasi risiko bencana seperti longsor dan banjir. Dalam konteks ini, Dinas PUPR Provinsi Sumatera Barat harus segera bertindak cepat dan tepat. Infrastruktur jalan tidak bisa hanya ditambal untuk satu musim hujan, tapi harus dibangun untuk ketahanan puluhan tahun ke depan.
Situasi ini bukan hanya terjadi di Puncak Anai. Jalan lintas Sumatera di kawasan Terminal Bukit Surungan, tepatnya di depan Puskesmas Bukit Surungan, juga mengalami kerusakan serius. Terdapat dua lubang besar seperti kacamata yang sudah beberapa kali ditambal, namun tetap melorot dan rusak kembali menimbulkan dua lubang. Akibatnya, Dinas Perhubungan hanya bisa memberi tanda peringatan berwarna oranye, tapi perbaikan permanen belum juga terlihat.
Lokasi lubang seperti kacamata ini juga diabadikan oleh insiden berbahaya. Sebuah bus ALS terguling di lokasi tersebut. Bila kita pengendara motor tak hafal lubang ini sangat berpotensi membuat pengendara terjungkal. Apalagi pasca ALS jatuh kotak peringatan berwarna oranye tak ditaruh lagi di sana. Kejadian ini menjadi bukti bahwa lubang yang dianggap sepele ternyata bisa mengundang kecelakaan fatal. Ini bukan lagi sekadar masalah teknis jalan berlubang, tapi potret nyata kelalaian sistemik yang harus segera diubah.
Lemahnya Koordinasi, Harga Mahal yang Harus Dibayar
Masalah besar lainnya yang turut disorot oleh Nanda adalah lemahnya koordinasi dan komunikasi antarinstansi pemerintah. Penanganan jalan rusak kerap lambat, menunggu korban atau tekanan publik baru bertindak. Seolah nyawa warga tidak lebih berharga dari agenda seremonial birokrasi.
Pemerintah daerah, provinsi, dinas perhubungan, hingga instansi PUPR seharusnya bergerak dalam satu irama. Ketika satu ruas jalan menunjukkan gejala kerusakan serius, langkah preventif harus segera dilakukan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Setiap instansi berjalan sendiri-sendiri, atau lebih parah lagi, saling menunggu dan saling menyalahkan.
Situasi ini memperlihatkan bahwa pembangunan infrastruktur belum ditempatkan dalam kerangka keselamatan publik. Jalan bukan sekadar penghubung geografis, tapi urat nadi ekonomi dan sosial. Kerusakan jalan tidak hanya menghambat mobilitas, tapi juga menghambat pertumbuhan daerah, merugikan pengusaha kecil, dan bahkan mengancam nyawa warga bila logistik terkendala.
Ajakan untuk Berubah: Dari Sikap Reaktif Menuju Proaktif
Melihat kondisi ini, kita tidak bisa hanya bergantung pada suara-suara seperti Nanda Satria. Masyarakat sipil, aktivis, komunitas pengemudi, hingga media lokal harus mulai menyuarakan hal yang sama: keselamatan jalan adalah hak publik, bukan sekadar proyek tahunan. Pemerintah harus diawasi dan diminta pertanggungjawaban secara terus-menerus.
Untuk jangka pendek, pemerintah harus segera menurunkan tim teknis guna meninjau dan memperbaiki kerusakan jalan secara menyeluruh di Puncak Anai dan Bukit Surungan. Jangan lagi menambal aspal yang setiap kali hujan akan runtuh kembali. Bangun ulang struktur jalan dengan metode yang tepat. Jika perlu, pertimbangkan pembangunan jalan alternatif atau pelebaran ruas jalan agar tidak menjadi leher botol bagi arus kendaraan.
Untuk jangka panjang, perlu ada sistem pelaporan cepat dan respons tanggap darurat. Masyarakat yang melihat potensi kerusakan bisa melapor, dan pemerintah langsung memverifikasi serta menindaklanjuti dalam waktu maksimal 3 hari kerja.
Menjaga Nyawa, Menjaga Masa Depan
Infrastruktur jalan bukan sekadar proyek beton dan aspal. Di atas jalan itulah kehidupan bergerak: ibu membawa anak ke sekolah, pedagang kecil mengantar dagangan, wisatawan menjelajahi keindahan Sumatera Barat, dan sopir truk menafkahi keluarga. Ketika jalan rusak dibiarkan, maka yang kita abaikan bukan hanya kenyamanan, tapi nyawa dan masa depan bersama.
Semoga seruan ini bukan hanya terdengar sesaat dan tenggelam dalam kesibukan birokrasi. Puncak Anai dan Bukit Surungan adalah cermin dari bagaimana pemerintah menilai keselamatan rakyatnya. Sudah waktunya kita bergerak — bukan nanti, tapi sekarang.(Yus MM/Padek")
0 Komentar