Batusangkar; Uniknya Maantaan Syarat ka Guru: Warisan Adab yang Patutkah Dihidupkan Kembali?

Maantaan Syarat ka Guru: Warisan Adab yang Patut Dihidupkan Kembali

Oleh: Yusriana S.Pd (General Manager Kiprah Kita)

“Ilmu tanpa adab, ibarat cahaya tanpa pelita. Terang sebentar, lalu padam.”

TANAH DATAR, kiprahkita.com –Kalimat itu pernah saya dengar dari seorang ninik mamak di Tanah Datar, saat kami berbincang tentang adat dan pendidikan. Ia kemudian menyebut salah satu tradisi yang makin jarang dilakukan: "Maantaan Syarat ka Guru."


Sebagai guru yang sudah lebih dari dua dekade mengabdi di dunia pendidikan, saya meyakini bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal angka dan kurikulum. Ia adalah perjalanan spiritual yang dimulai dengan niat baik dan rasa hormat.

Di sinilah makna mendalam dari "Maantaan Syarat ka Guru"—sebuah prosesi kultural di Minangkabau yang dulu lazim dilakukan sebelum seseorang menuntut ilmu, terutama dalam bidang agama, silat, dan seni tradisional.

Prosesi ini bukan sekadar simbolik. Ketika seorang anak atau keluarganya datang mengantar “syarat”—biasanya berupa sirih lengkap atau bahan simbolis lainnya—mereka sebenarnya sedang menyampaikan pesan: "Kami datang bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk menghormati."

Guru pun tidak sekadar mengajar, tapi menerima murid dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Hubungan ini terikat oleh adab.

Namun sayangnya, di era digital ini, hubungan murid dan guru semakin pragmatis. Banyak yang mengira cukup dengan login kelas atau mengisi absen, sudah sah menjadi pelajar. Padahal, dalam adat kita, belajar adalah permohonan sekaligus permakluman. Itulah mengapa "maantaan syarat" sangat relevan untuk dihidupkan kembali.

“Bukan banyaknya gelar yang menentukan derajat seseorang, tapi seberapa besar ia menghormati gurunya,” ujar Datuak Bangso ketika itu, seorang tokoh adat dari Luhak Nan Tigo yang masih kerap menggelar prosesi ini saat membuka pelatihan silek. Saya mengutipnya saat mengisi materi pendidikan karakter di sekolah.

Pelestarian tradisi ini tidak harus dalam bentuk yang kaku. Sekolah-sekolah di Sumatera Barat bisa mengadaptasinya dalam bentuk upacara awal tahun ajaran baru: siswa baru datang kepada guru, menyampaikan harapan, dan simbolis menyerahkan tanda hormat. Sebuah langkah kecil, namun dampaknya besar dalam membentuk budi pekerti.

Kita tidak sedang mengajak murid kembali ke masa lalu. Kita justru sedang memanggil kembali nilai-nilai masa lalu untuk membimbing masa depan. Jika kita ingin generasi yang cerdas sekaligus beradab, maka "Maantaan Syarat ka Guru" adalah kearifan lokal yang wajib dihidupkan kembali—bukan sekadar sebagai adat, tapi sebagai filosofi hidup.

Di tengah derasnya arus modernisasi, kita menyaksikan berbagai tradisi luhur mulai terpinggirkan. Salah satunya prosesi Maantaan Syarat ka Guru seperti diuraikan di atas—sebuah tradisi Minangkabau yang sarat makna, namun kini mulai dilupakan oleh generasi muda. Padahal, di balik kesederhanaan prosesi ini, tersimpan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi peradaban: adab, hormat, dan niat yang tulus dalam menuntut ilmu.

Seperti diuraikan Maantaan syarat bukan sekadar seremoni adat. Ia adalah bentuk penghormatan kepada guru sebagai sumber ilmu dan cahaya kehidupan. kesungguhan untuk belajar. Di hadapan guru, murid menyampaikan niat dan memohon izin serta restu. Betapa dalam maknanya. Sebuah pengakuan bahwa ilmu bukan sekadar hak, tapi amanah yang harus dimulai dengan adab.

Di zaman sekarang, murid kerap lebih sibuk dengan gawai daripada menyimak petuah guru. Karena itu kita perlu menghidupkan kembali ruh "Maantaan Syarat ka Guru". Tidak harus dalam bentuk persis seperti dahulu, tapi esensinya: rasa hormat, etika belajar, dan keterikatan emosional antara murid dan guru.

Prosesi ini juga mengajarkan bahwa belajar adalah perjalanan suci, bukan sekadar rutinitas. Dengan "maantaan syarat", seorang murid menundukkan ego, menunjukkan kesungguhan, dan menyerahkan diri untuk dibimbing. Nilai-nilai seperti ini sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan yang semakin mekanistik dan kering dari rasa.

Pemerintah daerah, sekolah, dan tokoh adat semestinya bersinergi melestarikan tradisi ini. Bisa dimulai dengan menjadikannya bagian dari kegiatan awal tahun ajaran baru, sebagai perkenalan budaya sekaligus pendidikan karakter. Lebih jauh, tradisi ini bisa dikenalkan dalam bentuk pertunjukan drama, dokumentasi budaya, hingga muatan lokal dalam kurikulum.

Jangan sampai kita kehilangan jati diri. Jangan biarkan generasi mendatang tumbuh tanpa tahu bahwa di ranah Minangkabau, ada satu warisan luar biasa yang mengajarkan: sebelum meminta ilmu, belajarlah untuk bersikap hormat. Itulah esensi dari "Maantaan Syarat ka Guru"—warisan adab yang harus kita hidupkan kembali.


Bersalaman dan mencium tangan guru 

Prosesi Maanta Syarat ka Guru (Mengantar Syarat kepada Guru) bagi anak kamanakan yang akan belajar Silek Harimau di Medan Bapaneh Mahakarya Kapalo Koto, Jorong Gurun, Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) sudah dilaksanakan tahun ini pada Minggu (2/2/2025) lalu.


Medan Bapaneh Maha Karya Kapalo Koto, Jorong Gurun, Luhak Nan Tuo akan selalu mengadakan prosesi adat Maanta Syarat Ka Guru Baraja Silek setiap tahunnya biasanya di awal sya'ban. Masyarakat Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, antusias menggelar prosesi adat Maanta Syarat ka Guru (Mengantar Syarat kepada Guru) bagi anak-anak yang akan memulai pembelajaran silat Harimau di Medan Bapaneh Mahakarya Kapalo Koto Jorong Gurun.

Nagari Gurum

Di Kapalo Koto, prosesi Maantaan Syarat ka Guru juga masih dijalankan, terutama sebelum memulai pembelajaran silek. Tradisi ini dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada guru dan sebagai syarat moral sebelum menuntut ilmu. Kegiatan ini sering kali menjadi bagian dari acara adat yang lebih besar dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. ([PASBANA | KABAR KITA)


Selain Nagari Gurun dan Kapalo Koto, beberapa nagari lain di Kabupaten Tanah Datar juga masih mempertahankan tradisi ini, meskipun dengan frekuensi yang berbeda-beda. Pelestarian tradisi ini sering kali didukung oleh program pemerintah daerah yang bertujuan untuk menjaga dan mengembangkan budaya lokal.

Pelestarian prosesi Maantaan Syarat ka Guru di daerah-daerah tersebut menunjukkan komitmen masyarakat dalam menjaga warisan budaya Minangkabau. Tradisi ini tidak hanya memperkuat nilai-nilai moral dan etika dalam pendidikan, tetapi juga berpotensi menjadi daya tarik wisata budaya yang unik.


Guru Besar dalam Sidang Senat Terbuka yang berlangsung di Kampus III Sungai Bangek, Padang ini adalah contoh guru di luar adat dan kearifan lokal. Guru besar sebagai contoh guru dalam dunia pendidikan modern bisa bersinergi dalam membudayakan dan pelestarian prosesi Maantaan Syarat ka Guru di daerah-daerah.


Posting Komentar

0 Komentar