Pendaki Wanita Asal Brasil Ditemukan Tim SAR

Juliana De Souza Pereira Marins (27)

LOMBOK, kiprahkita.com Muncul secercah harapan saat Tim SAR akhirnya berhasil mencapai lokasi jatuhnya pendaki wanita asal Brasil, Juliana De Souza Pereira Marins (27). Ia terperosok di jurang curam di kawasan Cemara Nunggal, jalur menuju puncak Gunung Rinjani. Setelah dua hari penuh perjuangan melawan kabut tebal, angin kencang, dan medan ekstrem, kabar duka tak terelakkan: Juliana ditemukan tanpa tanda-tanda kehidupan di kedalaman 600 meter dari tebing tempat ia diduga terpeleset.

Lokasi Pemasangan Tali 600 Meter

Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas), Marsekal Madya TNI (Purn) M. Syaugi, mengungkapkan informasi memilukan tersebut dalam pernyataan resminya, Selasa malam (24/6). Menurut Syaugi, pencarian yang semula memperkirakan korban berada pada kedalaman 400 meter, ternyata harus diperluas hingga 600 meter akibat pergeseran posisi jatuh korban yang lebih dalam dari dugaan awal.

“Pukul 18.00 WITA, rescuer atas nama Hafid berhasil menjangkau titik jatuh korban pada kedalaman 600 meter, yang kami sebut sebagai datum point. Sayangnya, saat dilakukan pemeriksaan medis awal, tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan pada tubuh korban,” ujar Syaugi.

Tak lama berselang, tepat pukul 18.31 WITA, anggota tim penyelamat lainnya berhasil menyusul ke titik tersebut. Dengan hati-hati, mereka mulai melakukan prosedur wrapping survivor sebuah metode pembungkusan tubuh korban dengan alat khusus guna memudahkan proses pengangkatan.

Namun, perjuangan belum usai. Cuaca ekstrem kembali menghadang. Kabut tebal, suhu dingin yang menusuk, dan visibilitas hampir nol memaksa tim untuk menunda evakuasi fisik jenazah hingga hari berikutnya.

Pagi itu, Rabu (25/6), Tim Basarnas masih melakukan persiapan matang untuk mengangkat jenazah Juliana dari jurang yang menjadi tempat peristirahatannya terakhir. Tim kumparan mencoba menghubungi posko SAR terkait perkembangan terbaru, namun belum mendapat jawaban resmi.

Petualangan yang Berubah Duka 

Juliana Marins, seorang traveler asal Brasil yang dikenal aktif di komunitas pendaki internasional, dilaporkan tergelincir saat mencoba melanjutkan perjalanan menuju puncak Rinjani. Medan yang terjal, disertai kabut dan batuan licin, diyakini menjadi penyebab insiden tragis ini.

Tragedi ini menggaris bawahi risiko nyata yang mengintai para pendaki di jalur ekstrem Gunung Rinjani gunung tertinggi kedua di Indonesia yang kerap dijuluki “atapnya Pulau Lombok”. Dalam beberapa tahun terakhir, jalur pendakian Cemara Nunggal memang dikenal sebagai salah satu jalur yang paling menantang secara teknis, terutama saat cuaca berubah drastis.

Misi Belum Usai

Tim SAR gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, dan relawan lokal kini berpacu dengan waktu dan cuaca untuk membawa pulang jenazah Juliana. Evakuasi dari kedalaman 600 meter bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga ketahanan mental dan ketepatan teknis.

"Setiap detik di tebing seperti itu berisiko. Kami tidak hanya membawa korban, kami membawa harapan keluarganya yang jauh di Brasil untuk bisa mengucapkan perpisahan terakhir," kata seorang personel SAR di lokasi, yang enggan disebutkan namanya.

Pagi ini akan menjadi penentu. Apakah cuaca bersahabat, dan apakah tim berhasil menuntaskan misi kemanusiaan yang telah menguras tenaga dan emosi semua pihak.

Kronologi Pencarian Pendaki Wanita dari Brasil

Angin dingin terasa memotong kulit, kabut menutupi pandangan, dan tebing curam menantang nyawa. Di tengah semua itu, tim SAR gabungan berpacu melawan waktu, menantang alam ekstrem Gunung Rinjani demi menyelamatkan JDSP (27), seorang pendaki asal Brasil yang terjatuh di tebing Cemara Nunggal, salah satu jalur terjal menuju puncak Rinjani.

Tim SAR saat pertam menemukan lokasi 

Sejak Sabtu (21/6), operasi pencarian dan penyelamatan telah dilakukan secara masif oleh gabungan unsur dari Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), kepolisian dari Polres Lombok Timur, personel Brimob Kompi 3 Batalyon B Polda NTB, TNI, BPBD, Damkar, serta puluhan relawan pencinta alam dan komunitas SAR lokal.

Namun ini bukan operasi biasa. medan di sekitar Cemara Nunggal bukan sekadar curam—melainkan hampir vertikal, dengan dinding batu yang menjulang setinggi ratusan meter, licin oleh kabut dan hujan. Kecelakaan tragis yang menimpa JDSP terjadi di titik yang nyaris tidak bisa dijangkau secara konvensional.

Awalnya Modal Tali 300 Meter dan Tidur di Udara

Upaya awal tim untuk menjangkau posisi korban dilakukan dengan membentangkan tali sepanjang 300 meter di sepanjang tebing. Namun usaha itu tak membuahkan hasil. Diduga, korban terus terperosok hingga mencapai kedalaman 500 meter dari jalur pendakian.

Dalam misi yang penuh risiko ini, salah satu anggota tim SAR bahkan memilih untuk bermalam di dinding tebing pada ketinggian 200 meter. Ia menggunakan metode “flying camp”—beristirahat menggantung di udara dengan bantuan tali dan peralatan khusus—guna menjaga titik evakuasi yang telah dipasang dan terus memantau kondisi di bawahnya.

“Ini bukan hanya soal teknik penyelamatan, tapi juga keberanian luar biasa. Bertahan semalam di udara, tanpa kepastian cuaca, itu luar biasa berat,” ujar Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Mohammad Kholid, S.H., S.I.K., saat dikonfirmasi dari Mataram pada Selasa (24/6).

Drone Thermal dan Dinding Kematian

Pagi harinya, tim memanfaatkan teknologi drone thermal untuk melacak keberadaan JDSP di tengah kabut tebal yang menutup pandangan manusia. Observasi visual terakhir pada Senin (23/6) memperlihatkan tubuh korban dalam posisi tersangkut di dinding batu, sekitar 500 meter dari puncak jalur. Namun sayangnya, tak ada pergerakan yang terdeteksi.

Dua anggota tim rescue sempat mencoba menuruni tebing hingga kedalaman 350 meter untuk memasang anchor tambahan guna memudahkan penjangkauan vertikal. Tapi jalur itu menghadirkan tantangan lain: dua overhang (bagian tebing yang menjorok keluar) besar, yang membuat pemasangan alat bantu menjadi mustahil.

"Overhang semacam itu sangat berbahaya. Satu-satunya opsi tersisa adalah climbing vertikal manual dan itu hanya bisa dilakukan jika kondisi cuaca benar-benar mendukung," ungkap salah satu komandan lapangan dari Tim Brimob.

Namun langit Rinjani tak bersahabat. Hujan turun sejak dini hari, membuat permukaan batu basah licin dan jarak pandang hampir nol akibat kabut. Untuk menghindari kecelakaan baru, tim memutuskan untuk menunda penurunan lebih lanjut dan mundur ke titik aman, sambil menunggu celah cuaca cerah.

Pekik dari Puncak Nusantara

Operasi ini bukan sekadar penyelamatan fisik, melainkan juga pekik rasa solidaritas dan kemanusiaan dari para penjaga negeri. Dari aparat negara hingga relawan, dari polisi berseragam hingga porter lokal, semua bersatu dalam solidaritas untuk satu nyawa asing yang terjebak di pelukan Gunung Rinjani.

“Ini misi kemanusiaan yang tak mudah. Koordinasi lintas instansi sangat krusial, dan di sinilah terlihat semangat gotong royong dan solidaritas global,” tegas Kombes Pol Kholid.

Ia juga menambahkan bahwa pihak Polda NTB sangat mengapresiasi profesionalisme dan keberanian luar biasa dari seluruh tim SAR gabungan yang bekerja tanpa henti, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.

Menunggu Keajaiban di Lereng Rinjani

Hingga saat itu, kondisi JDSP belum bisa dipastikan secara pasti. Harapan akan ditemukan selamat masih menyala, meski fakta di lapangan menyajikan tantangan luar biasa.

Tim SAR gabungan berkomitmen akan terus berupaya melakukan penyelamatan selama faktor keselamatan memungkinkan. Mereka sadar bahwa setiap detik yang berlalu bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.

Namun yang pasti, di lereng Rinjani yang berkabut dan dingin, nyala kemanusiaan terus menyala. Dalam sunyi yang menusuk, ada semangat yang tak padam: menyelamatkan satu jiwa, dengan segenap keberanian dan pengorbanan hingga 25/6 ini bisa keluar pernyataan personil penyelamatan berikut.

"Setiap detik di tebing seperti itu berisiko. Kami tidak hanya membawa korban, kami membawa harapan keluarganya yang jauh di Brasil untuk bisa mengucapkan perpisahan terakhir," kata seorang personel SAR di lokasi, yang enggan disebutkan namanya.

Pagi ini akan menjadi penentu. Apakah cuaca bersahabat, dan apakah tim berhasil menuntaskan misi kemanusiaan yang telah menguras tenaga dan emosi semua pihak.(Kumparan, dirgantara)

Gunung Rinjani itu ada di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Indonesia

Itu gunung tertinggi kedua di Indonesia setelah Gunung Kerinci di Sumatera, dengan ketinggian sekitar 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl). Rinjani terkenal karena keindahan alamnya—ada danau kawah yang disebut Segara Anak, air terjun, dan jalur pendakian yang menantang tapi sangat populer di kalangan pendaki.

Kalau kamu cari suasana alam pegunungan yang memesona dan spiritualitas yang kental (karena dianggap sakral oleh warga Sasak dan Bali), Rinjani salah satu yang terbaik!

Posting Komentar

0 Komentar