Tragedi di Tengah Sukacita: Ketika Pesta Rakyat Berakhir Luka
GARUT, kiprahkita.com –Pesta yang seharusnya penuh suka cita di Kabupaten Garut mendadak berubah menjadi lautan tangis dan luka. Pernikahan Putri Karlina, Wakil Bupati Garut, dengan Maula Akbar, anggota DPRD Jawa Barat sekaligus putra Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, yang digelar sebagai pesta rakyat terbuka, justru memakan korban.
Hingga Sabtu sore, 19 Juli 2025, jumlah korban tercatat mencapai 30 orang, dengan 3 orang meninggal dunia dan satu di antaranya mengalami retak tulang kaki.
![]() |
Pesta Berakhir Duka |
Alih-alih menjadi simbol kedekatan pemimpin dengan rakyat, kerumunan massal tanpa kendali ini justru memperlihatkan kelalaian sistemik yang membahayakan nyawa rakyat yang ingin bergembira.
Salah Urus Massa, Salah Kelola Acara
Sejak awal, antusiasme masyarakat terhadap pernikahan tokoh publik yang digelar terbuka memang sudah dapat diprediksi. Warga berbondong-bondong ingin melihat langsung prosesi pernikahan dua anak elite Jawa Barat. Tapi yang mengejutkan bukan euforia warga—melainkan minimnya mitigasi risiko dari panitia penyelenggara.
Apakah pengamanan sudah disiapkan sesuai standar kerumunan massa berskala besar?
Adakah jalur evakuasi darurat, tim medis memadai, atau sekadar pembatas wilayah yang aman?
Kita semua tahu jawabannya kini: tidak ada atau tidak cukup.
Sebuah pesta publik tidak boleh hanya menjadi panggung selebrasi kekuasaan tanpa rasa tanggung jawab terhadap keselamatan warga. Karena rakyat bukan hanya penonton dalam panggung politik keluarga pejabat. Mereka adalah manusia yang datang dengan harapan, dan pulang membawa duka.
Miskinnya Empati dalam Perayaan Kekuasaan
Tragedi ini mencerminkan ironi yang begitu telak. Sebuah keluarga pejabat publik menggelar pesta megah, sementara rakyat yang mereka pimpin menjadi korban kegembiraan yang tak terkendali. Tiga nyawa melayang, puluhan luka-luka—bukan karena bencana alam atau serangan, tapi karena salah urus pesta.
Yang lebih menyakitkan adalah narasi yang mencoba mereduksi kejadian ini sebagai “musibah biasa” akibat desak-desakan. Padahal jelas: tragedi ini adalah buah dari kelalaian perencana dan penyelenggara yang lalai membaca risiko serta abai menyediakan sistem perlindungan massa.
Sementara itu, keluarga yang berpesta tetap tampil elegan, berfoto, tertawa, dan dielu-elukan. Di sisi lain, rakyat yang datang untuk menyaksikan justru berakhir di UGD, kamar jenazah, atau pulang dengan kaki patah dan dada sesak.
Akuntabilitas: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan mendasar kini menggema: siapa yang bertanggung jawab atas nyawa dan luka yang ditinggalkan?
Apakah Bupati dan panitia akan memberikan ganti rugi?
Apakah ada penyelidikan independen?
Apakah pejabat daerah akan meminta maaf secara terbuka dan mengambil pelajaran?
Hingga kini, publik belum mendengar pernyataan penyesalan yang setara dengan skala tragedi ini. Jika duka warga hanya dianggap sebagai “efek samping” dari perayaan elit, maka di sinilah demokrasi kita sedang dirusak dari dalam: oleh kekuasaan yang lupa diri dan pesta yang mengabaikan nyawa.
Penutup: Rakyat Bukan Dekorasi Politik
Esensi dari pesta rakyat seharusnya adalah kebersamaan yang aman dan bermartabat. Tapi dalam kasus ini, rakyat justru diposisikan sebagai latar, sebagai kerumunan, sebagai penggembira, bukan sebagai subjek yang dilindungi.
Jika tragedi ini tak menjadi pelajaran, maka pesta demi pesta ke depan hanya akan mengulang luka yang sama, mengubur martabat rakyat di bawah karpet merah kekuasaan.
Rakyat bukan figuran. Mereka bukan massa yang bisa dipanggil lalu dibiarkan tanpa perlindungan. Mereka adalah jiwa yang harus dihormati, bukan hanya saat kampanye, tapi juga saat pesta. (Dirgantara/Yus MM)*
0 Komentar