Pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren: Hadiah Hari Santri dan Refleksi dari Tragedi Ponpes Al Khoziny
JAKARTA, kiprahkita.com –Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi memerintahkan Kementerian Agama (Kemenag) untuk membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren. Keputusan ini disampaikan melalui surat resmi yang diterbitkan pada tanggal 21 Oktober 2025, dan menjadi salah satu kebijakan penting yang diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober kemarin.
![]() |
Latar Belakang dan Alasan Pembentukan Ditjen Pesantren
Sebelum keputusan Presiden Prabowo diumumkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama mengusulkan pembentukan unit khusus di bawah Kemenag yang berfokus pada pendidikan kepesantrenan. Menurut MUI, jumlah pondok pesantren yang mencapai lebih dari 40.000 lembaga menuntut adanya struktur birokrasi yang kuat dan terpusat agar pengawasan, pembinaan, serta standarisasi pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Selama ini, pengelolaan pesantren berada di bawah Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Namun, kapasitas direktorat tersebut dianggap belum memadai untuk menjangkau seluruh pesantren, baik dari sisi jumlah maupun kompleksitas permasalahan yang dihadapi di lapangan.
Tragedi Ponpes Al Khoziny memperlihatkan secara nyata lemahnya pengawasan terhadap standar keselamatan bangunan dan tata kelola pesantren. Peristiwa itu menjadi titik balik bagi pemerintah untuk memperkuat struktur kelembagaan agar dapat melindungi santri, tenaga pengajar, dan seluruh pihak yang terlibat di dunia pesantren.
Tujuan dan Harapan Pembentukan Ditjen Pesantren
Pembentukan Ditjen Pesantren diharapkan menjadi bentuk penghargaan dan perhatian nyata kepada dunia pesantren, yang selama ini menjadi salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan nasional. Pesantren tidak hanya berperan dalam pendidikan agama, tetapi juga dalam pembentukan karakter, kemandirian, dan semangat kebangsaan para santri.
Dengan adanya Ditjen khusus, pemerintah dapat: Mengawasi dan membina pesantren secara lebih efektif dan sistematis. Menstandarisasi kurikulum dan manajemen pesantren agar sesuai dengan prinsip keselamatan, pendidikan, dan ketertiban. Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik serta kualitas sarana-prasarana pesantren. Menjamin perlindungan hukum dan sosial bagi santri, terutama dalam aspek keamanan dan kesejahteraan hidup di lingkungan pondok.
Selain itu, Presiden Prabowo juga menilai pesantren memiliki potensi besar dalam membangun sumber daya manusia unggul, terutama di bidang kemandirian ekonomi, teknologi, dan keterampilan praktis. Karena itu, pembinaan pesantren ke depan tidak hanya akan berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga pemberdayaan ekonomi umat dan pendidikan vokasi bagi santri.
Kebijakan pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren merupakan langkah strategis dan simbolis yang menunjukkan keberpihakan negara terhadap dunia pesantren. Tragedi Ponpes Al Khoziny memang menyisakan duka, namun juga menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem pendidikan keagamaan di Indonesia.
Dengan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah, diharapkan pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat pembentukan karakter, inovasi, dan kemandirian bangsa—sesuai dengan semangat Hari Santri: Santri Siaga Jiwa dan Raga untuk Indonesia Jaya. (YS)*

0 Komentar