Refleksi atas Kasus Kepala Sekolah Menampar Siswa di SMAN 1 Cimarga

Refleksi atas Kasus Kepala Sekolah Menampar Siswa di SMAN 1 Cimarga

Oleh : Ali Nurdiansyah, S.Pd., M.Kom.

Guru Pesantren Kauman Kota Padang Panjang

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Publik baru-baru ini dikejutkan oleh pemberitaan mengenai tindakan seorang kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Banten, yang menampar seorang siswa karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Peristiwa ini segera menjadi viral dan menimbulkan beragam reaksi, mulai dari kecaman hingga pembelaan terhadap tindakan disiplin tersebut.

Kejadian ini sejatinya membuka kembali ruang refleksi terhadap arah pendidikan kita hari ini, apakah pendidikan masih berfungsi membentuk karakter, atau sekadar menjalankan prosedur hukum tanpa ruh moral dan kedisiplinan?

Kita tidak menafikan bahwa kekerasan fisik dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Namun, di sisi lain, jangan pula kita menutup mata terhadap merosotnya nilai-nilai hormat, adab, dan kedisiplinan di kalangan pelajar. Guru dan kepala sekolah bukanlah musuh; mereka adalah pembimbing yang berusaha menjaga generasi agar tidak terjerumus pada perilaku yang menyimpang.

Yang perlu dikritisi justru cara sebagian masyarakat menggunakan undang-undang secara keliru untuk menekan otoritas pendidikan. UU Perlindungan Anak, misalnya, seyogyanya dimaknai sebagai upaya melindungi hak tumbuh kembang anak, bukan alat untuk membungkam disiplin dan kewibawaan pendidik di sekolah.

Berbeda dengan generasi sebelumnya, kami tumbuh di masa di mana dimarahi, dihukum, bahkan ditampar guru bukanlah aib, melainkan bentuk kasih sayang dan tanggung jawab moral agar kami belajar dari kesalahan. Kami tidak pernah melawan guru, karena kami tahu, setiap teguran adalah bentuk perhatian bukan kebencian.

Kini, seolah batas antara mendidik dan melanggar hukum menjadi kabur. Masyarakat mudah menghakimi guru, tanpa memahami konteks dan niat baik di balik tindakan seorang pendidik. Demikian juga perubahan berbahasa di tengah masyarakat kita, Sumatera Barat saat ini. Ada yang mulai berubah pada pembentukan karakter anak lelaki. Sederhana sih masalah kebahasaan tentang inisial.

Seperti kata "Ang misalnya dalam bahasa Minangkabau, dulu bukanlah kata kasar atau bercarut." Sejatinya memindai perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Dulu kata "Ang" dipakai untuk lelaki sejati. Namun, dalam perkembangannya kata "Ang" dianggap bercarut. Hingga saat ini kaburlah jenis kelamin anak lelaki. Mereka menjadi tak berkarakter tangguh lagi, mudah tersinggung bila ditegur guru apalagi ditampar seperti kasus di atas. Mereka pun tak tegar lagi. Rapuh seperti buah strawbery.

Padahal di sanalah letak ketegasan mendidik laki-laki dan perempuan. Biasa saja pada masa dulu anak lelaki mendapat hukuman lebih keras dari anak putri. Coba mengadu di rumah, orang tua malah akan menambah hukuman untuk putranya karena, "Ang laki-laki." 

Nah, Seyogyanya dunia pendidikan tetap diberi ruang untuk menegakkan aturan dan disiplin. Orang tua dan masyarakat jangan serta-merta mencampuri kebijakan internal sekolah tersebut, apalagi dengan nada emosional yang memperkeruh suasana. Sebab, tanpa wibawa guru, pendidikan kehilangan ruhnya. Tanpa rasa hormat murid kepada guru, masa depan bangsa akan kehilangan arah dan moralnya.

Posting Komentar

0 Komentar