JAKARTA, kiprahkita.com –Simbol terkadang berbicara lebih kuat daripada angka. Begitu pula dengan penampilan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengenakan topi bertuliskan “8%” — target ambisius pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Gaya santai sang menteri seolah menyampaikan pesan bahwa pemerintah ingin menumbuhkan semangat optimisme di tengah stagnasi ekonomi. Namun di balik simbol tersebut, realitas menunjukkan jalan yang masih panjang dan terjal.
![]() |
1. Makna di Balik Simbol “8%”
Topi bertuliskan “8%” bukan sekadar gimmick visual. Ia melambangkan visi besar pemerintah untuk membawa Indonesia keluar dari “jebakan pertumbuhan 5%” yang telah berlangsung hampir satu dekade. Dalam unggahan videonya, Purbaya menegaskan, “Ini target presiden, tapi kita wujudkan dalam beberapa tahun ke depan.” Kalimat sederhana ini menggambarkan perpaduan antara optimisme politik dan tanggung jawab teknokratis.
Namun, angka 8% bukan sekadar target, melainkan ambisi transformatif. Ia menuntut lompatan besar di berbagai sektor—mulai dari industrialisasi, investasi produktif, hingga peningkatan daya beli masyarakat. Dengan pertumbuhan saat ini yang masih berada di kisaran 5%, tantangannya bukan hanya soal kebijakan, melainkan juga soal kapasitas struktural ekonomi nasional.
2. Realitas Ekonomi yang Masih Tertahan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar antara 4,8%–5,1%. Stabil, tetapi belum akseleratif. Faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi Tiongkok, fluktuasi harga komoditas, dan geopolitik global terus menekan ekspor dan investasi. Sementara di dalam negeri, birokrasi lamban, produktivitas rendah, dan ketimpangan antarwilayah masih menjadi batu sandungan klasik.
Dalam konteks ini, target 8% tampak seperti visi politik yang jauh dari kapasitas aktual ekonomi. Pemerintah memang telah merancang peta jalan dalam RPJMN 2025–2029, yang menaikkan pertumbuhan secara bertahap dari 5,3% hingga 8% pada 2029. Namun tanpa reformasi struktural nyata, angka itu berpotensi menjadi ilusi optimisme ketimbang hasil konkret.
3. Menakar Strategi Fiskal dan Struktural
Pemerintah menempatkan Kementerian Keuangan sebagai garda terdepan dalam akselerasi ekonomi. Fokusnya diarahkan pada pembiayaan produktif, hilirisasi industri, dan penguatan UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja nasional. Secara teoritis, strategi ini tepat. Namun efektivitasnya bergantung pada sinkronisasi lintas sektor—antara fiskal, industri, investasi, dan kebijakan daerah.
Di sinilah masalah klasik Indonesia muncul: fragmentasi kebijakan dan kurangnya konsistensi implementasi. Reformasi fiskal sering tersandera oleh politik anggaran dan prioritas populis. Investasi produktif tak jarang terbentur oleh perizinan dan ketidakpastian regulasi. Maka, untuk mewujudkan “topi 8%” menjadi kenyataan, diperlukan kebijakan yang berani, terintegrasi, dan bebas kompromi politik jangka pendek.
4. Optimisme Simbolik vs Aksi Nyata
Topi “8%” bisa dibaca sebagai upaya komunikasi baru pemerintah—ringan, personal, dan optimistis. Pendekatan seperti ini penting untuk membangun kepercayaan publik, terutama di tengah pesimisme pascapandemi dan ketidakpastian global. Namun simbol tanpa aksi hanya akan melahirkan skeptisisme baru.
Sebagaimana dikatakan Purbaya, pertumbuhan ekonomi tidak dapat bergantung pada pemerintah semata. Diperlukan kolaborasi antara sektor swasta, masyarakat, dan pelaku usaha agar pertumbuhan benar-benar inklusif. Optimisme harus diimbangi dengan langkah konkret: percepatan belanja produktif, efisiensi birokrasi, dan peningkatan kualitas tenaga kerja.
5. Kesimpulan: Antara Harapan dan Kenyataan
Topi “8%” menjadi simbol ambisi nasional yang patut diapresiasi, tetapi juga sekaligus cermin realitas yang menuntut introspeksi. Dalam ekonomi, keyakinan adalah bahan bakar, tetapi struktur dan kebijakan adalah mesin penggerak. Selama mesin itu belum sepenuhnya disetel dengan baik, laju 8% akan tetap menjadi slogan di atas topi, bukan angka di laporan BPS.
Purbaya telah memainkan peran komunikator optimisme. Kini tantangannya adalah membuktikan bahwa optimisme itu bukan sekadar retorika, melainkan strategi ekonomi yang berani, terukur, dan berpihak pada produktivitas nyata. (BS)*

0 Komentar