Basarnas Akhiri Pencarian Korban Banjir Aceh dan Pemulihan Tak Boleh Meninabobokan Korban

JAKARTA, kiprahkita.com Pemerintah mulai menggeser fokus penanganan bencana banjir besar di Sumatra dari fase tanggap darurat menuju pemulihan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyebut 12 kabupaten/kota terdampak banjir di tiga provinsi telah resmi memasuki masa transisi pemulihan, meski sejumlah daerah lain masih membutuhkan status darurat.

Dari total 52 kabupaten/kota terdampak di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, pemerintah mencatat sebagian wilayah telah menunjukkan kemajuan signifikan, baik dari sisi penanganan pengungsi, pemulihan infrastruktur, hingga layanan dasar masyarakat.

“Alhamdulillah, berkat gotong royong semua pihak, 12 kabupaten/kota sudah masuk fase transisi pemulihan. Namun di Aceh masih ada 11 kabupaten yang memperpanjang status tanggap darurat,” ujar Pratikno dalam konferensi pers, Kamis (25/12).

Menurut Pratikno, perpanjangan status darurat di sejumlah daerah dilakukan agar penanganan kebutuhan mendesak warga dapat dituntaskan secara optimal dan pemerintah daerah benar-benar siap memasuki fase pemulihan penuh.

Hunian Sementara Dipercepat

Memasuki fase pemulihan, pemerintah memprioritaskan pembangunan hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) bagi warga terdampak.

Di Sumatera Barat, pembangunan huntara telah berjalan di enam kabupaten/kota. Sumatra Utara mencatat pembangunan di tiga wilayah dan terus bertambah. Sementara di Aceh, satu kabupaten telah memulai pembangunan, sedangkan daerah lain masih dalam tahap persiapan, dengan kendala utama pada penyediaan lahan.

Pemerintah pusat bersama daerah terus mendorong percepatan pematangan lahan dan perencanaan agar warga dapat segera keluar dari pengungsian.

90 Persen Jalan Nasional Kembali Tersambung

Pemulihan infrastruktur menunjukkan kemajuan signifikan. Pemerintah mencatat 72 dari 81 ruas jalan nasional yang terdampak banjir dan longsor di tiga provinsi telah kembali berfungsi atau sekitar 90 persen.

Sembilan ruas lainnya masih dalam proses percepatan pengerjaan dan ditangani secara simultan tanpa henti.

“Pemulihan konektivitas menjadi prioritas utama agar distribusi logistik, layanan darurat, dan aktivitas masyarakat kembali normal,” kata Pratikno.

Korban Jiwa Bertambah, Pencarian Terus Dilakukan

Sementara itu, jumlah korban jiwa akibat banjir di Sumatra terus bertambah. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari melaporkan hingga Kamis (25/12), korban meninggal mencapai 1.135 jiwa, dengan 173 orang masih dinyatakan hilang.

Penambahan korban tersebut merupakan hasil dari operasi pencarian dan evakuasi yang terus berlangsung di lapangan.

Sekolah Ditargetkan Buka Awal Januari 2026

Pemerintah juga mempersiapkan pembukaan kembali sekolah di wilayah terdampak banjir. Pratikno menyatakan kegiatan belajar-mengajar ditargetkan kembali berjalan pada awal Januari 2026.

Di Aceh, sekitar 65 persen sekolah telah disiapkan melalui pembersihan dan revitalisasi fasilitas. Sementara di Sumatra Barat dan Sumatra Utara, tingkat kesiapan sekolah telah mendekati 90 persen.

“Pembukaan sekolah bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga penting untuk pemulihan psikososial anak-anak penyintas bencana,” ujar Pratikno.

Basarnas Akhiri Operasi Pencarian di Aceh

Di sisi lain, Basarnas resmi menghentikan operasi pencarian korban banjir di Aceh setelah dilakukan selama 31 hari tanpa temuan baru.

Kepala Basarnas Banda Aceh Ibnu Harris Al Hussain menyatakan operasi kini dialihkan ke tahap pemantauan.

“Dengan rentang waktu lebih dari satu bulan, kemungkinan korban hilang ditemukan selamat sangat kecil. Namun tim SAR tetap siaga jika ada laporan baru dari masyarakat,” katanya.

Hingga kini, 31 orang masih dinyatakan hilang di Aceh.

Aceh Perpanjang Status Tanggap Darurat

Pemerintah Provinsi Aceh resmi memperpanjang status tanggap darurat hingga 8 Januari 2026. Keputusan ini diambil karena masih banyak wilayah yang membutuhkan penanganan cepat, terutama distribusi logistik, layanan kesehatan, dan pemulihan fasilitas umum.

Data posko tanggap darurat Aceh per Kamis (25/12) mencatat: 504 orang meninggal dunia, 31 orang hilang, 343.387 jiwa mengungsi di 2.174 titik, 133.534 rumah rusak, 1.098 titik jalan rusak, 600 sekolah rusak, 492 jembatan rusak.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf menginstruksikan seluruh perangkat daerah untuk bekerja secara terfokus dan masif agar pemulihan berjalan lebih cepat dan tepat sasaran.

Pemulihan yang Tak Boleh Meninabobokan

Pemerintah boleh saja mengumumkan bahwa 12 daerah di Sumatra telah memasuki fase pemulihan. Angka “90 persen jalan tersambung” terdengar meyakinkan. Sekolah disebut siap dibuka. Operasi SAR dihentikan. Namun di balik deretan persentase dan konferensi pers, ada satu pertanyaan yang tak boleh luput: pulih versi siapa?

Bagi negara, pemulihan sering kali diukur lewat statistik—berapa kilometer jalan kembali dilewati, berapa huntara mulai dibangun, berapa sekolah siap beroperasi. Tetapi bagi warga yang kehilangan keluarga, rumah, dan masa depan, pemulihan adalah soal rasa aman yang belum kembali, tentang tanah yang masih labil, tentang trauma yang tak tercantum dalam tabel BNPB.

Penghentian operasi pencarian oleh Basarnas di Aceh adalah contoh paling jelas dari batas antara rasionalitas negara dan luka kemanusiaan. Secara prosedural, keputusan itu masuk akal: 31 hari, peluang hidup nyaris nol. Namun secara moral, ia meninggalkan kesan getir—bahwa pada titik tertentu, negara harus menutup buku dan melanjutkan agenda, sementara sebagian warga masih terjebak dalam bab kehilangan yang belum selesai.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pemulihan fisik tampak melaju lebih cepat dibanding refleksi struktural. Banjir dan longsor ini bukan sekadar bencana alam; ia adalah bencana ekologis dan kebijakan. Jutaan hektare izin sawit, tambang yang mengoyak hulu sungai, dan tata ruang yang longgar pengawasan telah berulang kali diperingatkan oleh alam. Sayangnya, setiap bencana berlalu, negara cenderung sibuk menambal akibat, bukan mencabut akar.

Aceh yang masih memperpanjang status tanggap darurat menunjukkan satu hal penting: pemulihan tidak bisa diseragamkan. Setiap daerah memiliki tingkat kerusakan, kapasitas birokrasi, dan kerentanan sosial yang berbeda. Maka narasi optimistis berskala nasional harus hati-hati agar tidak berubah menjadi pemoles kegagalan lokal. Intuisi Gubernur Aceh akan hal ini tentu lebih peka untuk rakyatnya.

Pembukaan sekolah awal Januari 2026 memang krusial, bukan hanya demi kalender akademik, tetapi sebagai jangkar normalitas bagi anak-anak penyintas. Namun jangan lupa bagi anak terdampak yang tidak memiliki rumah apalagi orang tua lagi: belajar di ruang kelas yang berdiri di atas trauma tanpa dukungan psikososial yang memadai hanya akan melahirkan generasi yang diam, bukan pulih.

Pemulihan sejati seharusnya lebih dari sekadar transisi status. Ia menuntut keberanian politik untuk meninjau ulang izin-izin bermasalah, membenahi tata ruang, dan mengakui bahwa sebagian bencana ini adalah produk pilihan manusia, bukan murka alam semata.

Jika tidak, maka fase “pemulihan” hanyalah jeda singkat sebelum siklus berikutnya datang—dengan korban baru, statistik baru, dan konferensi pers yang kembali mengulang kalimat lama: “Alhamdulillah, situasi mulai terkendali.”

Padahal yang sesungguhnya belum pernah benar-benar dikendalikan adalah keserakahan yang menggerus alam, dan ketidakseriusan dalam belajar dari bencana. Moga ada solusinya. (HI/BS)*

Posting Komentar

0 Komentar