ACEH, kiprahkita.com –Di tengah musibah besar yang melanda Sumatera, suara Haedar Nashir tampil tegas sebagai penegasan moral yang jernih: kemanusiaan tidak boleh menunggu status. Muhammadiyah dengan tegas menyatakan bahwa kerja-kerja penanggulangan bencana tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya label Status Bencana Nasional.
Sikap ini bukan sekadar pernyataan organisatoris, melainkan kritik halus sekaligus koreksi etis terhadap kecenderungan birokratis dan politisasi bencana yang kerap terjadi.
Ketika penderitaan meluas, korban berjatuhan, dan kehidupan masyarakat lumpuh, yang paling dibutuhkan bukanlah perdebatan administratif, melainkan gerak cepat, empati kolektif, dan solidaritas nyata. Dalam konteks ini, imbauan Haedar agar seluruh elemen bangsa—pemerintah, organisasi kemasyarakatan, kelompok sosial, hingga individu—bergerak secara simultan dan terintegrasi adalah pesan yang sangat relevan. Bencana tidak mengenal sekat institusi, maka respons pun tidak boleh terfragmentasi.
Muhammadiyah menempatkan diri pada posisi yang konsisten dengan jati dirinya sebagai gerakan Islam berkemajuan: hadir langsung di tengah penderitaan, bekerja sejak fase tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi yang panjang dan melelahkan. Fokus ini menunjukkan pemahaman bahwa bencana bukan peristiwa sesaat, melainkan krisis kemanusiaan berlapis yang dampaknya berlangsung lama. Banyak korban justru menghadapi kesulitan terbesar setelah sorotan media meredup.
Peringatan Haedar agar semua pihak tidak terjebak pada opini dan manuver politis juga patut digarisbawahi. Dalam sejarah kebencanaan di Indonesia, tidak jarang tragedi kemanusiaan ditunggangi kepentingan citra, rivalitas, bahkan propaganda. Sikap seperti itu bukan hanya tidak etis, tetapi juga melukai rasa keadilan korban. Di saat duka masih basah, politisasi adalah bentuk kekerasan simbolik yang mencederai nurani publik.
Dengan tidak menjadikan status nasional sebagai prasyarat kepedulian, Muhammadiyah mengirim pesan kuat: kemanusiaan bersifat universal, mendesak, dan tidak bisa ditunda oleh prosedur. Negara tetap memiliki tanggung jawab konstitusional yang utama, namun masyarakat sipil tidak boleh pasif menunggu. Justru dalam sinergi yang tulus, tanpa ego sektoral dan kepentingan sempit, daya bangsa diuji dan martabat kemanusiaan ditegakkan.
Sikap Muhammadiyah ini adalah cermin bahwa dalam bencana, ukuran tertinggi bukanlah keputusan politik, melainkan keberpihakan pada korban. Saat musibah datang, yang dibutuhkan bukan siapa paling berwenang, tetapi siapa paling dahulu peduli dan paling siap bekerja.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau, di saat musibah yang berat ini maka sewajibnya semua pihak baik institusi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, kelompok-kelompok sosial, maupun perorangan dari warga bangsa menyampaikan duka, simpati, empati, dan terlibat aktif dalam penanggulangan bencana di Sumatera ini.
“Seluruhnya mesti bergerak bersatu secara simultan dan terintegrasi tanpa berjalan sendiri-sendiri. Karenanya kami minta seluruh keluarga besar Persyarikatan Muhammadiyah betul-betul fokus pada upaya penanggulangan bencana sampai bersambung ke fase rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan berlangsung panjang”, ujar Haedar.
Lebih jauh Haedar mengingatkan seluruh institusi seksama dalam menghadapi suasana musibah yang sangat berat dan meluas itu dengan mengutamakan penanganan masalah-masalah dalam fase penanggulangan bencana disertai sikap kepedulian yang tinggi.
“Jangan terganggu dan tercampuri dengan opini-opini, apalagi langkah-langkah yang bersifat politis,” jelas Haedar. (IBTims.ID)
Suara Warga: Giliran Muhammadiyah Desak Pemerintah Tetapkan Status Bencana Nasional
SEA Games sudah selesai, kita kembali fokus pada penanganan bencana tanda tangan di tanah Sumatera. Sejauh ini, pemerintah bergeming. Tak mau menetapkan status bencana nasional. Ormas Muhammadiyah selama ini cukup sabar, akhirnya bersuara lantang. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
![]() |
Negara ini memang punya bakat langka. Bisa menatap 1.090 jenazah sambil berkata, “situasi masih terkendali.” Terkendali seperti kapal Titanic yang kaptennya masih sibuk menyisir rambut karena orkestranya belum berhenti main. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, air bukan lagi sekadar banjir, tapi sudah naik pangkat jadi algojo. Longsor bukan cuma tanah jatuh, tapi kalender kematian harian. Dari 13 Desember yang “baru” 1.006 korban, naik ke 1.059, lalu 1.071, lalu 1.090 per 20 Desember 2025. Tapi pemerintah tetap kalem, seolah angka itu cuma skor pertandingan persahabatan, bukan nyawa manusia.
Di tengah absurditas itu, Muhammadiyah masuk ke panggung. Melalui LBH Advokasi Publik PP Muhammadiyah, mereka bilang, “Tetapkan bencana nasional!” Bukan buat gaya-gayaan, tapi supaya negara bisa benar-benar mengerahkan semua sumber daya. Bukan setengah napas sambil hitung citra. Ikhwan Fahrojih menyampaikannya dengan bahasa sopan, santun, beradab, bahasa yang tampaknya sudah jadi bahasa asing di ruang kekuasaan. Katanya, status darurat nasional itu instrumen penting agar penanganan maksimal. Terjemahan kasar untuk pemerintah, ini bukan urusan kecil, berhenti pura-pura kuat.
Desakan itu bukan hasil meditasi di ruang ber-AC. Itu lahir dari suara warga yang kehilangan rumah, relawan yang kelelahan, dan fakta telanjang, kehadiran negara di lapangan terasa seperti WiFi gratis, ada namanya, tapi tak bisa dipakai. Lebih kejam lagi, ketika logistik tersendat, listrik padam, wilayah terisolasi, pemerintah justru menolak bantuan asing. Alasannya mulia, kedaulatan. Dampaknya banal, rakyat menderita. Ironi macam apa ini, ketika gengsi nasional lebih kenyang dari perut pengungsi? Ikhwan menohok halus tapi mematikan, kalau tak mau bantuan luar, buktikan negara mampu menangani sendiri secara memadai. Jangan rakyat dijadikan korban uji coba “kami bisa kok”.
Mari lihat “terkendali” versi pemerintah. Lebih dari 526.868 orang mengungsi di 27 kabupaten/kota. Sebanyak 147 ribu rumah rusak berat, 1.600 fasilitas publik, sekolah, jembatan, rumah ibadah, hancur. Di Aceh saja sekitar 472 jiwa meninggal, Sumatra Barat 350, Sumatra Utara 268. Masih ada 186 orang hilang, yang oleh negara tampaknya dianggap sedang cuti panjang. BNPB bahkan mengingatkan potensi banjir susulan karena hujan masih rajin turun. Tapi tenang, kata elite, ini masih bisa di-handle. Handle pakai apa? Pidato? PowerPoint?
Sementara itu, di Jakarta, seorang advokat bernama Arjana Bagaskara Solichin sudah lebih dulu muak. Ia menggugat Presiden, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Kepala BNPB ke PTUN Jakarta. Alasannya sederhana tapi memalukan, banjir di Sumatra sudah memenuhi lima indikator bencana nasional dalam UU No. 24 Tahun 2007. Sidangnya mulai pertengahan Desember 2025, bahkan digelar tertutup, mungkin supaya realitasnya tidak ikut bocor ke publik. Sekarang pemerintah menghadapi tekanan ganda, satu dari individu, satu dari organisasi sebesar Muhammadiyah. Ini bukan serangan, ini alarm kebakaran yang bunyinya makin keras.
Muhammadiyah menegaskan mereka bukan cari panggung. Mereka siap mendampingi korban menggugat karena yang punya legal standing adalah masyarakat terdampak. Mereka tahu perannya, relawan menolong, warga bertahan, pengacara publik menggugat. Negara? Negara sibuk menimbang citra internasional, takut dunia melihat Indonesia sebagai negeri krisis. Padahal dunia sudah melihat lebih dulu angka korban di atas seribu jiwa. Menutupinya justru membuat tampilan kita seperti negara yang denial, bukan berdaulat.
Akademisi ikut angkat suara. Dari UIN Ar-Raniry, Tgk. Ajidar Matsyah bilang penderitaan rakyat Aceh mirip Gaza. Tokoh Gayo Aceh, Alwien Desry, menyebut banyak wilayah masih terisolasi. Pakar UIKA Bogor, Nandang Sutisna, menegaskan kapasitas daerah sudah jebol. Ini bukan opini emosional, ini diagnosis kolektif. Tapi pemerintah tetap ngotot, status nasional nanti mengurangi peran daerah. Logika macam apa ini? Ketika rumah terbakar, kita tak peduli siapa pegang selang, yang penting api padam.
Di sinilah Muhammadiyah berdiri, menampar kesadaran kita semua. Mereka mengkritik bukan untuk memperkeruh, tapi karena air sudah keruh sejak awal. Mereka membela rakyat ketika negara sibuk membela narasi. Mereka bersuara ketika pemerintah memilih diam berlapis alasan. Kalau organisasi masyarakat sipil saja masih punya sense of crisis, sementara negara tidak, maka yang sebenarnya darurat bukan cuma bencananya, tapi nurani kekuasaan.
Jangan salahkan publik kalau kecewa. Jangan heran kalau gugatan bermunculan. Jangan kaget kalau sejarah mencatat, di saat air menenggelamkan Sumatra, pemerintah memilih berdiri di tepian sambil berkata, “tenang, ini masih terkendali.” Untung masih ada Muhammadiyah, yang berani bilang, tidak, ini bencana nasional, dan negara seharusnya malu kalau masih menyangkalnya.( Irwandi Nashir)
-
Penulis:Wak Rosadi Jamani
Kaltim


0 Komentar