Sebulan Setelah Air Surut dari Banjir Bandang dan Longsor

JAKARTA, kiprahkita.com Banjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukanlah “kejadian alam biasa”. Sebulan setelah air mulai surut, catatan resmi menunjukkan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai 1.135 orang, dengan ratusan lainnya masih hilang dan puluhan ribu warga masih mengungsi tanpa rumah layak huni. BNPB menyatakan lebih dari 157.000 rumah rusak dan ribuan fasilitas publik lumpuh akibat bencana ini. BentengSumbar.com

Namun perhitungan statistik semata tidak mencerminkan kengerian di lapangan—bahwa bencana ini adalah puncak dari masalah kronis yang dilanggengkan oleh ketidakpastian kebijakan, degradasi lingkungan, dan minimnya kesiapsiagaan yang komprehensif.

Data pemerintah menunjukkan sejumlah progres: sebagian jalan nasional sudah berfungsi kembali, fasilitas pendidikan mulai dibersihkan, dan layanan dasar mencoba bangkit kembali. Bahkan sekolah di beberapa daerah sudah mendekati operasional normal dan ujian siswa dibuat lebih fleksibel karena dampak bencana. ANTARA News+1

Namun, fokus pada pemulihan teknis seperti jalan atau sekolah saja bukanlah jawaban tuntas. Apa artinya jalan yang bisa dilalui kembali bila ribuan keluarga kehilangan rumah mereka? Pemulihan yang adil adalah ketika dampak sosial, ekonomi, dan psikologis juga diperhitungkan, bukan sekadar “konektivitas” yang kembali normal.

Banjir dan longsor ini bukan murni fenomena meteorologis yang terjadi begitu saja. Penelitian dan laporan menunjukkan bahwa intensitas curah hujan ekstrem yang terjadi selama beberapa hari itu merupakan yang tertinggi dalam enam tahun terakhir — dampak nyata dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Reddit

Lebih jauh lagi, banyak pengamat lingkungan menyatakan bahwa deforestasi akibat aktivitas pertambangan dan penebangan ilegal memperparah bencana ini. Sistem akar tanaman yang hilang berarti tanah tidak mampu menahan aliran deras air hujan, sehingga longsor dan banjir menjadi lebih hebat. Malay Mail

Kebijakan pemerintah yang lamban dalam mencabut izin-izin lingkungan dipandang sebagai bagian dari masalah struktural yang lebih besar: prioritas ekonomi jangka pendek sering diberi ruang lebih besar daripada perlindungan ekosistem yang vital bagi masyarakat lokal.

Satu bulan setelah bencana, masih ada puluhan ribu orang tinggal di pengungsian dan ribuan bangunan belum pulih. Artikel BentengSumbar.com sendiri menegaskan: “jalan menuju kata pulih masih panjang.”

Pemerintah mengklaim penanganan berlangsung tanpa henti, tapi pertanyaan besar tetap: apakah respons yang ada cukup memadai? Bantuan untuk kebutuhan dasar memang ada, namun aspek seperti kesehatan mental bagi korban trauma dan rehabilitasi ekonomi masyarakat lokal kerap tidak disentuh secara serius media dan birokrasi.

Banyak pengungsi kehilangan mata pencaharian: petani kehilangan sawah, pedagang kehilangan lapak dan stok barang, anak-anak kehilangan sekolah. Hibah sementara dan huntara (hunian sementara) hanyalah permulaan, bukan solusi.

Bencana ini seharusnya menjadi momentum untuk refleksi kolektif: bagaimana kita memetakan ulang hubungan antara manusia, lingkungan, dan kebijakan negara? Penyusunan kembali tata ruang yang berorientasi pada risiko bencana. Penegakan hukum lingkungan yang konsisten, bukan hanya janji pencabutan izin. Penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam mitigasi awal bencana — bukan hanya respons pascabencana. Pendekatan pemulihan yang menyentuh aspek psikososial, bukan hanya fisik.

Tanpa perubahan struktural ini, tragedi seperti ini hanya akan terulang kembali.

Satu bulan setelah banjir bandang dan tanah longsor yang menghantam tiga provinsi di Pulau Sumatera pada akhir November lalu, kondisi di lapangan masih menunjukkan dampak yang sangat besar. Meski air bah telah banyak surut, jejak kehancuran masih terlihat di berbagai wilayah terdampak. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban meninggal terus meningkat. Hingga Kamis (25/12/2025), total korban tewas mencapai 1.135 orang, dengan 173 lainnya masih dinyatakan hilang. Aceh Utara menjadi daerah dengan jumlah korban jiwa tertinggi, diikuti Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. 

Sebanyak 489.864 warga dilaporkan masih mengungsi, sebagian besar di wilayah Aceh Utara, Aceh Tamiang, serta beberapa kabupaten di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Banyak warga kehilangan rumah atau memilih tetap tinggal di lokasi yang masih berisiko terjadi longsor atau banjir susulan. 

Kerusakan infrastruktur juga sangat luas. Data BNPB menunjukkan sekitar 157.838 rumah rusak—dengan 47.165 unit rusak berat—serta sekitar 1.900 fasilitas umum yang terdampak, termasuk fasilitas kesehatan, sekolah, rumah ibadah, gedung perkantoran, dan jembatan. Kerusakan tersebut memperlambat kembalinya layanan dasar masyarakat.

Penanganan Pemulihan yang Masih Berlangsung

Pemerintah menegaskan bahwa proses pemulihan tidak berhenti meskipun bersamaan dengan libur akhir tahun. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, menyatakan seluruh jajaran pemerintah tetap bekerja di lapangan untuk menangani dampak bencana tersebut secara intensif.

Beberapa daerah telah memasuki fase transisi menuju pemulihan, sedangkan sebagian lainnya masih membutuhkan penanganan darurat. Selain itu, pemerintah terus mempercepat pembangunan hunian sementara (huntara) bagi warga yang kehilangan rumah. Namun, tantangan besar masih muncul, termasuk ketersediaan lahan untuk pembangunan rumah darurat tersebut.

Selain itu, hampir seluruh jalan nasional yang terdampak banjir telah kembali berfungsi, meski beberapa ruas masih dalam proses perbaikan agar konektivitas dan distribusi logistik dapat berjalan lebih lancar. 

Gambaran Umum dan Tantangan ke Depan

Analisis situasi menunjukkan bahwa bencana ini dipicu oleh kombinasi curah hujan ekstrem, dipicu oleh kondisi atmosfer tertentu, serta kondisi lingkungan yang rentan akibat perubahan penggunaan lahan yang menurunkan daya serap tanah. Akibatnya, sistem drainase alami tidak mampu menahan volume air yang besar sehingga memicu banjir dan longsor masif. Human Initiative

Meski demikian, upaya penanganan terus berlangsung dengan dukungan berbagai pihak, termasuk lembaga kemanusiaan dan relawan di lapangan, demi mempercepat proses pemulihan di daerah-daerah terdampak. Human Initiative.

Posting Komentar

0 Komentar