Cara Minang Menyelesaikan Sengketa Kata

Oleh IRWANDI NASHIR

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Payakumbuh 


Anggang tabang bamangkuto

Rajo bajalan badaulaik

Alang sariknyo bakato-kato

Tiok kato baalamaik


Laporan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) atas dugaan ujaran kebencian kepada Persyarikatan Muhammadiyah, oleh seorang pimpinan pondok pesantren di Payakumbuh memasuki babak baru. Perkara itu kini diambil alih oleh Polda Sumbar.


Sebagai pelapor, Ketua AMM Kota Payakumbuh yang juga pemangku adat di Luhak Lima Puluh Kota, AA.Datuak Lelo sudah memenuhi panggilan Polda Sumbar untuk memberikan keterangan (Rabu, 12/5/2023).

H. IRWANDI NASHIR

Meski pepatah dikirai namuahnyo basah, dilampok namuahnyo kariang ada yang mendengungkan ke telinga pelapor, namun hingga kini laporan itu belum dicabut. 


Orang Minang sangat paham tentang cara menyelesaikan persoalan karena ujaran atau kata-kata ini. Pertama, disudi. Kedua, disiasati. Ketiga, disusuli, dan keempat, diparesoi.


Disudi adalah menanyakan sesuatu yang belum jelas agar menjadi jelas. Disiasati yaitu menanyakan sesuatu yang sebelumnya jelas, tapi kesudahannya jadi tidak jelas karena banyak hal yang perlu diperjelas.


Lalu, disusuli, yaitu menanyakan sesuatu dari ujung ke pangkal. Terakhir, diparesoi (periksa) yaitu menanyakan sesuatu dari pangkal ke ujung. Keempat cara itu perlu ditempuh agar jelas kedudukan ujaran atau kata yang dipersoalkan itu.


Apakah kata itu adalah kata mencari kawan, kata mencari lawan, atau kata tidak berlawan. Martabat kata tak lepas dari tiga kategori itu. Kata mencari kawan adalah kata berbalut kasih sayang untuk mengambil hati orang, walau dengan emas atau perak sekalipun.


Kata mencari lawan adalah kata yang tidak mengambil hati orang. Kata ini akhirnya menjadi permusuhan. Dan kata tidak berlawan adalah kata memelihara diri sendiri dan memelihara hati orang lain.


Nah, bagaimana kedudukan kata-kata atau ujaran, yang diproduksi oleh oknum mudir yang dilaporkan Angkatan Muda Muhammadiyah itu? Lalu, bagaimana cara penyelesaian kata-kata yang terlanjur menghebohkan itu?


Kembali mengingatkan, ada empat kata yang disematkan ke Persyarikatan Muhammadiyah: sekte, syi'ah rafidhoh, berislam tanpa ormas, dan ormas pemecah belah umat.


Dalam pada ikhtiar mencari jawaban yang tepat atas dua pertanyaan di atas, beredar pula rekaman wawancara tunggal sang mudir di sebuah telivisi lokal di Kota Padang.


Mesti judulnya klarifikasi, penilaian penonton atas wawancara itu sah-sah saja berbeda. Klarifikasi bisa saja disimpulkan penonton, menjadi sebuah justifikasi atau pembelaan atas kata-kata yang dikeluarkan.


Klarifikasi sang mudir atas kata-katanya itu adalah, bahwa deretan kata-kata itu adalah sebuah hentakan.


Hentakan agar mata orang terbelalak dan serius dengan urusan perbedaan hari raya ini. Meski disebut sebuah hentakan, yang pasti kata-kata itu telah terlanjur mengirimkan gelombang elektromagnetik kehebohan, kerisauan bercampur marah, kecewa ke hati pimpinan, kader, simpatisan, dan mereka yang kenal dengan persyarikatan yang usianya lebih tua dari republik ini.


Selain itu, wawancara tunggal sang mudir tak ayal mematik beragam respon. Kenapa satu orang yang diundang oleh stasiun televisi itu? Mestinya ada pembanding.


Di atas semua itu, tiga poin penting menjadi catatan saya: Pertama, apa yang terjadi saat ini, yaitu gonjang-ganjing soal hisab dan rukyat, hingga bermuara pada ketidaksiapan dalam perbedaan adalah dampak dari belum bersatunya "kitab kuning" dan "kitab putih".


Inilah dampak dari pendidikan dikotomis yang terjadi selama ini. Sains dijauhkan dari agama, dan saat yang sama kajian agama tak disapa oleh sains. Agama dan sains selama ini tidak didialogkan.


Kedua, diskusi soal hisab dan rukyat saat ini sudah tidak lagi sehat, akibat semua jari membuat kalimat di media sosial. Hingga tak bisa lagi dibedakan antara jari orang yang disebut alim dan jari si awam yang tak tahu apa-apa.


Buktinya, jari orang yang disebut alim oleh kaumnya bisa membuat gaduh meski dengan dalih untuk menghentak.


Kegaduhan seperti ini mesti diakhiri dengan membawa diskusi hisab dan rukyat itu ke medan ilmiah. Kajian rutin pekanan untuk para pendekar hisab di persyarikatan Muhammadiyah mesti digelar.


Ketiga, penyelesaian masalah karena kata-kata atau ujaran yang terlanjur membuat gaduh mesti mempunyai titik terang. Sekali lagi caranya: disudi, disiasati, disusuli, dan diparesoi. Wallaahu a'lam bisshowab.***

Posting Komentar

0 Komentar