![]() |
Prof. Haedar Nashir.(ist) |
YOGYAKARTA, kiprahkita.com - Muhammadiyah meminta, wacana pengontrolan masjid oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dibatalkan.
“Sejatinya, masyarakat itu kan punya self-mechanism, saling kontrol satu sama lain. Tapi ketika itu di-endorse oleh negara, mengawasi masjid, mengawasi gereja, dan seterusnya, itu justru berpotensi menciptakan konflik horizontal," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir.
Akar radikalisme mencakup berbagai aspek, termasuk ketidakadilan sosial dan hukum. Dengan demikian, fokus hanya pada aspek agama, terutama Islam, adalah pandangan yang sempit
Hal itu diungkapkannya, menanggapi wacana yang dikembangkan Kepala BNPT Rycko Amelza, yang ingin mengontrol rumah ibadah, sebagai upaya mencegah radikalisme dan promosi kebencian.
Jadi, sebut Haedar, di sinilah pentingnya kearifan, kecerdasan, dan tanggung jawab yang lebih luas, baik dari BNPT maupun instansi pemerintah, lebih-lebih akan Pemilu 2024 yang memerlukan suasana yang kondusif.
Haedar mendorong agar tidak melakukan generalisasi, atau bahkan kriminalisasi pada agama dan umat agama tertentu. Haedar menekankan, posisi agama dan umat beragama di Indonesia adalah poros kultural ketahanan NKRI.
Sementara, menurut laman muhammadiyah.or.id, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu'ti juga menilai tidak elok rencana BNPT mengontrol masjid dan rumah ibadah. Upaya tersebut, tegasnya, justru berpotensi menimbulkan masalah baru, daripada menyelesaikan isu radikalisme yang sedang dihadapi.
“Wacana yang disampaikan kepala BNPT agar masjid dikontrol oleh pemerintah bukan menyelesaikan masalah, tapi justru akan menimbulkan masalah baru,” tegasnya.
Mu’ti mengaku prihatin, kontrol pemerintah terhadap masjid, berpotensi menghasilkan formalisasi dan rezimentasi paham agama, yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Mengaitkan radikalisme hanya dengan (sudut pandang) teologi tidak relevan lagi. Akar radikalisme mencakup berbagai aspek, termasuk ketidakadilan sosial dan hukum. Dengan demikian, fokus hanya pada aspek agama, terutama Islam, adalah pandangan yang sempit," ucapnya.
Menurutnya, melihat radikalisme hanya pada masalah agama, khususnya Islam, adalah pandangan yang bias. Radikalisme agama, jelas Mu'ti, tidak hanya terdapat di dalam Islam, tapi juga agama lainnya.
"Radikalisme tidak hanya terjadi dalam agama, tapi dalam bidang lainnya termasuk ekonomi, kebudayaan, dan politik,” ucap Mu’ti. (muhammadiyah.or.id; ed. mus)
0 Komentar