Menapak Kiprah Buya AR St. Mansur (Bagian Kedua)

KLIK DI SINI UNTUK MEMBACA BAGIAN PERTAMA ARTIKEL

PADANG PANJANG, kiprahkita.com - Dalam sumber yang sama, Ketua Umum PB Muhammadiyah Kyai Ibrahim mengizinkan rencana Haji Rasul. Sebagai kelanjutannya, Sekolah Agama ‘Sandi Aman’ diubah namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. 

Sutan Mansur ditunjuk PB Muhammadiyah sebagai wakil resmi di Maninjau. Istrinya, Fatimah oleh PB ditunjuk sebagai wakil resmi ‘Aisyiyah untuk wilayah itu.

Kedatangan Muhammadiyah di Minangkabau pada 1925, semakin menguatkan posisi modernisme Islam di Tanah Minang yang sudah menempati posisi terhormat oleh karya tiga perintisnya, yaitu Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeh Djambek, beserta Sumatra Thawalib dan Diniyah. 

Demikian ungkap Alfian dalam Muhammadiyah: The Political Behaviour of A Muslim Modernist Under Dutch Colonialism (1989).

Ditemani oleh Hamka beserta Fatimah, Sutan Mansur pada 1925 meninggalkan Pekalongan, guna menemani Haji Rasul melebarkan dakwah Muhammadiyah di Sumatera. 

Menurut Yusran Rusydi dalam Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2017), Hamka setibanya di Sumatera segera kembali ke Padang Panjang, guna mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah Ayahnya. Setelah itu, ia menjadi pengiring setia Sutan Mansur dalam mendakwahkan Muhammadiyah di Sumatera.

Kepiawaian Sutan Mansur dalam mengambil hati pendengarnya, merupakan anugerah yang memudahkan dakwahnya selama di Sumatera. Sehingga kemudian banyak warga Sumatera, yang bergabung dengan Muhammadiyah.

Sutan Mansur dapat menarik perhatian hadirin yang bagai bergantung pada bibirnya. Ia bisa bicara serius, bisa juga membawakan kelakar yang menyebabkan hadirin tertawa terpingkal-pingkal. 

Beliau benar-benar berhasil dalam menumbuhkan ingatan pendengarnya, demikian tulis Deliar Noer dalam Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa (1996).

Slamet Abdullah dan Muslich dalam Seabad Muhammadiyah dalam Pergumulan Budaya Nusantara (2010) menyebutkan, sifat Sutan Mansur yang akomodatif, bijaksana dan tidak frontal dalam berdakwah, membuat dirinya mudah dalam meraih dukungan dari para Raja dan Sultan di Sumatera, untuk mendukung dakwah Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah dapat berdiri di Kotaraja, Sigli, dan Lhoukseumawe.

Tercatat, Sutan Mansur berhasil mengadakan tabligh di Medan pada 1927. Pada 1929 Sutan Mansur dibantu Hamka dan ayahnya, berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai sehingga sampai 1930 Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Slamet dan Muslich lebih lanjut menjelaskan, setelah Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau pada 14-26 Maret 1930, lahir sebuah keputusan agar setiap Karesidenan memiliki wakil dari Hoofdbestuur Muhammadiyah yang disebut sebagai ‘Konsul Muhammadiyah’. 

Atas keputusan ini, Sutan Mansur lalu dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Minangkabau, termasuk uantuk wilayah Tapanuli dan Riau pada 1931 hingga 1944.

Terputusnya hubungan Jawa dan Sumatera, yang dibedakan berdasar wilayah komando pada masa pendudukan Jepang, membuat Sutan Mansur memegang kendali penuh Muhammadiyah di seluruh Sumatera.

Dalam Pergerakan Islam dan Muhammadiyah di Sumatera dalam Almanak Muhammadiyah 1927-1928, Sutan Mansur mencatat, dari hasil kerja keras dirinya dibantu Haji Rusli dan puteranya, anggota resmi Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan Maninjau saja pada masa itu telah mencapai angka 3.644 orang. 

Jika Kyai Mas Mansur berpendapat, umat Islam mundur karena porsi pendidikan akhirat yang terlalu banyak, sehingga melupakan dunia sebagai ladang akhirat, AR Sutan Mansur melengkapinya dengan pendapat, bangsa Indonesia menjadi mundur karena terlampau berlebihan mengagungkan materi dan urusan dunia, sehingga lupa kehidupan akhirat.

Ketika Ki Bagus Hadikusumo pada 1953 tidak mampu lagi menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, karena kesehatannya yang kian melemah, hasil Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto menetapkan AR Sutan Mansur sebagai ketua umum PB Muhammadiyah. Setelah terbitnya keputusan tersebut, Sutan Mansur bersama keluarganya segera berkemas menuju Jawa.

Tiba di pelabuhan Semarang pada Februari 1954, deretan mobil yang menjemput Sutan Mansur mengiringinya, hingga tiba di alun-alun Yogyakarta yang telah ramai oleh ribuan warga Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. 

Selepas menunaikan Shalat Zuhur di Masjid Kauman, Sutan Mansur memberikan fatwa dan amanat kepada warga Muhammadiyah di serambi masjid, demikian tercatat dalam 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010).

Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran (2005) menyebutkan, AR Sutan Mansur sebetulnya telah diajukan oleh Kiai Haji Mas Mansur untuk menjadi ketua umum PB Muhammadiyah, dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta 1937, dengan alasan beliau memiliki ketabahan, kewibawaan dan keilmuan.(BERSAMBUNG)

Artikel ini ditulis oleh AFANDI dari muhammadiyah.or.id dengan pengeditan seperlunya. Disunting kembali setelah diterbitkan potretkita.net yang kini menjadi potretkit4.blogspot.com

Posting Komentar

0 Komentar