Menapak Kiprah Buya AR St. Mansur

 

Buya AR. Sutan Mansur. (muhammadiyah.or.id)

PADANG PANJANG, kiprahkita.com - Nama Buya AR Sutan Mansur. sudah tidak asing lagi bagi umat Islam, khususnya keluarga besar Persyarikaran Muhammadiyah. Beliau pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1956-1959. 


Ketua PB Muhammadiyah ketujuh; Kiai Yunus Anis menyebut AR Sutan Mansur sebagai ‘Bintang Muhammadiyah dari Barat’. Gelar ini diberikan karena kedalaman ilmu tasawuf yang dimiliki. 


Sementara itu, gelar ‘Bintang Muhammadiyah dari Timur’ diberikan Junus Anies, kepada Kiai Mas Mansur yang memiliki keluasan ilmu dalam bidang filsafat.


Ilmu agamanya memang amat dalam. Itu pulalah sebabnya, buya diminta menjadi berbagai penasihat keagamaan pada berbagai institusi, khususnya di Indonesia.


Menurut buku Mengenal Tokoh-tokoh Muhammadiyah (2021) yag ditulis Siti Nur Aisyah dijelaskan, untuk urusan kepenasihatan itu, Buya pernah jadi penasihat keagamaan Soekarno, ketika beliau diasingkan pada tahun 1938 ke Bengkulu.


Buya diangkat oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, sebagai Imam atau Guru Agama Islam untuk TNI Komandemen Sumatera di Bukittinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler dari 1947 sampai 1949.


Selepas menjalankan tugas itu dia dengan baik dan penuh tanggungjawab, Sutan Mansur pada 1950 diminta oleh TNI Angkatan Darat untuk menjadi penasehat di Mabes TNI. 


Akan tetapi, Sutan Mansur menolak dengan halus karena harus bertablig keliling Sumatera untuk Muhammadiyah.


Demikian pula ketika Presiden Soekarno pada 1952 memintanya untuk menjadi penasehat negara, tetapi Sutan Mansur lagi-lagi menolak dan meminta menjadi penasehat tidak resmi saja.


Di Tanah Minangkabau, keberadaan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari peranan Buya AR Sutan Mansur. Beliulah yang membuka bagi kehadiran gerakan dakwah Muhammdiyah pertama di luar Jawa pada tahun 1925.


Peristiwa berdirinya Cabang Muhammadiyah itu, dapat ditelusuri ketika seorang muslim modernis asal Padang Panjang, meminta bantuan pendirian sekolah Islam di Maninjau, Sumatera Barat. 


Permintaan itu direalisasikan oleh Hoofdbestuur (Pengurus Utama) Muhammadiyah, dengan mengirim Ahmad Rasyid Sutan Mansur.


Beliau adalah ketua PP Muhammadiyah ke-6. Lahir di Maninjau pada 15 Desember 1895, nama kecilnya adalah Ahmad Rasyid Mansur. 


Namanya berubah menjadi Ahmad Rasyid Sutan Mansur, setelah menikah dengan putri gurunya yang sekaligus juga kakak perempuan Buya Hamka, Fatimah.


Sebagai anak ketiga dari seorang ulama terkenal setempat bernama Abdul Somad Al-Kusaij, Sutan Mansur tumbuh dalam masa transisi Politik Etis yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Keadaan inilah yang menyebabkannya mengenyam pendidikan secara layak.


Pada usia sepuluh tahun, Sutan Mansur mengenyam pendidikan dasar untuk kalangan pribumi di Inlandsche School (IS), selama tujuh tahun hingga 1909, dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.


Selepas belajar di IS, Sutan Mansur mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Kolonial, untuk melanjutkan pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) Bukittinggi. 


Akan tetapi, kebencian terhadap penjajah membuat Sutan Mansur menolak kesempatan tersebut, selain alasan lain, minatnya belajar agama lebih besar dibanding mempelajari ilmu umum.


Sutan Mansur lalu menuruti saran gurunya, Tuan Ismail untuk belajar berbagai ilmu ke ayah Hamka, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Di sana, beliau belajar Ilmu Aqidah, Bahasa Arab, Retorika, Logika, Sejarah, Syariat, Tasawuf, Quran, Tafsir dan Hadis selama tujuh tahun sampai 1917.


Setelah tunai belajar ilmu alat dan ushul, Haji Rasul menikahkan Sutan Mansur dengan putrinya yang bernama Fatimah. Untuk mengamalkan ilmunya, setahun kemudian, Sutan Mansur berangkat menuju Kuala Simpang, Aceh sebagai utusan Sumatera Thawalib.


Ketika kembali ke Maninjau pada 1920, Sutan Mansur berencana melanjutkan pendidikannya ke Mesir, akan tetapi terjadinya pemberontakan rakyat Mesir terhadap Kolonial Inggris, membuat Belanda tidak mengeluarkan izin keluar negeri bagi Sutan Mansur.


Menghadapi takdir tersebut, Sutan Mansur memutuskan untuk merantau ke Jawa bersama istrinya Fatimah, lalu memutuskan unyuk berdagang batik di Pekalongan.


Di Pekalongan, Sutan Mansur bertemu dengan Kyai Dahlan yang sering mengisi tabligh di Pekalongan. Dari tabligh itu pula, Sutan Mansur pada 1922, bergabung dengan Muhammadiyah dan setahun kemudian menjabat sebagai voorzitter (ketua) Cabang Muhammadiyah Pekalongan, menggantikan ketua sebelumnya yang mundur, karena tidak tahan mendengar kritik dari para pembenci Muhammadiyah di Pekalongan.


Antara 1924-1925, guru Sutan Mansur selama di Maninjau, Haji Rasul datang ke Pekalongan untuk mengunjungi putrinya, Fatimah. 


Dalam kunjungannya itu, Haji Rasul juga meminta bantuan untuk Sekolah Agama ‘Sandi Aman’ yang didirikannya pada Oktober 1924 di Sungai Batang, Maninjau.


Menanggapi permintaan Haji Rasul, Sutan Mansur kemudian meminta Haji Rasul agar bergabung dengan Muhammadiyah, dan menjadikan Sekolah Agama ‘Sandi Aman’ sebagai Cabang Muhammadiyah pertama di luar Jawa. Demikian tercatat dalam Almanak Muhammadiyah 1927-1928.(BERSAMBUNG)


Artikel ini ditulis oleh AFANDI dari muhammadiyah.or.id dengan pengeditan seperlunya. Disunting kembali setelah diterbitkan potretkita.net yang kini menjadi potretkit4.blogspot.com

Posting Komentar

0 Komentar