Menyikapi Isu Penahanan Ijazah di SD Muhammadiyah Padang Panjang: Klarifikasi

Klarifikasi: Pendidikan, Etika, dan Keadilan — Menyikapi Isu Penahanan Ijazah di SD Muhammadiyah Padang Panjang

Oleh: Kepala SD Muhammadiyah Padang Panjang Ibu Arnita

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Di tengah hiruk pikuk kabar yang berkembang mengenai penahanan ijazah beberapa siswa SD Muhammadiyah Kota Padang Panjang karena tunggakan pembayaran, kami merasa perlu untuk angkat bicara secara jujur dan terbuka. Bukan untuk membela diri secara emosional, tapi sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional atas nama lembaga pendidikan yang telah kami jaga dengan penuh dedikasi selama bertahun-tahun.

SD Muhammadiyah Wisuda Tahfidz 

Baru-baru ini muncul opini publik yang menggiring persepsi bahwa Perguruan SD Muhammadiyah Kota Padang Panjang telah bertindak “kejam” dengan menahan ijazah delapan siswa yang belum melunasi SPP. 

Padahal, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Sebagai bagian dari komunitas pendidikan yang telah melayani dengan sepenuh hati selama bertahun-tahun dengan semboyan "Amar ma'ruf nahi munkar" dan Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah" kami merasa penting untuk meluruskan pandangan bertindak “kejam” ini agar masyarakat dapat menilai Kepala, guru, TU, dan stakeholder civitas SD Muhammadiyah secara jernih dan adil.

Komitmen Sekolah dalam Mendidik Anak Tidak Pernah Setengah Hati

Selama 5–6 tahun terakhir, kami telah berusaha maksimal mendidik seluruh siswa kami tanpa membedakan latar belakang ekonomi, sosial, atau budaya. Bahkan terhadap anak-anak dari keluarga yang diketahui mengalami kesulitan finansial, kami tidak sekalipun membedakan perlakuan. Mereka tetap kami didik, kami bina, dan kami bimbing hingga menyelesaikan jenjang SD.

Namun sangat disayangkan, justru beberapa orang tua dari siswa yang selama ini paling sedikit berkontribusi dan tidak pernah hadir saat kami undang untuk mendiskusikan perkembangan anaknya, kini datang dengan tuntutan keras agar hak anak mereka dipenuhi, tanpa menunjukkan sedikitpun itikad baik dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka.

Selama 6 tahun para siswa belajar di SD Muhammadiyah, kami tidak pernah menolak atau memperlakukan mereka berbeda karena masalah finansial siswa. Apalagi siswa kita memang terdiri dari Anak-Anak Panti Asuhan kita sendiri. Kami terus mendidik, membina, dan menyelesaikan proses belajar mereka dengan tulus — bahkan kepada siswa yang orang tuanya tidak pernah berkenan hadir saat diundang menerima rapor anak mereka atau saat pembahasan perkembangan akademik anak mereka. Kami tetap bersabar mendidik dan membina mereka hingga selesai kelas 6.

Namun ketika masa kelulusan tiba, tiba-tiba pihak-pihak yang selama ini abai muncul dengan tuntutan yang tidak disertai itikad baik. Khususnya dua orang tua siswa yang tidak hanya mangkir dari tanggung jawab, tetapi juga menempuh jalur tekanan dan media, seolah-olah sekolah tidak pernah memberi ruang kompromi. Padahal semua tahu bahwa SD Muhammadiyah sangat toleransi kepada muridnya selaku badan amal usaha. Sepuluh siswa dari 26 orang siswa menunggak biaya pendidikan mulai dari 3 juta hingga 9 juta,

Kita sekolah swasta. Gaji guru dan operasional sekolah bersumber dari biaya sumbangan pendidikan dari orang tua. Ini semua telah disepakati dalam rapat penerimaan murid baru. Bahkan selalu diperbaharui kesepakatan ini setiap tahun ajaran baru.

Bukan Soal Uang, Tapi Soal Etika dan Kejujuran Orang Tua

Kasus ini bukanlah semata-mata soal uang. Ini soal sikap. Dua orang tua yang kini paling vokal menuntut ijazah anaknya adalah pihak yang berulang kali ingkar janji, tidak pernah hadir ketika diundang untuk mengambil rapor, bahkan pernah meminta anaknya disekolahkan kembali setelah sebelumnya sempat diberi sanksi.

Kami pernah menyarankan untuk pindah ke sekolah negeri atau sekolah gratis, tapi mereka tetap bersikeras agar anak mereka tetap di SD Muhammadiyah. Sekolah kami menjadi pilihan mereka, tetapi di saat bersamaan, mereka merasa tidak perlu mematuhi aturan atau menyelesaikan kewajiban yang sejak awal sudah mereka pahami.

Dari 10 siswa yang mengalami tunggakan, tiga siswa sudah melunasi, empat lainnya menunjukkan niat baik untuk membayar bertahap (cicilan), dan satu baru hadir setelah diundang langsung. Sehingga total yang sudah menyeselesaikan 8 orang tua siswa.

Namun dua orang tua siswa lain, yang paling keras menuntut, justru tidak membawa sedikit pun itikad baik dari janji-janji mereka sebelumnya. Ketika kepala tak ditempat mereka mendatangi sekolah.

Kami tidak pernah meminta pelunasan penuh secara kaku, kami faham kondisi para orang tua siswa kami, namun setidaknya hadir membawa itikad baik itu yang kami tunggu. Datang tanpa kontribusi lalu mendesak ijazah secara emosional, sembari mengabaikan prosedur dan merendahkan lembaga pendidikan, adalah bentuk pengabaian terhadap nilai adab dan rasa terima kasih.

Tekanan Publik Tidak Selalu Berarti Kebenaran

Sekolah bukanlah lembaga yang anti-kritik, namun saat tekanan publik disulap menjadi instrumen “memaksa” dan menyudutkan, maka kami pun berhak membela harga diri institusi yang selama ini justru telah banyak berkorban untuk para siswa, termasuk anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Kami telah menawarkan solusi sejak awal — bahkan pernah menyarankan siswa untuk pindah ke sekolah negeri agar gratis sepenuhnya. Namun mereka tetap ingin anaknya belajar di SD Muhammadiyah karena di sekolah ini telah dilengkapi hingga taman baca Qurannya, namun sembari mengabaikan aturan dan janji yang mereka buat sendiri.

Solusi Tetap Terbuka, Tapi Harus Saling Menghargai

Kami tetap percaya bahwa penyelesaian bisa dilakukan secara baik-baik. Manusia akan selalu maju kepada kebaikan. Bila ada niat menyicil, temtu kami pihak sekolah bersedia memfasilitasi. Bila ada kendala ekonomi riil, Baznas atau bantuan sosial bisa dilibatkan. Apalagi bila disertai Surat Keterangan Kurang Mampu dari Wali Nagari tempat siswa tinggal. Pemerintah Kota Padang Panjang punya Baznas bila memang tidak mampu. Muhammadiyah juga memiliki lembaga LazisMU bila memang butuh bantuan. Namun semua itu butuh satu hal: kejujuran dan tanggung jawab. 

Kami tidak ingin menjadi pihak yang hanya disalahkan karena tidak bisa memberi "gratis", padahal yang kami minta hanyalah kejelasan dan etika bermusyawarah. Bila semua siswa yang lebih susah dari mereka bisa menyelesaikan kewajiban, lalu kenapa tidak bagi dua orang tua ini? Anak-anak panti asuhan saja sudah menyelesaikan tanggung jawab mereka. Kami pun sudah menyerahkan dua ijazah siswa tertunggak itu.

Kami Tidak Buta Hati, Tapi Kami Juga Punya Harga Diri

Seperti diuraikan di atas dari 10 siswa yang sempat mengalami tunggakan, 3 orang tua sudah melunasi, 4 lainnya sudah menyampaikan janji baik dan akan menyicil. Artinya, mayoritas masih menjaga etika dan rasa hormat. Sayangnya, dua orang yang paling menolak menyelesaikan kewajiban ini justru yang memprovokasi, mendatangkan wartawan, dan menyudutkan sekolah seolah kami adalah pihak yang kejam.

Kami juga manusia. Kami juga guru dan pendidik yang menginginkan yang terbaik untuk murid-murid kami. Tapi jika kami terus menuruti tekanan yang tidak adil dan membiarkan sekolah ini menjadi sasaran fitnah, lalu bagaimana nasib anak-anak lain yang telah berusaha jujur dan taat aturan? Bukankah ini juga bentuk ketidakadilan bagi mereka?

Mari Duduk Bersama, Bukan Saling Menekan

Kami sangat terbuka untuk menyelesaikan ini dengan kepala dingin dan itikad baik. Bahkan sejak awal, bila orang tua membawa cicilan seikhlasnya, tentu sudah kami diskusikan dan cari jalan keluarnya. Tapi menuntut hak sambil menolak kewajiban, apalagi melibatkan tekanan publik secara sepihak, tidak akan pernah menjadi solusi yang bijak.

Kami mohon kepada semua pihak yang terlibat untuk tidak menilai sepotong, tidak menjustifikasi tanpa tahu duduk perkaranya, dan memberi ruang agar nama baik SD Muhammadiyah Padang Panjang tetap terjaga, terutama menjelang Tahun Baru Hijriah yang seharusnya menjadi momentum refleksi dan kebaikan.

Pendidikan bukan hanya tentang ilmu, tapi juga adab dan tanggung jawab. Sekolah ingin mempertahankan kedua-duanya, meskipun itu tidak selalu mudah. Komentar Taufik Hidayat, yang juga merupakan wali santri sekaligus Wakil Ketua Bidang Pendidikan di lembaga itu. Ini memperkuat bahwa apa yang dirasakan pihak sekolah bukanlah asumsi sepihak. Beliau menyatakan bahwa selama ini justru orang tua yang kini mempersoalkan ijazah tidak hadir dalam rapat dan tidak aktif di grup komunikasi sekolah dan orang tua, sehingga kesan yang disebarkan ke publik tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan yang terjadi.

Inilah nasib sekolah swasta. Tiap tahun ada saja sekian siswa yang menunggak. Padahal orang tua mereka terkategori pedagang dan mampu secara finansial. Namun belum tergerak hati untuk melunasi kewajiban. Ada yang 3 juta berarti tunggakan 2 tahun sekolah. Bahkan ada 1 siswa yang menunggak 9 juta, artinya dari kelas 2 SD anak belum pernah menyicil.

Ini pembelajaran bagi orang tua siswa. Cicillah kewajiban kita. Jangan tunggu menumpuk. Bila sudah menumpuk tentu terasa berat melunasi. Hutang tetap hutang. Akan dimintai Allah pertanggungjawabannya di dunia dan di akhirat. Di dunia kita akan semakin merasa sempit dan terus dirundung masalah bila tak jujur membayar hutang. Bisa lewat musibah sakit atau kehilangan uang. Kelak di akhirat tertunda pula masuk surga sebelum tunggakan ada yang menyelesaikan.

Penutup: Pendidikan Adalah Hak, Tapi Juga Kewajiban

Kami di SD Muhammadiyah tetap berkomitmen menjaga marwah pendidikan: mendidik anak-anak dengan ilmu dan akhlak. Tapi kami juga berhak menjaga wibawa lembaga agar tidak menjadi korban fitnah dan tekanan yang tidak adil.

Mari kita kembalikan masalah ini ke jalur yang sehat: komunikasi, tanggung jawab, dan solusi bersama. Jangan kita biarkan satu-dua pihak yang lalai menodai nama baik seluruh lembaga, dan mengorbankan anak-anak yang justru telah memegang teguh komitmen sejak awal.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal menerima ijazah — tapi juga tentang menghargai proses, janji, dan rasa saling percaya.(Yus MM)*

Posting Komentar

0 Komentar