Meluruskan Narasi : Antara Tanggung Jawab, Nurani, dan Realitas di SD Muhammadiyah Padang Panjang

Meluruskan Narasi : Antara Tanggung Jawab, Nurani, dan Realitas di SD Muhammadiyah Padang Panjang

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Beberapa hari lalu, salah satu media sosial diramaikan oleh pembahasan penahanan ijazah delapan siswa SD Muhammadiyah Padang Panjang karena tunggakan SPP. Sekilas, berita ini pasti memancing simpati luas — bagaimana mungkin sebuah sekolah yang berada di bawah nama besar “Muhammadiyah” tega menghalangi anak-anak melanjutkan pendidikan hanya karena uang? Namun, seperti biasa, kita perlu berhati-hati menyikapi narasi yang viral. Karena seringkali, yang viral belum tentu mewakili kebenaran.

Kolaborasi dengan Orang Tua Bijak

Muhammadiyah: Bukan Yayasan Bisnis, Tapi Amal Usaha

Pertama penting diketahui bahwa Muhammadiyah bukanlah yayasan.  Apalagi yayasan profit. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan pendidikan berbasis amal usaha. SD Muhammadiyah Padang Panjang termasuk dalam bagian amal usaha ini. Sekolah ini menjalankan pendidikan dengan anggaran terbatas, mengandalkan iuran SPP yang hanya Rp150.000 per bulan setaralah dengan MIUT Thawalib, belum apa-apa dibanding MI lain, dan gurunya yang terdiri dari 17 orang digaji sekitar Rp700.000 per bulan dari SPP itu — sebuah angka yang jelas jauh dari cukup jika ini disebut “bisnis”. Namun mereka tetap semangat mendidik anak-anak kita.

Dinas Pendidikan Kota Padang Panjang, DPRD, Baznas, dan instansi pemerintah lain di kota ini sangat paham tentunya dengan kondisi sekolah ini. Ia bukanlah sekolah elit seperti disebutkan di medsos tersebut.

Bahkan, dari 26 siswa kelas 6 tahun ini dan adik-adik di bawah mereka, sebagian adalah anak-anak panti asuhan Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari amal usaha Muhammadiyah di kota ini. Anak-anak panti asuhan ini tetap membayar SPP secara tertib dan lunas, meski berasal dari kalangan yang secara ekonomi terbatas atau tidak mampu.

Realitas: Tunggakan Hingga 9 Juta Rupiah, Selama 2–6 Tahun

Dari laporan sekolah, terdapat 10 siswa yang menunggak iuran pendidikan, dengan nilai antara Rp3 juta hingga Rp9 juta per siswa. Ini menunjukkan bahwa tunggakan tersebut bukan baru terjadi sebulan dua bulan, tapi telah berlangsung selama 2 sampai 6 tahun — tanpa ada inisiatif penyicilan yang konsisten dari pihak orang tua.

Ironisnya, dua orang tua yang paling vokal dalam pemberitaan ternyata berasal dari kalangan pedagang di pasar, yang secara sosial bukan termasuk kategori tidak mampu. Sementara itu, orang tua siswa lain yang ekonominya lebih berat, bahkan anak panti, tetap berusaha melunasi kewajiban mereka sebagai tanggung jawabnya.

Narasi Tak Utuh: Antara Yang Heboh dan Yang Bertanggung Jawab

Dalam pernyataan Bapak Leon Simon di media sosial, pihak sekolah digambarkan “kejam”, “berorientasi bisnis”, dan “mengabaikan nurani”. Padahal faktanya, SD Muhammadiyah tetap mendidik anak-anak tersebut sampai lulus kelas 6, meski orang tua jarang hadir rapat, tidak mengambil rapor, tidak aktif di komunitas group sekolah, dan mengabaikan panggilan sekolah. Bahkan ketika diberikan opsi untuk pindah sekolah atau menyicil, orang tua memilih menyicil tetapi sebagian dari yang 10 orang tua memilih tidak menanggapi dengan serius.

Yang paling mengherankan adalah tudingan bahwa sekolah “tidak punya hati nurani”, padahal jika dilihat secara objektif, sudah rentang 2-6 tahun orang tua menunggak. Nah, yang tidak punya nurani justru adalah mereka yang mengabaikan kewajiban bertahun-tahun, lalu menuntut hak dengan cara memojokkan lembaga pendidikan ke publik.

Sikap Sekolah: Tegas, Tapi Tidak Buta Hati

Kepala sekolah SD Muhammadiyah, Ibu Arnita, memang mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebelum pensiun. Namun bukan berarti sekolah menutup pintu musyawarah. Setiap tahun beliau sudah terbiasa dengan tunggakan dan janji menyicil. Beberapa orang tua siswa lain telah melunasi, sebagian telah membuat komitmen tertulis untuk membayar sebelum batas waktu PPDB. Hanya dua yang menolak segala upaya baik dan justru membawa persoalan ini ke ranah politik dan media, bukan ke jalur komunikasi internal.

Penutup: Mari Bersikap Jujur dan Adil

Kita tidak bisa bicara tentang “keadilan” jika kita tidak juga jujur tentang kewajiban. Tidak adil menyudutkan sekolah swasta yang sudah bertahan dengan segala keterbatasannya, cuna satu tingkat di atas sekolah Laskar Pelanginya Andrea Hirata lalu memaksanya melayani tanpa dukungan. Jangan sampai atas nama “hak anak”, kita justru mengabaikan prinsip tanggung jawab yang juga harus diajarkan kepada orang tua mereka.

Muhammadiyah tetap berdiri untuk pendidikan dan dakwah. Tapi dalam dakwah, ketegasan juga adalah bentuk kasih sayang — agar generasi berikutnya tahu bahwa hak tidak datang tanpa kewajiban, dan kebaikan harus dibangun bersama. Mari renungkan bersama pendidikan anak sudah selesai selama 6 tahun, namun kewajiban kita tak ditunaikan. *

Posting Komentar

0 Komentar