Syekh Ala Muhammad Mustafa Na'imah di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang: Tarbiyah Hati dari Ulama yang Lembut Namun Mencerahkan

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Syekh Ala Muhammad Mustafa Na'imah di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang bersama santri, guru, dai, dan ulama-ulama muda se- Sumbar. Mengajar dengan  suara lembut, menyapa dengan salam yang lembut, mengajak audiens melafalkan Al Fatiha, doa cinta kepada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat lembut tapi kental, doa untukk ustadz-ustadzahnya, suhadah, pemimpin perguruan, doa untuk Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, ulama dan ustadz. Basmalah, puji-pujian kepada Allah SWT, dan doa lagi untuk hadirin sambil selalu tersenyum laksana seorang Ayah yang bijaksana. Membuat pikiran melayang kepada Luqman yang memberikan nasihat kepada anaknya. Al Quran, QS.Luqman:13.

Mengajar dengan Senyum 

Syekh Ala Muhammad Mustafa Na'imah mengajar di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang

Fauziah Fauzan El Muhammady, selaku pimpinan Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, senantiasa menghadirkan kejutan-kejutan pembelajaran yang dibalut dengan cinta dan visi pendidikan yang tajam dan tegas. Kepeduliannya terhadap tumbuhnya akhlakul karimah dan ilmu para santri tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk ketika beliau menghadirkan Syekh Ala Muhammad Mustafa Na’imah.

Kehadiran Syekh bak angin segar yang menyejukkan dunia pendidikan di Sumatera Barat, membangkitkan semangat spiritual dan intelektual dalam satu majelis yang sarat makna di tengah suasana syahdu Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang. Beliau hadirkan seorang ulama yang tak hanya membawa ilmu, tetapi juga ruh kelembutan dalam mengatasi "Problematika Keummatan dan Bagaimana Menjawabnya" ala Syekh Ala Muhammad Mustafa Na’imah.

Meminta Tanggapan Peserta dengan Lembut dan Santun

Kehadirannya menjadi oase spiritual bagi para dai dan ulama muda se-Sumatera Barat, membangkitkan semangat ilmu dengan balutan kasih sayang, doa, dan kecintaan kepada Rasulullah ï·º sangat kental. Syekh membuka majelisnya bukan dengan kuliah kaku, tapi dengan salam yang menyejukkan, lantunan Surah Al-Fatihah bersama, doa untuk guru, pemilik perguruan, syuhada, dan seluruh hadirin.

Di setiap kata, terasa ketulusan yang mendalam. Senyumnya menjadi pembuka hati, sementara suaranya lembut namun menggugah, membuat siapa pun yang mendengar terdiam penuh perhatian. Dia mengajar dengan kinestetik. Empat Bahasan beliau: Ilmiah, Sufi, Pikiran, dan Sosial.

Komunikatif dengan Penerjemah 

Syekh Ala Muhammad tidak sekadar berbicara. Ia hadir dengan empat bahasan dakwah yang lengkap dan menyentuh:

Berpikir Ilmiah – sebagai dasar pemikiran yang kokoh. Tasawuf – sebagai jalan menata hati dan jiwa menuju kebenaran. Pikiran – mengajak berpikir kritis dan reflektif. Sosial – membumi, merangkul, dan menyatukan perbedaan.

Semua dibahas dengan terang-benderang, “seterang matahari,” begitu istilah beliau. Ia menjelaskan dengan jernih, tidak hanya menyentuh logika, tetapi juga meresap ke lubuk hati. Bahkan, candanya penuh hikmah membuat audiens tertawa, tetapi tetap merenung.

Tasawuf: Membela Kebenaran, Bukan Membela Diri

Salah satu pesan paling menggetarkan yang disampaikan Syekh adalah tentang membela kebenaran. Ia mengutip hikmah Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah berdebat dengan siapa pun kecuali aku berharap kebenaran muncul dari mulut yang mendebatku.”

Syekh menantang audiens: Apakah kita selama ini membela yang benar, atau justru membela diri sendiri? Jawabannya sering kali mencerminkan keegoan membela diri sendiri. Maka tasawuf hadir sebagai solusi—karena tasawuf tidak mencari menang, tapi mencari yang haq (benar).

Saat Pembukaan Acara Diskusi 

Tarbiyah Hati: Dakwah yang Kinestetik dan Dramatis

Syekh tak hanya berbicara, ia memerankan isi ceramahnya dengan penuh semangat. Gestur tubuh, mimik wajah, hingga gerakan tangannya menggambarkan setiap pesan dengan jelas. Seolah kami sedang menyaksikan drama dakwah berbahasa Arab yang penuh hikmah. Inilah tarbiyah hati yang nyata: pendidikan yang masuk lewat rasa, bukan hanya lewat kata.

Perbedaan adalah Nikmat, Bukan Masalah

Dengan gaya bercandanya, Syekh menyentil pentingnya perbedaan. “Coba bayangkan kalau semua orang profesinya dokter. Siapa yang jadi pasien?” “Coba bayangkan kalau semua orang di sini peserta. Siapa yang jadi penceramah?” tanyanya sambil duduk sebagai ‘peserta’. Audiens pun tertawa, tetapi juga tercerahkan: keragaman peran dalam masyarakat adalah bagian dari sunnah kehidupan. Maka acara yang digelar di Diniyyah hari ini menjadi sangat bermakna dan menarik karena ada peran—MC katanya sambil mendekati MC, guru, penerjemah, peserta—adalah penting dan saling melengkapi. Ia tersenyum jenaka.

Kebenaran Harus Disampaikan Siapa pun Pembawanya, Jangan Fanatik

Satu kisah penuh makna disampaikan tentang Imam Malik yang ditegur oleh seorang anak kecil untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid. Tanpa ego, sang imam langsung shalat, karena perintah itu sesuai dengan sunnah. Pesannya jelas: kebenaran tidak mengenal usia, jabatan, atau status sosial. Ia harus diterima dan diamalkan jika sesuai sunnah.

Pukulan Lembut bagi Para Guru

Di akhir, Syekh menyinggung para pendidik—termasuk ulama—yang terkadang mengajar di tengah masyarakat dengan kekakuan dan merasa paling benar. Melalui candaan ringan, ia menyindir:

“Kalau tak tahu makna kata ‘tiup’ dalam bahasa Indonesia apa itu lilin, dan kue, lagu ulang tahun bisa berubah jadi ‘makan lilinnya, makan lilinnya...’ Makan lilinnya sekarang juga...”

Ini bukan sekadar humor, tapi pukulan halus bagi kita semua agar tidak sok tahu, dan mau belajar lagi. Bahkan seorang mufti sejati adalah orang yang mencintai kalimat: ‘Saya tidak tahu.’ Sehingga lebih baik diam daripada berdebat menurut Imam Syafi’i.

Sesi Foto Bersama 

Penutup: Tarbiyah yang Menyentuh

Kehadiran Syekh Ala Muhammad Mustafa Na’imah di Perguruan Diniyyah Puteri bukan hanya menyampaikan ceramah, tetapi menghidupkan hati. Ia hadir bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai murabbi ruhani, yang mengajak dengan cinta, menyentuh dengan ilmu, dan membimbing dengan keteladanan para Imam terdahulu. Beliau tidak hanya membela yang benar, tapi membentuk murid agar menjadi pembela kebenaran—dengan lembut, dengan kasih sayang, dengan keilmuan, dan dengan keikhlasan sebagai bentuk asli karakter kita manusia. (Yus MM/DinPutPP*)

 

Posting Komentar

0 Komentar