OPINI, kiprahkita.com - Setiap tahunnya, menjelang 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri, fenomena mudik menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu bagi masyarakat Indonesia.
Jutaan orang berbondong-bondong, meninggalkan hiruk-pikuk kota-kota besar, untuk kembali ke pelukan hangat kampung halaman. Perjalanan ini tak hanya sekadar menempuh jarak fisikal, tetapi juga membawa dimensi emosional yang kuat.
Para pemudik rela berdesak-desakan hingga menghadapi kemacetan panjang dengan tujuan utama: berkumpul kembali dengan keluarga dan kerabat di kampung. Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah.
Selain harus menempuh jarak yang kadang melelahkan, mereka juga harus bergerak serentak dengan jutaan orang lainnya. Di tengah semua itu, muncul pertanyaan, apakah kondisi ini membolehkan membatalkan puasa?
Puasa merupakan salah satu amalan wajib bagi umat Islam, sesuai dengan QS. Al Baqarah ayat 183. Namun, dalam agama Islam, terdapat kelonggaran bagi beberapa golongan, termasuk musafir atau mereka yang sedang dalam perjalanan. Panduan ini diperinci dalam Buku Tuntunan Ibadah pada Bulan Ramadhan.
Kondisi musafir, terutama dalam konteks mudik, sering kali sangat berat dan menyulitkan. Oleh karena itu, Islam memberikan kelonggaran bagi mereka yang dalam perjalanan untuk meninggalkan puasa.
Dalil yang mendasari kelonggaran ini terdapat dalam Al-Qu’an surah Al-Baqarah ayat 184 yang menyatakan, “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dengan demikian, bagi para pemudik yang terjebak dalam kemacetan panjang dan antrian transportasi yang melelahkan, boleh mempertimbangkan untuk membatalkan puasa mereka dan menggantinya di hari lain. Penting untuk diingat, kelonggaran ini diberikan untuk memudahkan umat dalam menjalankan ibadah, bukan untuk disalahgunakan.
Namun, keputusan untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain, harus diambil dengan penuh kesadaran dan ketaatan terhadap ajaran Islam. Niat dan kesadaran dalam menjalankan ibadah tetap menjadi hal yang utama bagi umat Muslim.
Alasan dibolehkannya membatalkan puasa, karena Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan kasih sayang. Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan yang berlebihan. Meskipun pelaksanaan kewajiban agama terkadang menantang, kesulitannya selalu berada dalam batas kewajaran manusiawi.
Penting untuk diingat, jika seseorang menghadapi kesulitan yang melebihi batas kemanusiaan, Islam memiliki kaidah-kaidah dan asas-asas yang memberikan kelonggaran. Salah satu contohnya adalah kelonggaran yang diberikan bagi musafir untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain.
Dalam Islam, kesehatan dan kesejahteraan jiwa serta raga diprioritaskan. Maka, dalam konteks mudik yang melelahkan, penting bagi umat Islam untuk memahami, bahwa menjaga kesehatan dan keselamatan diri serta keluarga adalah prioritas utama.
Dengan demikian, keputusan untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain, adalah bentuk penghormatan terhadap keseimbangan dan kasih sayang yang diajarkan oleh Islam.(narasi dan ilustrasi dari muhammadiyah.or.id)
0 Komentar