Restorasi Gambut

Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd. 

Sekretaris LPLH & SDA MUI Pusat


OPINI, kiprahkita.com - Lahan gambut memainkan peran yang sangat penting dalam emisi karbon, karena sifatnya sebagai penyimpan karbon alami yang besar. 


Lahan gambut terbentuk dari bahan organik yang terakumulasi selama ribuan tahun dalam kondisi jenuh air, yang menghambat dekomposisi bahan organik. 


Oleh karena itu, gambut menyimpan sejumlah besar karbon, jauh lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem darat lainnya seperti hutan tropis. 


Karbon yang tersimpan dalam lahan gambut berasal dari vegetasi yang mati dan terurai secara perlahan dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen). 


Ini berarti karbon tersebut dapat tersimpan dalam tanah selama ribuan hingga jutaan tahun, menjadikan lahan gambut sebagai salah satu penyimpan karbon jangka panjang yang paling efektif. 


Lahan gambut juga memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem, mencakup berbagai aspek yang berdampak pada lingkungan, keanekaragaman hayati, siklus hidrologi, dan termasuk yang sangat penting terhadap mitigasi perubahan iklim. 


Lahan gambut menyediakan habitat bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan yang unik dan endemik. Banyak spesies ini tidak dapat ditemukan di ekosistem lain. 


Flora dan fauna yang hidup di lahan gambut sering kali memiliki adaptasi khusus untuk kondisi tanah yang asam dan berair, menciptakan ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. 


Lahan gambut berfungsi seperti spons alami yang dapat menyerap air selama periode hujan deras, mengurangi risiko banjir di daerah sekitarnya. Gambut menyimpan air selama musim kemarau, membantu menjaga aliran sungai dan keseimbangan air tanah.


Vegetasi di lahan gambut membantu menahan tanah dan mencegah erosi, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi. Akar tanaman gambut memperkuat struktur tanah, membantu menjaga kestabilan tanah. 


Lahan gambut bertindak sebagai filter alami yang dapat menyaring polutan dan sedimen dari air, meningkatkan kualitas air yang mengalir ke sungai dan danau. 


Mikroorganisme di dalam tanah gambut dapat memecah bahan kimia dan polutan, membantu membersihkan air dari zat berbahaya.


Aktivitas manusia seperti pengeringan lahan untuk pertanian atau perkebunan, serta kebakaran hutan, dapat merusak ekosistem gambut, mengurangi kemampuannya menyimpan karbon dan mendukung keanekaragaman hayati. 


Polusi dari kegiatan industri dan pertanian dapat merusak ekosistem gambut dan mengurangi kemampuannya untuk menyaring air dan menyimpan karbon.


Dampak pembakaran dan pengeringan lahan gambut; pertama, pelepasan karbon massif, lahan gambut dikeringkan untuk pertanian atau perkebunan, atau dibakar untuk membuka lahan, karbon yang tersimpan dalam gambut tersebut teroksidasi dan dilepaskan ke atmosfer sebagai karbon dioksida (CO₂), salah satu gas rumah kaca utama. 


Proses ini dapat melepaskan karbon dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu singkat. Kedua, emisi metana (CH₄), gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global yang jauh lebih besar dibandingkan CO₂. 


Emisi metana terutama terjadi di lahan gambut yang tergenang. Lebih jauh dapat terlihat, bahwa pembakaran lahan gambut memiliki dampak besar; pertama, pelepasan karbon dioksida (CO₂) yang signifikan, karena stok karbon besar pada lahan gambut yang sudah tersimpan sejumlah besar karbon yang sudah telah terakumulasi selama ribuan tahun. 


Dilepaskan ke atmosfer sebagai karbon dioksida (CO₂), dalam jumlah besar dan pada waktu singkat, hal ini jelas sangat berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan konsentrasi CO₂ di atmosfer.


Kedua, metana (CH₄) dan nitrogen oksida (NOx) memiliki potensi pemanasan global yang jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida (CO₂). Hal ini jelas merupakan gas rumah kaca yang berkontributor terhadap pembentukan ozon troposferik, yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.


Ketiga, penghancuran penyimpan karbon alami, pembakaran lahan gambut, terang dan jelas menghilangkan Fungsi Ekosistem gambut sebagai penyimpan karbon alami terbesar di dunia. 

Setelah lahan gambut terbakar, tanah kehilangan kemampuan alaminya untuk menyimpan karbon, sehingga mengurangi potensi mitigasi perubahan iklim di masa depan.


Keempat, kebakaran lahan gambut dapat meningkatkan kerentanan kawasan terhadap kebakaran di masa depan, menciptakan siklus kebakaran yang berulang dan semakin merusak. 


Kondisi gambut yang kering setelah kebakaran membuatnya lebih mudah terbakar lagi, menyebabkan lebih banyak emisi karbon dan kerusakan ekosistem.


Kelima, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat pembakaran gambut berkontribusi pada pemanasan global, yang memicu perubahan iklim global dengan berbagai dampak negatif seperti kenaikan permukaan laut, perubahan pola cuaca, dan peningkatan frekuensi bencana alam. 


Di daerah tropis, seperti Indonesia, pembakaran lahan gambut juga dapat mempengaruhi iklim regional, termasuk perubahan curah hujan dan suhu. 


Keenam, asap dan polusi udara, pembakaran gambut menghasilkan asap tebal yang mengandung partikel berbahaya (PM2.5), gas beracun (CO, NOx), dan senyawa organik volatil (VOC). Asap dapat menyebar luas dan mengakibatkan polusi udara parah. 


Paparan asap dari pembakaran gambut dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit pernapasan, penyakit kardiovaskular, dan peningkatan mortalitas.


Ketujuh, kebakaran lahan gambut menghancurkan habitat alami bagi banyak spesies flora dan fauna, mengancam keanekaragaman hayati. 


Kerusakan ekosistem gambut juga mengakibatkan hilangnya layanan ekosistem penting seperti regulasi hidrologi, penyaringan air, dan penyerapan karbon.


Restorasi gambut, seperti pembasahan kembali (rewetting) dan penanaman vegetasi asli, penting untuk memulihkan fungsi ekosistem dan kapasitas penyimpanan karbon, pengelolaan berkelanjutan dengan mencegah pembakaran dan pengeringan lahan, serta mengembangkan alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan bagi masyarakat lokal. 


Hal ini perlu dilakukan dengan pendekatan teknik dan edukasi. Restorasi lahan gambut dengan teknologi modern dilakukan dengan pendekatan dan metode pemulihan ekosistem gambut yang rusak atau terdegradasi; 


Pertama, pembasahan kembali (rewetting), menggunakan struktur penghalang seperti bendung atau dam untuk menutup kanal drainase yang telah mengeringkan lahan gambut sehingga mengembalikan kondisi jenuh air pada gambut, memompa air ke lahan gambut untuk meningkatkan tingkat air dan menjaga kelembapan lahan.


Kedua, penginderaan jauh (remote sensing), menggunakan satelit, drone, dan pesawat terbang untuk memantau kondisi lahan gambut secara real-time. Data yang diperoleh digunakan untuk mengidentifikasi area yang membutuhkan restorasi dan memantau kemajuan proyek restorasi. 


Teknologi GIS (Geographic Information System), memetakan dan menganalisis data spasial untuk perencanaan dan pemantauan restorasi lahan gambut.


Ketiga, penanaman vegetasi asli, menanam kembali spesies tumbuhan asli yang khas dari ekosistem gambut, seperti pohon ramin, jelutung, dan berbagai jenis rumput rawa. 


Vegetasi ini membantu menstabilkan tanah dan meningkatkan penyimpanan karbon. Menggunakan teknologi modern untuk memperbanyak dan mendistribusikan benih tanaman asli yang tahan terhadap kondisi lahan gambut.


Keempat, biokomposit dan biomaterial, menggunakan material alami seperti serat kelapa atau sekam padi untuk menstabilkan lahan gambut dan mendukung pertumbuhan vegetasi baru. 


Mengaplikasikan metode rekayasa seperti pembuatan cekungan penampung air atau terasering untuk mengelola aliran air dan mencegah erosi.


Kelima, mengembangkan platform digital untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam restorasi gambut. Melalui aplikasi dan situs web, masyarakat dapat melaporkan kondisi lahan, berpartisipasi dalam kegiatan restorasi, dan mendapatkan informasi terkini. 


Menggunakan teknologi untuk menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal tentang pentingnya restorasi gambut dan cara-cara yang efektif untuk berpartisipasi.


Selain itu juga dibutuhkan pendekatan komunitas dengan melakukan penyluhan, edukasi dan pengembangan karakter pada masyarakat. Para penyluh, ustad, tokoh masayrakat dan tokoh agama yang berada dalam lingkungan gambut perlu diajak diskusi, memberikan penguatan kompetensi tentang kegambutan, sehingga mereka dapat berinteraksi dan memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang tidak baik terhadap gambut, apalagi melakukan engeringan dan pembakaran lahan gambut. 


Termasuk hal ini juga perlu dikuatkan pada pelajar, dengan melakukan penguatan karakter terhadap peduli dan cinta terhadap lingkungan.***

Posting Komentar

0 Komentar