Tamparan Keras untuk Kepolisian

 


Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

OPINI, kiprahkita.com - Kita perlu apresiasi sebesar-besarnya kepada Satreskrim Polres Belitung, yang berani mengungkap kejahatan anggotanya sendiri, yang melakukan kejahatan seksual pada anak, saat korban melaporkan perilaku pimpinan panti asuhan yang sudah rudapaksa berulangkali. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI_ telah berkoordinasi dengan Kepolisian, dan pelaku dikabarkan sudah ditahan. Kita masih punya harapan, ada penegak hukum yang masih lurus, dan tidak melindungi teman-temannya yang melakukan kesalahan fatal, perbuatan melawan hukum dari APH.

Saya kira, ini peristiwa besar jelang Hari Anak Nasional (HAN). Ini bukan peristiwa biasa, di tengah presiden, DPR, kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan para pemerhati anak sedang menyiapkan Hari Anak Nasional.

Seperti diketahui, sejak kemarin rangkaian kegiatan hari anak nasional sudah berlangsung. Para perwakilan pemimpin dan fasilitator anak tingkat nasional yang sedang membahas dan mewakili nasib anak anak di seluruh Indoensia, sedang merumuskan suara anak, yang nantinya akan dibacakan di depan Presiden pada 23 Juli Hari Anak Nasional. 

Kita disadarkan masih kumuhnya penanganan korban kejahatan seksual anak di negeri kita. Dengan adanya peristiwa oknum polisi yang lolos, yang bisa memeriksa anak, mengunci ruang aman ramah anak saat BAP anak mencari keadilan di kantor kepolisian. 

Kita disadarkan masih perlunya melengkapi ruang pemeriksaan anak. Agar tidak menjadi korban berlapis.

KPAI meminta dengan sangat jelang Hari Anak Nasional ini, Kepolisian segera melengkapi kekuatan dan fasilitasnya dalam penanganan anak, dengan segera mendirikan Direktorat PPA dan PPO. Agar harapan paling ujung anak-anak dalam penegakan keadilan bisa terwujud di negeri ini. 

Kita perlu memastikan orgaisasi yang besar ini, bisa berjalan efektif dan efesien dalam penyelenggaraan dan penegakan Undang Undang Perlindungan Anak. 

Kita sangat prihatin ruang pemeriksaan anak, justru menjadi tempat kejadian berulang. Padahal sebelumnya anak memberanikan diri, itupun dengan dikuatkan anak sesama korban panti, untuk melaporkan perilaku pimpinan panti asuhan yang telah melakukan rudapaksa.

KPAI meminta anak segera mendapatkan orang tua pengganti, karena pasca peristiwa kita belum tahu anak berada dalam pengasuhan siapa. 

Padahal kita tahu panti tempat berlindung sementara nya, juga telah melakukan hal yang sama, seperti peristiwa di kantor Kepolisian Bangka Belitung.

Apalagi yang menemani korban melapor dan memberanikan menuju kantor Kepolsiian juga anak anak panti, kita bisa membayangkan bagaimana kehidupan anak anak panti itu sekarang. Tentu sangat tertekan atas peristiwa tersebut. 

Jangan sampai mereka berada di tangan yang salah, karena telah menjadi anak anak yang berhadapan dengan hukum. Seperti yang pernah terjadi di Panti Depok anak anak yang mengalami rudapaksa, tapi masih bergantung hidupnya kepada pelaku yang juga pimpinan panti asuhan. 

Setelah Kepolisian menangkap pelaku, harus bertindak cepat menyelamatkan semua anak di panti tersebut dan memastikan penanganannya, agar tidak jatuh ke tangan yang salah.

Saya kira ini peristiwa besar kedua, dimana pejabat pelindung anak di Lampung juga melakukan hal yang sama, pelaku tidak hanya melakukan pendampingan korban kejahatan seksual, tetapi juga melakukan rudapaksa dan menjual korban di tahun 2020.

Pristiwa ini tamparan keras buat kita semua, anak yang berani melapor ke institusi penegak keadilan, institusi perlindungan anak. Tetapi menjadi korban berulang.

Ini persoalan tidak sederhana dan tidak bisa ditanggapi sederhana, ini bencana di dunia perlindungan anak jelang HAN, saya kira. Karena pertanyaan besarnya di mana tempat yang paling dianggap bisa memberi hak perlindungan, menegakkan regulasi perlindungan, bisa memberi akses keadilan, tetapi justru tempat yang dalam bayangan anak paling bisa menegakkan aturan, justru menjadi bencana buat anak.

KPAI meminta Direktorat Perempuan dan Perlindungan Anak agar segera berfungsi penuh, agar ada keberpihakan kepada pihak pihak yang perlu perlindungan seperti anak dan perempuan. 

Karena ini bicara keberpihakan, jemput bola, affirmatie action, kepada generasi bangsa kita yang belum bisa melindungi dirinya sendiri. Karena anak-anak mudah dikuasai secara fisik, pemahaman dan emosionalnya dari orang orang di sekitarnya, apalagi ini pimpinan panti asuhan dan oknum polisi yang di percaya anak.

Memilih memberanikan diri melapor, itu tidak mudah. Apalagi ini anak panti asuhan (yang sudah lepas dari orang tua), kemudian jatuh ke tangan yang salah (ke oknum di panti asuhan). 

Kemudian membayangkan figur polisi (penegak keadilan) yang bisa menjadi pahlawan mereka. Tetapi imajinasi anak berulang-ulang kali dirusak oleh keadaan. Tidak boleh lagi ada peristiwa seperti ini. Karena akan menjauhkan anak dari negaranya sendiri. Ini sangat berbahaya untuk perkembangan mental anak anak kita.

Saya kira tidak ada kata yang bisa menggambarkan peristiwa ini, selain sangat mengerikan. Suram sekali penegakan keadilan buat para korban kejahatan seksual pada anak. 

Anda bisa bayangkan, korban adalah anak yang terlepas dari orang tuanya, kemudian dalam kondisi batinya yang masih butuh ruang pulih, diserahkan kepada orang lain (diambil panti asuhan), kemudian dalam ketersiksaan menerima perlakuan, korban bingung harus kemana (orang tua tidak ada, ke panti tidak bisa), dan akhirnya harapan satu satunya di batin anak adalah Kepolisian.

Saya menerangkan ini, bukan untuk melebih-lebihkan, tapi mengajak sensitivitas kita semua kepada korban kejahatan seksual pada anak. Bahwa anak-anak yang terlepas dari pengasuhan adalah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. 

Dan...Negara telah memproklamirkan akan melindungi mereka, baik dalam konstitusi maupun UU.***

Posting Komentar

0 Komentar