Ayam Lado Hijau Koto Gadang Bersama Hidup yang Melambat dalam Cerita Tradisi dan Rasa di Rumah Gadang

Koto Gadang: Tanah Sejuk di Kaki Gunung Singgalang

KOTO GADANG, kiprahkita.com Di balik kabut pagi yang turun pelan dari kaki Gunung Singgalang, berdirilah sebuah nagari tua yang tenang dan berwibawa: Koto Gadang. Kampung ini tak hanya dikenal sebagai tanah kelahiran tokoh-tokoh besar bangsa, tapi juga sebagai tempat bersemayamnya tradisi yang mengakar kuat—baik dalam tutur, tata, maupun rasa.

Di sana, rumah gadang berdiri anggun di tengah hamparan sawah yang hijau mengilat bak permadani, dengan latar belakang perbukitan yang berlapis-lapis. Jalan kecil yang berliku dan berundak batu membawa kita pada halaman-halaman rumah yang dipenuhi semilir angin dan wangi dedaunan basah. Suara burung, kokok ayam jantan, dan denting alu menumbuk sambal adalah musik pagi yang akrab.

Koto Gadang bukan sekadar nama di peta. Ia adalah tempat di mana waktu bergerak lambat, agar kenangan dan rasa bisa tumbuh lekat. Tempat di mana setiap aroma dari dapur bukan sekadar wangi makanan, tapi bagian dari warisan. Dari dapur-dapur tua itulah lahir satu hidangan yang mewakili cinta, kesabaran, dan identitas: Ayam Lado Hijau Koto Gadang.

Janjang 1000

Ayam Lado Hijau Koto Gadang di Hari Raya (31 Maret 2025)

Setiap kali Hari Raya Idulfitri tiba, aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar momen berkumpul. Lebaran bukan hanya tentang baju baru atau amplop berisi uang. Lebaran adalah aroma. Aroma dari dapur tua di rumah gadang—wangi cabai hijau yang ditumis, ayam yang kulitnya sedikit dibakar di atas bara agar semua bulu halusnya lenyap, dan asap dari tungku kayu yang membawa rasa pulang.


Dari semua aroma itu, tak ada yang lebih kuat membangkitkan kenangan daripada bau ayam lado hijau—masakan khas keluarga yang tak pernah absen di meja makan Hari Raya.

Sejak kecil, memasak ayam lado hijau sudah menjadi bagian dari tradisi keluarga. Dulu, aku hanya duduk di sudut dapur, memperhatikan ibu dan nenek bekerja sama. Ibu memotong kecil ayam kampung, sementara nenek mengulek cabai hijau dan rempah dengan tangan yang sudah berkeriput namun tetap kuat.

Waktu berlalu, dan kini, aku yang memegang lesung batu itu. Ibuku masih membantu, tapi perlahan-lahan tanggung jawab itu berpindah kepadaku. Aku menerima tugas itu dengan bangga dan senang hati.

Pagi itu, sebelum matahari benar-benar terbit, aku sudah berdiri di dapur. Ayam kampung yang sudah dibersihkan dengan garam kasar, lalu perasan jeruk nipis, dan dilumuri bumbu menghilangkan bau amis sekaligus membuat dagingnya lebih empuk dam berasa.

Sementara ayam dibumbui, aku mulai menyiapkan bumbu utama. Cabai hijau besar, cabai rawit hijau, bawang merah, dan bawang putih kuulek perlahan. Kami tidak menggunakan blender, karena hasilnya terlalu halus. Kami terbiasa dengan tekstur sambal yang masih kasar—lebih segar dan memberi sensasi tersendiri saat dikunyah. Meski tangan terasa pegal, panas, dan aku tahu ini bagian dari proses. Masakan yang enak tidak datang dari alat canggih, tapi dari kesabaran tangan.

Minyak kelapa dipanaskan dalam wajan besar. Bumbu yang sudah diulek aku tumis hingga harum, lalu kutambahkan daun jeruk, daun salam, daun kunyit, serai, lengkuas, dan jahe yang telah dimemarkan. Aroma langsung memenuhi dapur, menyatu dengan asap tungku kayu—membuatku terdiam sejenak dalam rasa syukur. Potongan ayam yang sudah dibumbui dan direbus sejenak kemudian kumasukkan perlahan ke dalam tumisan. Aku aduk hingga bumbu hijau yang menggoda itu melapisi setiap bagian ayam.

Agar lebih meresap, kutambahkan sedikit air kaldu dari rebusan ayam. Api dikecilkan, dan biarkan semuanya meresap perlahan. Proses ini tak bisa diburu-buru. Seperti Lebaran itu sendiri—semuanya tentang kesabaran dan ketulusan.

Resep Ayam Lado Hijau Koto Gadang

Bahan-bahan:

1 ekor ayam kampung, potong menjadi 10–12 bagian

200 gram cabai hijau besar

10 buah cabai rawit hijau (sesuaikan dengan selera pedas)

6 siung bawang merah

4 siung bawang putih

2 lembar daun jeruk, daun salam, dan daun kunyit

* 1 batang serai, memarkan

* 1 ruas jahe, memarkan

* 1 ruas lengkuas, memarkan

* Garam secukupnya

* Minyak kelapa untuk menumis

Langkah-langkah:

1. Bersihkan ayam dengan garam kasar diamkan beberapa menit lalu bilas dengan air bersih. Lumuri ayam dengan jeruk nipis. Tumggu beberapa saat. Lalu bilas lagi ayam dengan air bersih mengalir. Lumuri ayam dengan gilingan jahe dan bawang putih. Ungkap sebentar. Sisihkan kaldu ayam.

2. Ulek kasar cabai hijau besar, cabai rawit, bawang merah, dan bawang putih. Kasih jeruk nipis agar warna cabai tetap hijau cerah.

3. Panaskan minyak kelapa, tumis bumbu ulek bersama daun jeruk, daun salam, daun kunyit, serai, lengkuas, dan jahe hingga harum.

4. Masukkan ayam ke dalam tumisan, aduk rata.

5. Tambahkan sedikit air kaldu ayam, bumbui dengan garam.

6. Masak dengan api kecil hingga air menyusut dan bumbu meresap.

Sajikan Hangat Bersama Ketupat atau Nasi Putih

Ketika ayam lado hijau tersaji di meja makan pagi itu, suasana rumah gadang berubah menjadi hangat dan penuh tawa. Anak-anak berlarian di halaman, orang dewasa duduk bersila sambil bercengkerama, dan sesekali terdengar, “Siapa yang masak ayam lado hijau ini? Enak betul!”

Aku biasanya hanya tersenyum sambil menunduk, menahan rasa bangga. Suapan demi suapan membawa kami kembali ke masa lalu—saat nenek masih ada, saat kami makan di lantai beralas tikar pandan, saat kebersamaan adalah hal sederhana yang paling membahagiakan. (Ditulis Fajri Muzaki, siswa MTsN PP, Diedit Yusriana/*)

Bahan Alami Ayam Lado Hijau


Posting Komentar

0 Komentar