Saf Kiri di Masjid Kompleks
HARI KEBANGKITAN NASIONAL, kiprahkita.com – Setiap subuh, aku melangkah ke masjid dengan harapan sederhana: beribadah bersama jamaah wanita yang rapi, damai, dan khusyuk. Di masjid kecil kompleks ini, saf perempuan tak panjang. Cukup satu atau setengah baris saja. Tapi entah mengapa, para ibu—yang datang lebih dulu—lebih suka duduk di saf sebelah kiri. Bukan di saf sejajar belakang imam. Bukan yang utama mereka pilih.
![]() |
Usai Apel Pagi |
Awalnya aku diam. Barangkali mereka tak tahu. Tapi lama-lama ini seperti kebiasaan. Mereka datang, menghamparkan sajadah di kiri, dan memulai tahiyatul masjid dan Sunnah Fajar tanpa menoleh kanan-kiri.
Pagi itu, aku memberanikan diri. Beberapa ibu tampak baru saja selesai doa. Kubisiki mereka dengan senyum.
"Bu Ibu, maaf, boleh saya sampaikan? Memenuhi saf Sunnah ke kanan dulu" terangku pelan.
Salah satu ibu menoleh. Wajahnya yang ramah, awalnya. Ketika kusebut, "Kalau memungkinkan, sebaiknya kita isi dan rapat di saf kanan dulu ya, Bu. Itu yang lebih utama menurut sunnah."
Wajahnya berubah. Seperti tersinggung.
"Kita di rumah Allah, bukan sekolah. Yang penting khusyuk, bukan posisi," katanya datar, lalu memalingkan wajah.
Aku tercekat. Tak sempat menjelaskan bahwa ini bukan soal menggurui. Aku hanya ingin mengajak saling mengingatkan, seperti yang Rasul ajarkan. Tapi ucapannya itu menampar lebih keras daripada yang kuduga.
Sejak itu, aku datang lebih awal. Aku pilih saf di kanan, meski kadang sendirian. Kadang ada yang bergabung. Kadang tidak. Tapi hatiku tetap berharap: semoga nasihat yang sempat ditolak, suatu hari tumbuh menjadi kebaikan.*
Baruak Gadang Amak Paja Sia Tu?
Pagi masih muda saat aku keluar dari masjid, menenangkan hati yang sempat goyah karena peristiwa di saf kiri di atas. Dedaunan basah disiram embun dan udara membawa aroma rumput. Kutarik napas panjang lalu perlahan kulepas. Terasa legah.
Aku berjalan menyusuri jalan kompleks. Aku berjalan zig-zag untuk memperjauh jarak dari masjid ke rumah. Ini caraku menjaga ketenangan—dengan melangkah, menyapa pagi, dan berdamai dengan kecewa yang tak selalu bisa langsung hilang.
Sampai di rumah, aku membuka mushaf. Dua halaman kubaca juz 1. Aku lantunkan ayat-ayat itu dengan suara lirih, semesta seperti ikut mendengar. Terasa legah lagi. Usai mengaji, kuganti pakaian dan mengikuti senam di YouTube.
Tubuhku bergerak, lentur seiring irama musik ringan. Aku tersenyum sendiri—hidup memang tak selalu indah, tapi kita bisa memilih untuk tetap bergerak. Ma ashoba mim musibati illa biiznillah...
Dengan semangat penuh, aku berangkat ke sekolah. Hari ini jadwalku piket apel pagi. Lapangan sudah setengah ramai. Anak-anak OSIS putra yang bertugas berdiri santai karena sudah siap menggelar tikar untuk putra. Mereka sudah duduk rapi di atas tikar.
Sementara tikar duduk putri belum juga dibentangkan pengurus OSIS putri, sebagian masih ngobrol, tertawa-tawa. Tikar-tikar untuk kegiatan putri pagi ini berserakan di tepi lapangan.
Aku memanggil mereka dengan mic. Piket OSIS Putri, "Anak-anak, ini siapa yang bertugas bagian tikar Putri? Tikar-tikar ini harus dibentangkan." Setelah dalam hitungan 3, pengurus pun bekerja. Namun tikar sisa dibiarkan berserakan.
Akupun bertanya kepada mereka seharusnya tikar bersisa diapakan? Maksud hati ingin mengorek inisiatif mereka. Beberapa langsung menunduk. Yang lain bersorak-sorak.
"Baruak gadang, amak paja sia tu?" Sorak satu siswi dari arah kumpulan putri.
Aku menoleh. Seorang pengurus OSIS perempuan—yang dikenal agak brutal dan suka bicara tanpa saring—tertawa, menatap remeh ke arahku sambil menyikut temannya. Mereka pun tertawa puas mendengar carut temannya. Temannya yang lain mencubit lengannya pelan, tapi tidak menegur. Matanya awas menatapku.
Sejenak, dunia terasa sunyi. Beberapa guru sudah menoleh, beberapa siswa tampak membeku.
Aku melangkah ke arahnya. Wajahku tetap tenang, tapi sorot mataku tajam dan sedih.
"Siapa yang Ananda maksud barusan?" tanyaku, suaraku pelan namun tegas.
Dia diam. Dia menaikkan dagunya beberapa inci. Hidungnya yang segi tiga nampak membesar. Mulutnya sedikit mencibir. Beberapa teman lainnya justru mulai gelisah.
"Nak," lanjutku, "bercanda itu boleh. Tapi jika bercanda melukai orang lain, apalagi yang lebih tua, itu bukan lagi lucu. Itu pelecehan. Jarak umur kita 36 tahun loh," jelasku prihatin akan akhlaknya.
Ia memalingkan wajahnya. Malah tambah kesal sepertinya, tak ada menyesal, malah terlihat mungkin ingin diperpanjang kasusnya.
Aku menggeleng dan istighfar tidak memperpanjang. Aku hanya berkata pelan, cukup untuk didengar mereka yang hadir, "Pemimpin itu dimulai dari sikap. Bukan dari seragam OSIS. Bukan dari suara paling keras. Tapi dari akhlak."
Apel pagi pun dimulai. Aku berdiri di sisi, mataku mengamati. Di bawah langit yang mulai hangat, aku tahu—tugas mendidik memang tak selesai di kelas. Kadang dimulai dari lapangan, dari tikar yang berserak, dari kata yang menyakitkan, dan dari keberanian untuk membenahi.
Baruak Gadang di Pagi Hari (Bagian 2)
Di ruang guru, aku duduk memandangi jendela. Anak-anak sudah masuk kelas. Tapi pikiranku belum tenang. Kalimat itu—"Beruk besar amak paja siapa itu?"—masih menggantung seperti kabut pagi yang enggan hilang.
Aku bukan tak terbiasa dengan canda murid. Tapi hari ini berbeda. Ucapan itu keluar dari mulut seorang pengurus OSIS, anak yang seharusnya menjadi contoh dan anehnya, yang paling menyesakkan bukan hinaannya, tapi perasaan seolah semua ini... semacam teguran balik dari langit.
Pagi tadi, aku menegur ibu-ibu di masjid. Aku hanya ingin mengingatkan—bahwa saf kanan lebih utama, bahwa kita sebaiknya mengedepankan sunnah. Tapi responnya keras. Ia menolakku. Matanya tajam, ucapannya menggurat luka.
Kini, hanya beberapa jam berselang, aku malah disebut "beruk besar" oleh muridku sendiri.
Apa ini hukuman?
'Apakah aku salah karena menasihati orang tua?'
'Apakah aku sedang diajari Allah, agar lebih lembut? Lebih sabar?'
Aku menggigit bibir, menahan tangis yang mulai naik ke pelupuk mata. Tidak. Aku tak boleh menyalahkan diriku sepenuhnya. Aku tidak kasar tadi pagi. Aku tidak bernada tinggi. Aku hanya ingin baik. Tapi mungkin... caraku harus lebih halus. Mungkin cara menyampaikan kebaikan pun harus belajar waktu dan tempat, bukan hanya niat.
Kutatap papan tulis kosong di kelas seberang. Hari-hari seperti ini membuatku ingat: menjadi guru bukan hanya soal mengajar. Tapi soal belajar juga—belajar menerima, belajar introspeksi, belajar menguatkan diri bahkan saat dipatahkan kata-kata yang tak pantas.
Kupeluk diriku sendiri dalam hati. Hari ini berat. Tapi aku masih punya Allah. Aku tahu, semua luka, bahkan yang datang dari siswa sendiri, tak akan sia-sia jika kujadikan pijakan menuju kedewasaan. Selasa, 20 Mei 2025. (Yusriana)*
0 Komentar