Belajar Bertanggung Jawab: Sebuah Proses Menjadi Manusia Dewasa yang Bertanggung Jawab

Buku yang Terserah

NASIONAL, kiprahkita.com Pagi itu, langit mendung. Di layar ponselku muncul pesan dari Davish, salah satu siswa yang selama ini dikenal pendiam namun sopan.

"Assalamu'alaikum, Buk. Maaf sebelumnya Buk. Buku yang punya Ibuk kemaren terserahkan ke perpustakaan Buk. Davish ganti yang baru saja buk. Sudah Davish kirim tadi pagi Buk. Sekarang bukunya sudah sampai di pos satpam Buk. Sekali lagi Davish minta maaf Buk. Terima kasih atas peminjaman bukunya Buk 🙏🙏"

Buku sudah di satpam 

Aku diam sejenak, menatap layar. Diserahkan ke perpus? Tanyaku dalam hati. Buku itu memang kupinjamkan selama kelas IX ini kepadanya untuk belajar dan tugas kelas. Tidak mahal, tidak pula langka, tapi tetap saja itu buku pribadi. Bisa saja Davish berdalih atau diam-diam pura-pura lupa. Tapi tidak. Ia memilih jujur, mengganti, dan meminta maaf.

Senyumku muncul pelan. Kubalas pesannya, “Makasi Nak. Alhamdulillah. Besok Ibu ambil ya.”

Di tengah segudang tugas dan murid yang terus bergerak, pagi itu aku merasa satu anak baru saja naik satu tangga dalam hidupnya. Bukan karena nilainya, tapi karena ia belajar bertanggung jawab. Syukurlah.

Belajar Bertanggung Jawab: Sebuah Proses Menjadi Manusia Dewasa yang Bertanggung Jawab

Pagi itu, sebuah pesan masuk dari murid bernama Davish. Isinya sederhana namun penuh makna: permintaan maaf karena secara tidak sengaja menyerahkan buku milik guru ke perpustakaan, dan kabar bahwa ia telah menggantinya dengan yang baru dan menitipkannya di pos satpam sekolah. 

Pesan itu ditutup dengan kalimat tulus: “Sekali lagi Davish minta maaf, Buk. Terima kasih atas peminjaman bukunya, Buk.”

Barangkali bagi sebagian orang, ini hanyalah perkara kecil—urusan buku yang tertukar. Namun bagi saya, seorang guru, pesan itu lebih dari sekadar laporan. Itu adalah bukti bahwa seorang anak muda sedang belajar bertanggung jawab.

### Tanggung Jawab itu Bukan Bakat, Tapi Proses 

Tanggung jawab bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Ia bukan pula bawaan lahir, bukan pula warisan dari orang tua. Tanggung jawab adalah hasil dari proses pembelajaran, dari keberanian mengakui kesalahan, dan dari kemauan untuk memperbaiki keadaan. Davish bisa saja diam dan membiarkan saya kehilangan buku tersebut. Tapi ia memilih jalur yang tidak selalu mudah: mengakui, meminta maaf, dan mengganti buku itu.

Di zaman ketika banyak orang berlomba mencari kambing hitam atas kesalahan, tindakan Davish terasa menyejukkan. Anak ini sedang tumbuh. Bukan hanya secara usia, tapi secara akhlak dan karakter.

### Belajar Tanggung Jawab di Sekolah dan Kehidupan

Sekolah sering dianggap hanya sebagai tempat belajar matematika, bahasa, atau sains. Padahal, fungsi penting sekolah justru terletak pada pembentukan karakter. Salah satunya melalui momen-momen kecil seperti ini. Ketika guru meminjamkan buku, siswa menerima dengan kepercayaan. Ketika terjadi kekeliruan, ada dialog, ada solusi, dan ada pelajaran moral.

Mendidik anak bertanggung jawab bukanlah dengan ceramah panjang atau hukuman keras, melainkan melalui kepercayaan dan contoh nyata. Saat anak merasa dipercaya, ia akan berusaha menjaga amanah. Ketika ia keliru dan kita beri ruang untuk memperbaiki, maka di sanalah pendidikan karakter bekerja.

### Mengubah Kesalahan Menjadi Nilai

Kesalahan adalah bagian dari tumbuh. Bahkan orang dewasa pun tak luput dari salah. Tapi yang membedakan manusia yang dewasa secara mental dan yang tidak adalah kemampuannya mengelola kesalahan.

Dalam tindakan Davish, kita melihat bahwa ia tidak hanya menyadari kekeliruannya, tetapi juga bertindak cepat untuk memperbaiki. Ia tidak menyalahkan siapa pun, tidak menyembunyikan fakta, dan tidak menunda. Inilah sikap yang kelak akan sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata—baik di dunia kerja, dalam rumah tangga, maupun dalam kehidupan sosial.

### Penutup: Tanggung Jawab adalah Cermin Karakter

Saya membalas pesan Davish dengan singkat, "Makasi Nak. Alhamdulillah. Besok ibu ambil di satpam, ya."

Kalimat itu mungkin ringan, tapi hati saya hangat. Karena saya tahu, hari itu seorang anak telah lulus dari satu ujian penting: ujian tanggung jawab.

Semoga semakin banyak anak muda seperti Davish—yang tak malu meminta maaf, yang tulus memperbaiki, dan yang berani bertanggung jawab. Karena dari situlah karakter bangsa dibentuk, satu per satu, melalui hal-hal sederhana yang terjadi dalam keseharian.

Di Meja Guru

Esoknya, saat jam istirahat, aku berjalan ke pos satpam. Benar, di sana sebuah buku baru terbungkus rapi telah menunggu. Di sampulnya, ada tulisan tangan kecil:

"Untuk Ibu Yusriana. Terima kasih sudah percaya."

— Davish

Aku membawa kembali buku ke ruang guru dan meletakkannya di mejaku. Rasanya bukan sekadar buku yang kembali, tapi juga sebuah pelajaran hidup yang nyata. Seorang anak telah tumbuh, bukan karena hafal teori, tapi karena berani menghadapi kesalahan dan memperbaikinya.

Aku menatap sejenak jendela kelas. Di dalamnya, para murid kelas 8 adik kelas Davish sedang belajar. Tapi hari itu, aku tahu, pelajaran paling penting tidak selalu tertulis di papan tulis—kadang ia hadir dari hati seorang anak yang sedang belajar menjadi manusia bertanggung jawab seperti Davish. (Feature Yus MM)

Posting Komentar

0 Komentar