Energi dan Pangan: Pilar Kedaulatan Indonesia di Era Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto
NASIONAL, kiprahkita.com –Pada 21 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kedaulatan bangsa sangat bergantung pada kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energinya sendiri. Pernyataan ini disampaikan dalam sambutannya saat membuka Konvensi dan Pameran Tahunan ke-49 Indonesian Petroleum Association (IPA Convex) di Tangerang .
![]() |
Presiden Prabowo Subianto meresmikan pembukaan Konvensi dan Pameran Tahunan ke-49 Indonesia |
"Kedaulatan suatu bangsa dijamin oleh kemampuan bangsa itu untuk memenuhiu pangan untuk bangsanya sendiri, dan kedua, kemampuan bangsa itu untuk memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Kelangsungan hidup suatu bangsa, survival bangsa kita, survival bangsa-bangsa tergantlung kepada hal dua tersebut,” ujar Presiden Prabowo.
Presiden Prabowo menyoroti bahwa ketahanan pangan dan energi merupakan fondasi utama dalam menjaga kedaulatan bangsa. Beliau menekankan bahwa kelangsungan hidup suatu bangsa tergantung pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut secara mandiri.
Dalam bidang pangan, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa produksi pangan nasional telah melampaui target, dengan cadangan beras dan jagung terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Beliau juga menekankan pentingnya kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan keberpihakan terhadap kepentingan nasional untuk mencapai hasil nyata dalam waktu singkat.
Di sektor energi, Presiden Prabowo meresmikan produksi perdana Lapangan Forel dan Terubuk di Natuna, yang menghasilkan tambahan 20 ribu barel minyak dan 60 juta standar kaki kubik gas per hari. Proyek ini dikerjakan seluruhnya oleh tenaga kerja anak bangsa, menunjukkan komitmen pemerintah dalam mencapai swasembada energi nasional.
Presiden Prabowo juga menyoroti pentingnya kerja sama lintas sektor, termasuk sektor swasta, BUMN, dan pemerintah, dalam mengelola potensi energi nasional, termasuk energi baru dan terbarukan. Beliau menekankan bahwa kolaborasi semua pihak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi impor dan mencapai tujuan kedaulatan energi.
Dengan langkah-langkah strategis yang telah diambil, Presiden Prabowo optimistis bahwa Indonesia semakin dekat dengan pencapaian swasembada pangan dan energi. Beliau menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengumumkan swasembada secara terburu-buru, tetapi akan memastikan produksi dan pengolahan berjalan dengan baik.
Pidato Presiden Prabowo ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam memastikan ketahanan pangan dan energi nasional sebagai pilar utama kedaulatan bangsa. Dengan strategi yang matang dan kolaborasi semua pihak, Indonesia diharapkan dapat mencapai swasembada pangan dan energi dalam waktu dekat.
Sejarah Ketahanan Pangan di Indonesia: Dari Krisis ke Swasembada
Ketahanan pangan merupakan isu vital dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mandiri dalam produksi pangan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pencapaian ketahanan pangan bukanlah proses yang mudah, melainkan perjuangan panjang yang dipenuhi dinamika politik, ekonomi, dan sosial.
1. Masa Kolonial: Tanam Paksa dan Monopoli Pangan
Pada masa penjajahan Belanda (abad ke-17 hingga awal abad ke-20), sistem Cultuurstelsel atau tanam paksa memaksa petani menanam komoditas ekspor seperti kopi, tebu, dan nila, bukan tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri. Akibatnya, masyarakat pribumi sering mengalami kelaparan dan kekurangan gizi, meski tanah mereka subur.
2. Masa Kemerdekaan Awal: Krisis dan Distribusi Buruk
Setelah kemerdekaan (1945), Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Infrastruktur rusak akibat perang, distribusi pangan terhambat, dan produksi pertanian rendah. Pemerintah saat itu banyak bergantung pada impor beras, bahkan menerima bantuan pangan dari luar negeri seperti AS dalam program PL-480.
3. Orde Baru: Swasembada Pangan dan Revolusi Hijau
Puncak keberhasilan ketahanan pangan terjadi pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Melalui program Revolusi Hijau, pemerintah memperkenalkan teknologi pertanian modern, pupuk kimia, benih unggul, dan sistem irigasi massal.
Pada tahun 1984, Indonesia mencapai swasembada beras dan bahkan mendapat penghargaan dari FAO. Namun, keberhasilan ini disertai dengan ketergantungan pada input luar (pupuk, pestisida) dan menurunnya keragaman pangan lokal.
4. Reformasi: Liberalisasi dan Tantangan Global
Pasca reformasi 1998, liberalisasi ekonomi membawa tantangan baru. Impor pangan meningkat karena harga lebih murah dari produksi lokal. Perubahan pola konsumsi, alih fungsi lahan pertanian, serta perubahan iklim memperlemah ketahanan pangan. Pemerintah sering menghadapi dilema antara menstabilkan harga dan melindungi petani lokal
5. Era Modern dan Visi Kedaulatan Pangan
Pada abad ke-21, konsep ketahanan pangan bergeser ke arah kedaulatan pangan, yaitu hak negara dan rakyat untuk menentukan sistem pertanian dan pola konsumsi sendiri. Pemerintah menggalakkan diversifikasi pangan (ubi, sagu, jagung), ketahanan desa, dan pertanian berkelanjutan.
Presiden Jokowi, dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto, menegaskan bahwa ketahanan pangan dan energi adalah pilar kedaulatan negara. Program food estate, revitalisasi lahan rawa, dan penggunaan teknologi modern seperti smart farming menjadi strategi utama.
Penutup
Sejarah ketahanan pangan Indonesia mencerminkan perjuangan panjang dari ketergantungan hingga upaya kemandirian. Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis geopolitik, komitmen terhadap pangan lokal, dukungan terhadap petani, dan pengelolaan sumber daya secara bijak menjadi kunci menuju Indonesia yang berdaulat secara pangan. (Yus MM)
0 Komentar