Anak Nakal Dikirim ke Barak Militer: Solusi atau Pelarian?
NASIONAL, kiprahkita.com –Baru-baru ini, kebijakan Gubernur Jawa Barat saat itu, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan publik. Kebijakan tersebut mengatur pengiriman anak-anak remaja yang dianggap "nakal" atau menyimpang ke barak militer sebagai bentuk pembinaan kedisiplinan. Dalam polemik yang terus bergulir, aktor sekaligus aktivis muda Verrell Bramasta turut angkat bicara.
![]() |
Verrel Bramasta mengkritik program barak |
Menurut Verrell, perilaku menyimpang yang ditunjukkan para remaja tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan militeristik. “Masalahnya bukan cuma soal kedisiplinan,” ujarnya dalam sebuah wawancara. “Bisa jadi itu karena ada dinamika keluarga yang bermasalah, tekanan lingkungan, atau masalah emosional yang belum tertangani.”
Verrell secara tidak langsung ingin mengingatkan bahwa perilaku remaja yang dianggap menyimpang merupakan gejala dari persoalan yang lebih dalam. Anak-anak bukan robot yang hanya perlu diatur dengan baris-berbaris dan aba-aba. Mereka adalah pribadi yang sedang berkembang, rapuh, dan penuh tanda tanya terhadap dunia. Jika kebijakan hanya fokus pada koreksi disiplin tanpa pendekatan psikologis dan sosial yang menyeluruh, maka yang terjadi bisa saja malah memperburuk keadaan.
Pendapat Kak Seto: "Anak Bukan untuk Dihukum, Tapi Didengar
Menanggapi isu serupa, pemerhati anak nasional Kak Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto, sudah sejak lama menentang pendekatan kekerasan dan militeristik dalam mendidik anak. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan pentingnya pendekatan yang ramah anak, bukan berbasis hukuman.
“Saya menolak keras anak-anak dikirim ke barak militer hanya karena mereka dianggap nakal. Anak itu perlu dibimbing, didengar, dan dipahami. Bukan dihukum seperti narapidana,” ujar Kak Seto dalam salah satu wawancaranya beberapa waktu lalu.
![]() |
Kak Seto |
Menurutnya, yang lebih dibutuhkan anak-anak bermasalah justru adalah konseling, komunikasi yang hangat dengan keluarga, dan peran guru atau pendamping yang penuh empati. Bila pendekatannya justru otoriter, maka anak hanya akan menurut karena takut, bukan karena sadar. Dan rasa takut itu bisa berubah menjadi trauma, dendam, atau penolakan terhadap sistem.
Apakah Semua Anak Butuh Militer?
Perlu dipahami, tidak semua anak bisa diperlakukan dengan satu cara. Pengiriman ke barak militer seolah-olah menyederhanakan persoalan kompleks menjadi sekadar “anak kurang disiplin”. Padahal, faktanya lebih luas. Bisa jadi anak itu korban kekerasan di rumah, korban perundungan di sekolah, atau sedang mengalami krisis identitas dan kesepian yang tak terlihat.
Pendekatan seperti konseling psikologis, terapi keluarga, atau kegiatan positif seperti seni dan olahraga, jauh lebih menyentuh akar masalah. Bahkan banyak rehabilitasi remaja di dunia internasional yang berbasis pada restorative justice, bukan pada hukuman.
Solusi Lebih Manusiawi dan Berkelanjutan
Kita perlu membangun sistem pendidikan dan sosial yang berpihak pada anak. Jika ada anak yang menunjukkan perilaku menyimpang, tanyakan dulu: ada apa dengan hidupnya? Siapa yang mengabaikannya? Bukan langsung menyeret mereka ke sistem disiplin keras tanpa menyelidiki sebabnya.
Kebijakan semacam barak militer bisa menjadi solusi darurat, tapi bukan jawaban utama. Tanpa evaluasi dan pemahaman mendalam, justru bisa menciptakan anak-anak yang membenci otoritas dan sulit mempercayai orang dewasa.
Seperti kata Verrell Bramasta dan ditegaskan oleh Kak Seto: anak-anak nakal bukan hanya butuh disiplin, mereka butuh dipahami. Mari kita pilih untuk mendengar lebih banyak daripada menghukum terlalu cepat.
Menurut Dedi Mulyadi, batasan anak nakal yang ia maksud dalam kebijakannya merujuk pada perilaku remaja yang dianggap menyimpang dari norma sosial dan tata tertib sekolah atau masyarakat. Dalam beberapa pernyataannya di media, Dedi Mulyadi menyebut contoh-contoh anak yang:
Terlibat tawuran, Mengonsumsi atau terindikasi menggunakan narkoba, Membolos sekolah secara berulang, Terlibat dalam geng motor atau aktivitas kriminal remaja lainnya, Melawan orang tua dan guru secara ekstrem.
![]() |
Kak Dedi Gubernur Jawa Barat |
Dedi melihat anak-anak dengan perilaku seperti itu bukan hanya sebagai pelanggar aturan, tetapi sebagai generasi yang perlu diselamatkan. Maka ia menggagas program "pendidikan karakter" dengan pendekatan ala barak militer: para remaja tersebut dikirim ke tempat pelatihan disiplin dan fisik, dengan harapan mereka berubah menjadi pribadi yang lebih tertib dan menghargai aturan.
Namun, pendekatan ini menuai kritik karena dianggap menyederhanakan persoalan. Banyak pihak, termasuk psikolog anak dan tokoh seperti Kak Seto, menilai bahwa tindakan “memiliterisasi” anak-anak bermasalah bisa berdampak buruk secara psikologis dan tidak menyentuh akar masalah sesungguhnya. (Yus MM)
0 Komentar