Marpege-Pege dan Taonkon Bungkukmu
Catatan: Ali Sati Nasution
Pengantar
SUMUT, kiprahkita.com –Dalam budaya masyarakat Angkola dan Mandailing, gotong royong bukan sekadar kerja bakti atau kebersamaan dalam pesta adat. Terdapat nilai-nilai luhur seperti marpege-pege, yaitu tradisi membantu sesama keluarga atau kerabat dalam pembiayaan acara penting, termasuk pernikahan. Sebaliknya, ungkapan pahit seperti taonkon bungkukmu ("tanggung sendiri bebanmu") mencerminkan sikap individualis yang tak sesuai dengan semangat kebersamaan adat.
![]() |
Marluhut Horja (Berkumpul Pesta) |
Ketika itu, sekitar tahun 1978–1979, Roy Lubis, seorang pemuda belia dari Mandailing, memutuskan merantau ke Kota Padangsidimpuan. Saat itu, kota ini masih merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan. Kota ini dihuni berbagai etnis, mulai dari Tionghoa, Batak Toba, hingga masyarakat Angkola.
Sebagai pendatang, Roy yang baru menginjak usia 19 tahun harus belajar menyesuaikan diri. Ia bergabung dengan komunitas pemuda setempat dalam wadah Naposo Nauli Bulung — perkumpulan pemuda yang aktif secara sosial dan budaya.
Di sanalah ia mulai akrab dengan berbagai marga lokal seperti Harahap, Siregar, Dalimunthe, Daulay, dan Nasution.
Roy tidak hanya membangun jaringan pertemanan, tetapi juga mulai mencari pekerjaan demi mimpinya kuliah secara mandiri. Berkat kegigihan dan doa, ia akhirnya diterima bekerja di toko bahan bangunan dan setahun kemudian berhasil masuk perguruan tinggi di Kota Salak itu.
Suatu hari, Roy diajak temannya, Siregar, untuk menghadiri hajatan marpege-pege. Awalnya, ia bingung dengan istilah ini — tradisi ini tidak dikenal di Mandailing kampungnya. Setelah dijelaskan, barulah Roy mengerti bahwa marpege-pege adalah kegiatan menggalang dana keluarga besar untuk membantu biaya pernikahan saudara, khususnya dari pihak mempelai pria. Sekarang sudah dilakukan pula oleh mempelai perempuan.
Saat itu, Ridho Nasution, calon mempelai pria, kekurangan Rp10 juta dari total uang hantaran yang diminta sebesar Rp15 juta. Namun malam itu juga, berkat kekompakan dan solidaritas keluarga serta marpege-pege, terkumpullah dana bahkan melebihi yang dibutuhkan.
Roy tercenung.
Dalam hati, ia berkata, “Inilah kekuatan budaya Angkola — rasa sepenanggungan, saling bantu tanpa pamrih.” Ia teringat bagaimana dahulu di kampungnya, sang tulang (paman dari ibu) harus menggadaikan sawah demi hajatan besar karena tidak ada dukungan keluarga. Yang menyakitkan, ia bahkan mendengar komentar menyindir dari pihak lain.
Taonkon bungkukmu...
Tanggung sendiri dengan punggungmu. Jangan bikin pesta kalau tidak punya uang.
Meski secara geografis Mandailing dan Angkola hanya dipisahkan Batang Angkola, rupanya perbedaan karakter sosialnya sangat terasa. Masyarakat Mandailing dikenal lebih religius dan teguh memegang nilai-nilai Islam, sebagaimana diwariskan oleh Syekh Sulaiman Al-Kholidi Naqsyabandi Lubis (Tuan Syekh Hutapungkut) lewat maklumat Poda Na Lima:
1. Paias Rohamu – Bersihkan hatimu dengan zikir.
2. Paias Pamontangmu – Bersihkan tubuhmu dengan wudhu.
3. Paias Parabitonmu – Pakailah pakaian dari rezeki yang halal.
4. Paias Bagasmu – Hiasi rumahmu dengan lantunan Al-Qur’an.
5. Paias Pakaranganmu – Jalin hubungan sosial dengan baik.
Bertahun-tahun berlalu...
Penulis bertemu kembali dengan Roy Lubis, kini sudah bergelar Doktor, dalam sebuah acara keluarga di Medan. Dengan penuh kehangatan, Roy menyalami penulis sambil menyapa akrab, karena merasa penulis adalah mora-nya (Saudara laki-laki ibu), sebab ibunya adalah boru Nasution.
Penutup
Budaya adalah jati diri. Dalam kisah ini, marpege-pege mengajarkan nilai empati dan kebersamaan, sementara taonkon bungkukmu menjadi pengingat betapa menyakitkannya ketika solidaritas tak hadir dalam momen sulit. Roy Lubis adalah potret anak muda yang tidak hanya merantau secara fisik, tapi juga menyelami makna hidup dalam keberagaman adat dan nilai sosial.
Seharusnya kita memakai prinsip, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijujung." (Diedit Yus MM)*
0 Komentar