Child Free Mulai Memasuki Sekolah: "Sendirian di Kelas, Rohmat Satu-satunya Siswa Baru SDN 1 Kendalrejo Jalani MPLS Penuh Semangat"

"Sendirian di Kelas, Rohmat Satu-satunya Siswa Baru SDN 1 Kendalrejo Jalani MPLS Penuh Semangat"

TRENGGALEK, kiprahkita.com SDN 1 Kendalrejo, Kecamatan Durenan, Trenggalek, menyambut tahun ajaran baru 2025/2026 dengan kondisi unik: sekolah ini hanya menerima satu siswa baru, yaitu Rohmat Widianto. Meski ruang kelas dipenuhi deretan bangku kosong, Rohmat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dengan semangat tinggi.

Rohmat Widianto dan Gurunya

Guru kelas 1, Mita Purwanti, menjelaskan kurikulum kelas 1 tidak bisa digabung dan pembelajaran tetap dilaksanakan normal, meski hanya dihadiri satu siswa. Detik.com

Kepala sekolah, Didin Luskha, menambahkan kondisi ini disebabkan persaingan dengan enam sekolah lain dan sedikitnya lulusan TK di desa tersebut.

Sekolah telah melakukan sosialisasi melalui acara mewarnai dan kunjungan langsung ke orang tua calon siswa, namun kuota tetap minim.Tahun sebelumnya jumlah siswa baru mencapai 11 orang, kini turun drastis menjadi satu. Meski demikian, pihak sekolah tetap berkomitmen memberikan pendidikan terbaik dan menjalin komunikasi intens dengan orang tua Rohmat agar ia merasa nyaman.

Semangat di Tengah Kesendirian: Pendidikan Personal di SDN 1 Kendalrejo

Tahun ajaran baru kerap dibayangi tawa riang dan keramaian anak-anak. Namun para pegiat pendidikan di SDN 1 Kendalrejo, Trenggalek, menghadapi kenyataan yang jauh berbeda—hanya satu anak yang terdaftar untuk kelas 1: Rohmat Widianto. Meski suasana kelasnya semarak deretan bangku kosong, Rohmat memasuki hari pertama sekolah dengan percaya diri yang patut diapresiasi.

Fenomena ini mengundang refleksi mengenai tantangan pendidikan dasar di daerah terpencil. Sebelumnya, SDN 1 Kendalrejo mendapati 11 siswa baru, namun tahun ini turun drastis. Tak hanya SDN 1, ribuan sekolah di Trenggalek juga mengalami kekurangan pendaftar, bahkan beberapa tak menerima sama sekali. Penyebab utama: persaingan ketat dengan sekolah lain dan berkurangnya calon siswa lulusan TK. Berarti saat ini ada fenomena baru jumlah sekolah lebih banyak dari jumlah siswa.

Namun sekolah tidak gentar. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tetap dijalankan penuh semangat, meski hanya untuk satu siswa. Guru Mita Purwanti menegaskan bahwa materi kurikulum kelas 1 tidak sejalan dengan kelas 2, sehingga penggabungan tidak memungkinkan. Justru, kelas personal ini membuka peluang untuk pendekatan pembelajaran yang lebih intensif dan disesuaikan—sebuah bentuk "kelas privat" tak terduga dari publik.

Kepala sekolah Didin Luskha menekankan komitmen kuat pihak sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Mereka aktif menyosialisasikan sekolah melalui lomba mewarnai di TK dan kunjungan orang tua calon murid—upaya nyata untuk membalik tren penurunan jumlah siswa. Meskipun kondisi saat ini sulit, rasa optimisme tetap menyala.

Fenomena ini menyiratkan dua hal penting:

Ketimpangan akses pendidikan: Retro kualitas dan jarak sekolah membuat orang tua lebih memilih alternatif lain yang lebih strategis.

Adaptasi dan kreativitas sekolah: Dengan model pembelajaran personal, sekolah justru memiliki kesempatan menjalin hubungan lebih erat dengan siswa dan keluarganya.

Rohmat—anak yang sendirian di kelas—menjadi simbol keuletan dan harapan. Dengan dukungan guru dan orang tua, ia mendapatkan pengalaman pendidikan yang unik: perhatian penuh, materi fokus, dan ikatan emosional kuat dengan guru. Ini adalah peluang untuk membuktikan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan berkualitas, apa pun jumlah teman di sekitarnya.

Cerita SDN 1 Kendalrejo menjadi pengingat pentingnya inovasi dalam menghadapi hambatan jumlah siswa. Pendidikan bukan hanya soal kuantitas, tetapi juga tentang kualitas interaksi, kedekatan, dan semangat bersama. Di tengah kesunyian bangku kosong, sekolah ini menabur harapan baru bahwa satu siswa pun bisa menjadi pemantik keberhasilan—jika dibarengi dengan cinta belajar dan komitmen tulus dari pendidik dan orang tua. Semoga sukses Rohmat dan gurunya. Keadaan ini harus siap dihadapi oleh semua guru kelak. Apalagi dalam menyikapi sikap Child Free.

Child free adalah pilihan hidup seseorang atau pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, baik anak kandung maupun adopsi, secara sadar dan sukarela. Istilah ini berbeda dengan "childless", yang biasanya merujuk pada orang yang tidak punya anak karena kondisi tertentu seperti infertilitas atau keadaan tak terduga.

🧠 Penjelasan Singkat:

Child free = Bebas anak, pilihan sadar untuk tidak punya anak.

Childless = Tidak punya anak, tapi karena alasan di luar kendali.

🔎 Alasan Umum Orang Memilih Child Free:

Ingin kebebasan pribadi (waktu, finansial, karier).

Kekhawatiran soal lingkungan dan masa depan dunia.

Tak punya naluri keibuan/keayahan atau tidak tertarik membesarkan anak.

Masalah kesehatan mental atau fisik.

Trauma masa lalu, termasuk pola asuh yang buruk dari keluarga sendiri.

⚖️ Pro dan Kontra

✅ Pro:

Lebih bebas menentukan hidup.

Fokus pada diri sendiri, pasangan, atau karier.

Finansial lebih stabil (tidak ada biaya membesarkan anak).

Mengurangi tekanan sosial dan emosional sebagai orang tua.

❌ Kontra (menurut sebagian orang):

Bisa kesepian di masa tua.

Tidak mengikuti norma sosial yang dominan (apalagi di budaya yang menjunjung keluarga besar).

Tekanan atau stigma dari lingkungan atau keluarga.

🗣️ Status Child Free di Indonesia

Di Indonesia, keputusan child free masih menuai kontroversi karena nilai-nilai budaya dan agama yang kuat tentang pernikahan dan keturunan. Banyak pasangan yang memilih child free harus menghadapi tekanan sosial atau dianggap "tidak normal" oleh sebagian orang. Tapi seiring waktu, isu ini makin terbuka untuk dibicarakan secara dewasa dan rasional. (Yus MM/BS)*

Posting Komentar

0 Komentar