Refleksi HAN 2025: Apakah Negara Bisa Melindungi Generasinya?
JAKARTA, kiprahkita.com –Hari Anak Nasional, ada pertanyaan menggelayut bagi kita semua, Apakah negara masih bisa melindungi generasinya? Apakah kita masih bisa _over protective_ kepada generasi? Pertanyaan ini terasa deras, bagi para aktifis anak, pemerhati anak dan pemerintah yang bekerja untuk anak, dalam melihat berbagai perkembangan dan ancaman yang melingkupi kehidupan anak di jaman ini, yang kejahatan tersebut di gerakkan dalam ruang paling tersembunyi dengan memanfaatkan pergerakan algoritma. Mungkinkah anak anak kita mampu dan bisa melewatinya, hingga pada dataran luas generasi emas 2045.
![]() |
Jasra Putra Wakil Ketua KPAI |
Kalau kita boleh berpatokan pada perangkat instrumen perlindungan anak, negara kita termasuk negara yang memiliki regulasi yang dianggap sangat lengkap. Namun setelah di cross check lapangan, memang seringkali menegakkannya penuh tantangan, terutama isu konsistensi penegakan hukum masih menjadi tantangan. Kemudian juga pengalaman pertemuan berbagai simpul penggerak kebijakan anak dalam setiap monev Kota Layak Anak, rekomendasi terkuatnya adalah pentingnya pengarusutamaan keberpihakan perencanaan daerah dan anggaran yang lebih panjang untuk anak anak.
Pengalaman Pokja Pengaduan KPAI, dalam penerimaan berbagai kasus, yang dilaporkan setiap keluarga, anak, keluarga, sekolah, lingkungan, media, pemerintah dan masyarakat. Lebih terasa situasi puncak yang melingkupi kondisi anak sebelumnya dalam perlakuan salah, dibanding disebut sebagai penemuan kasus baru. Sehingga bila lebih terasa oleh publik pengulangannya, mungkin itu anggapan yang benar, namun bisa juga tidak sepenuhnya benar, karena setiap tahun Indonesia menghadapi 4 juta kelahiran bayi.
Dari laporan pengaduan yang diterima KPAI, persoalan terbesar yang menjadi angka besar, masih berkutat di tingkat awal kehidupan anak, yaitu kluster keluarga dan pengasuhan alternatif. Sehingga kita seperti laksana belum kemana mana dalam penyelenggaraan perlindungan anak, masih terus berkutat di permasalahan keluarga, meski berbagai intervensi program sudah dilakukan. Bahwa kenyataan anak masih rentan di awal kehidupannya, bahwa di tahap ini saja, negara sudah menghadapi angka yang tinggi.
Tentu dalam hal tersebut, negara tidak bisa di tinggal sendirian. Sehingga Asta Cita membangun kebijakan dalam menjawab berbagai persoalan, dengan mengintervensi keluarga melalui berbagai program kerakyatan.
Beberapa program yang diharapkan menjadi penopang dan jembatan dalam melihat kebutuhan lapangan sudah diciptakan. Bahkan diyakini dengan target MBG bisa menyentuh semua anak diyakini akan lebih mampu menjemput bola segala permasalahan anak, sehingga tidak ada lagi anak Indonesia yang tertinggal, sebagaimana target SDG’s.
Begitupun upaya pemerintah menjawab dampak gadget dengan program pemeriksaan jiwa setiap anak Indonesia. Kemudian kemiskinan ekstrim yang berdampak ke anak dengan jembatan memastikan perlindungan anak sampai ke mereka dengan program sekolah rakyat, dilanjutkan menjawab letak geografis Indonesia yang menyebabkan pemerataan fasilitas pendidikan akan berjalan sangat panjang, sehingga di hadirkan program relawan mengajar untuk menjemput bola demi menghadirkan pendidikan inklusi. Selain itu ada upaya pemerintah menjauhkan anak dari dari jangkauan industri candu. Meski seiring peraturan pembatasan produk, mereka juga terus berkamuflase menjadi produk manipulatif untuk anak.
Di sisi lain, ada keinginan besar yang serius mempersatukan anak anak Indonesia sejak dini, berdasarkan kawasannya, agar mereka mengenal dunia realita dan menjauhi dunia simulakra digitalnya. Sehingga anak anak tidak selalu di manfaatkan pihak ketiga secara tidak bertanggung jawab
Karena memang sejatinya dunia anak adalah dunia gerak, bermain, belajar dan penuh apresiasi. Bukan berdiam dalam peraduan digital. Seperti yang terjadi pada acara Hari Anak Nasional di CFD beberapa waktu lalu bersama Menteri PPPA, yang membangun kembali imaji Indonesia melalui kehadiran permainan tradisional dalam melawan era dampak negatif digital yang membawa anak anak pada dunia simulakra.
![]() |
Mari Jaga Senyum Mereka |
Gerakan masif yang bersifat menggerakkan, mengolah tubuh anak-anak Indonesia harus menjadi maisntreaming kawasan di setiap zona wilayah. Dalam menyatukan rasa kepedulian, kebersamaan, tumbuh kembang dalam suasana kebersamaan. Hal ini harus di rekayasa sejak awal. Sejak anak dilahirkan. Bahkan sampai pernah terfikir memaksa anak dalam tujuan positif, merubah dalam barak militer.
Memang kunkungan gawai, benar benar harus dilawan dengan gerakan menguranginya, yang tegas dan kuat. Bahwa ada mimpi setiap keluarga, untuk membebaskannya, dengan anak anak banyak berkegiatan dan bersosialisasi di masyarakat, seperti ada gerakan senam bersama di setiap depan rumah, yang digalang setiap rt rw yang ada. Memang seperti mimpi, namun seperti lidah bergerak terucap, namun getaran suaranya tak keluar.
Sebuah tontonan dari Cina tentang bagaimana mereka mendidik generasinya, seperti menjadi oase menjawab keresahan setiap orang tua. Bahkan masuk menjadi topik pembicaraan yang hangat diruang akedemisi dan intelektual, apakah negara kita bisa melakukannya? Untuk memaksa anak keluar dari peraduan digitalnya. Dimana ribuan anak keluar dari peraduan digitalnya, kemudian bergerak dengan tangkas, mengikuti tarian gerakan guru yang diikuti ribuan anak dalam satu ritme. Menyalurkan anak yang memang butuh bergerak dalam tumbuh kembangnya, bukan membeku dalam peraduan digitalnya. Persentuhan persentuhan ini, akan membawa anak anak ke dimensi baru, yang lebih mengasyikkan dari gawai, berarti full meaning untuk sesama. Yang membuat para orang tua tak sabar ingin sebuah perubahan.
Pemandangan video video tersebut sangat menggoda dan memanjakan mata kita semua. Didalam hati bersemayam apakah di Indonesia bisa melaksanakan hal tersebut, mengeluarkan anak anak dari peraduannya digitalnya.
Begitupun video video ketangkasan para balita yang berani mengambil resiko dengan berbagai halang rintang dalam bentuk mini, seperti sebuah jawaban, dalam menjawab kekhawatiran dan keresahan arah pertumbuhan anak yang lebih banyak dihentikan oleh warna warni kotak sulap gawai. Yang tak mudah di lawan para orang tua. Sehingga telat menyadari, anak anaknya telat berbicara, telat bersosialisasi, yang sangat berdampak merugikan ketika tumbuh kembang fisiknya menjemput kemandirian. Sehingga tak mampu menjawab keadaan, dan menjadi semayam persoalan kejiwaan, fisik, sensorik, psikomotorik di masa depan.
Kita pernah mencoba, dengan barak militer, dengan APH menjemput langsung anak anak dari rumah untuk keluar dari peraduan digitalnya. Itu bagaikan mewakili suara hati kecil para orang tua yang tak mampu melakukannya, karena penerjemahan kasih sayang yang katanya terlalu berlebihan.
Di beberapa negara maju, perkembangan pendidikan juga dilirik para orang tua di Indonesia, mereka terasa iri, melihat pendidikan yang tidak berbasis nilai. Tetapi menghargai setiap proses anak memahami, capaian, yang menjadi acuan keunikan, apresiasi, yang dianggap sebagai potensi pijakan terbaik anak menjemput masa depan. Sehingga anak anak pulang tanpa tas yang berisi otot buku dan pr yang membebani. Mereka dengan ringannya menyampaikan pendapat tanpa beban, dan ekspresi apapun di jamin dirubah jadi prestasi. Namun mimpi mendapatkan pendidikan yang seperti itu, seperti tertanggal begitu saja, bagai mimpi, karena tak mampu menggapainya. Karena berbiaya sangat mahal.
Namun melihat berbagai tayangan, video, berita, bahkan terakhir sindikasi perdagangan bayi, rasa pesimisme seperti menggelayuti kita semua. Apakah acara acara selebrasi hari anak akan bisa menjawab kebutuhan yang riil, yang benar benar dibutuhkan anak, atau hanya menghibur kita semua, namun selepas acara tersebut kita seperti kembali kepada keresahan dan kekhawatiran tak berujung.
Namun di sisi lain, masih banyak anak Indonesia berprestasi, yang terus mengungah rasa nasionalisme dan optimis kita akan potensi anak anak Indonesia.
KPAI melihat situasi kegagalan kita, sebenarnya bukan kegagalan, tapi lebih mengajak untuk mau berbuat lebih berani untuk generasi, dalam memilih kepentingan terbaik anak di masa depan. Bagaimana mengantarkan masa depan itu dekat dengan anak anak untuk menjadi kenyataan, kita tahu. Anak anak yang sadar akan potensinya, potensi dirinya, potensi keluarganya, lingkungannya, sekolahnya, masyarakatnya, budayanya, bangsa dan negaranya.
Kita sebenarnya mudah tergugah, dengan masih adanya perjuangan perjuangan mereka yang menginspirasi dalam melindungi anak, begitupun anak anak yang dalam keadaan apapun, menunjukkan kekuatan dalam menghadapinya.
Bahwa rasa optimisme harus terus dihidupkan dan di semaikan lebih luas lagi. Agar rasa pesimisme terhadap generasi native digital yang banyak di gelayuti kepentingan pihak ketiga yang menaruh resiko produknya pada anak, dan melepasnya secara tidak bertanggung jawab, harus terus berani di kejar oleh negara.
Namun disisi lain, perlawanan juga harus di siapkan, dengan besarnya angka kasus anak, agar mereka mampu melawan, dengan menyiapkan lingkungan yang dimampukan, anak anak yang dimampukan oleh negaranya sendiri, mengurangi ancaman di sekitar anak. Dengan meluaskan kesempatan, akses, menumbuhkembangkan bakat dan minat dalam kondisi apapun. Yang menantang kita terus bekerja disana.
Bahwa apa yang terjadi pada anak anak saat ini, bukan permintaan mereka, tapi karena mereka tidak ada pilihan dan terjebak dalam situasi yang sama. Sehingga menjadi perlakuan salah sepanjang hayat.
Namun kita tidak bisa memungkiri, apa yang terjadi hari ini, juga tak jauh jauh dari isu kerusakan alam dan lingkungan yang membuat manusia terbatas dalam memperoleh manfaat bumi. Panas yang diibaratkan memanggang manusia pelan pelan, akan terus bergejolak hingga ke generasi selanjutnya, yang menampatkan anak anak kita menjadi generasi reaktif, dan dominan memiliki perilaku beresiko seperti sekarang. Akibat kesejukan alam yang terus memudar.
Ada persoalan utama dengan dunia berteriak soal alam dan lingkungan, maka mau tidak mau kehidupan yang berorientasi pada pengaarusutamaan kesadaran soal alam dan lingkungan menjadi lebih diutamakan untuk generasi selanjutnya.
Kesiapan, kelengkapan berbagai pendukung alat untuk menyiapkan generasi yang sadar akan potensi alamnya, akan mempercepat segala upaya perbaikan alam dan lingkungan. Membangun kesadaran generasi atas dampak, menjadi prioritas dalam membangun lingungan yang kondusif untuk melaksanakan penyelenggaraan perlindungan anak ke depan.
Jangan sampai terjadi, Indonesia yang begitu indah semakin dilupakan dan dijauhi anak anak, karena tak banyak persentuhan. Untuk itu segala upaya menuju kesini harus menjadi agenda besar keberpihakan negara.
Ada soal tak kalah pentingnya, memahami yang paling esensial dalam penyebutan anak oleh negara, yaitu perlindungan berlangsung pada anak sejak dinyatakan dalam kandungan. Karena diyakini pencatatan, pengawasan sejak itu, mampu menciptakan lingkungan yang mencegah anak terlepas kepada tangan yang tidak diharapkan. Sehingga KPAI meminta UU Perlindungan Anak dilengkapi dengan RUU Pengasuhan Anak. Karena pengawasan anak dalam kandungan hanya bisa terjadi ketika RT RW punya peran jelas dan punya tugas penting itu. Sehingga tidak ada lagi anak tidak jelas orang tuanya, rekam jejaknya.
Kemudian ketika Undang Undang Perlindungan Anak meminta pemenuhan hak anak dari kluster 1 sampai 4 untuk dipastikan berjalan dengan baik, harus selalu menjadi sandaran program kerja pada penyelenggaraan perlindungan anak, karena ketika tidak terjadi, maka kluster 5 menanti menjadi anak anak membutuhkan perlindungan khusus anak.
Namun ada upaya luar biasa dalam upaya penanganan kluster 5 melalui penegakan hukum Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang Undang Pemasyarakatan, yang tahun ini Menteri Imipas melaksanakan remisi untuk 1.272 anak. Sebagai semangat menghindari impunitas dan lebih mengutamakan pemulihan dengan visi kebijakan Diversi dan Restorasi Justice. Sehingga boleh dikatakan UU SPPA terus berlangsung progressif.
Sekali lagi, Indonesia harus optimis dengan penyelenggaraan perlindungan anak, yang membawa anak pada sensasi indah menikmati masa depannya di Indonesia, tidak diluar sana. Dengan kelengkapan berbagai regulasi dan program yang telah diterbitkan. Hanya saja kita butuh prasyarat agar semua regulasi punya lingkungan yang kondusif dan mendukung untuk tercipta, dan memampukan anak anak untuk berbuat lebih dalam memperjuangkan dirinya. Semoga ini bisa menjadi pesan optimis buat kita semua jelang sambut Hari Anak Nasional ke 41 di Indonesia.
Momentum tagline Hari Anak Nasional dengan Semua Anak Indonesia Bersaudara, membutuhkan prasyarat semua orang dewasa bersaudara untuk membangkitkan kesadaran akan alam, lingkungan dan kemanusiaan. Sehingga anak anak dapat bertumbuh dalam taman yang asri, dan tumbuh berwarna warni sesuai potensinya. Termasuk didalamnya menyadari bahwa Hari Anak perlu dirayakan, agar mereka tahu bahwa negara ini memikirkan generasinya
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515
0 Komentar